- Jamur pelawan (Heimioporus sp.) biasa tumbuh di antara akar-akar pohon pelawan. Mereka tidak terpisahkan, dan telah memberi manfaat bagi ekosistem, termasuk manusia. Jamur ini, kemungkinan besar merupakan spesies indigenous atau hanya hidup secara khusus di wilayah Pulau Bangka dan Belitung.
- Sambaran petir dengan energi yang besar, terkait dengan konversi nitrogen atmosfer menjadi senyawa melalui proses alami. Nitrogen, menjadi salah satu unsur penting untuk mendukung pertumbuhan jamur pelawan.
- Bersama inangnya (pohon pelawan), jamur pelawan banyak tumbuh di landskap hutan kerangas, sebuah ekosistem unik, ekstrim, sekaligus rentan yang sering menjadi target aktivitas pertambangan.
- Di Kepulauan Bangka Belitung, jamur atau sering disebut kulat pelawan ini telah menjadi bagian budaya masyarakat dan sering disajikan dalam acara-acara adat seperti nganggung, upacara pernikahan, hingga jamuan saat ritual atau sedekah panen padi.
Jamur pelawan (Heimioporus sp.) biasa tumbuh di antara akar-akar pohon pelawan. Mereka tidak terpisahkan, dan telah memberi manfaat bagi ekosistem, termasuk manusia.
Simbiosis semacam ini, yang disebut ektomikoriza, memastikan nutrisi yang cukup bagi pohon, terutama penyerapan air, serta memengaruhi kapasitas pohon untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
“Tidak akan ada jamur pelawan tanpa pohon pelawan,” tulis penelitian Dian Akbarini (2016).
Dian Akbarini, peneliti pohon pelawan dari Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, mengatakan kulat pelawan kemungkinan besar merupakan spesies indigenous atau hanya hidup secara khusus di wilayah Pulau Bangka dan Belitung.
Meskipun, pohon pelawan sebagai inangnya dapat ditemukan di berbagai daerah lain di Indonesia seperti Kalimantan dan Sumatera, keberadaan kulat pelawan justru terbatas hanya di Pulau Bangka dan Belitung.
“Hingga saat ini, belum ada penelitian tentang jamur pelawan dari daerah luar. Jurnal terakhir saya baca yang terbit 2025, juga sampelnya dari Bangka Belitung,” kata Dian, kepada Mongabay Indonesia, Minggu (11/5/2025).
Di Kepulauan Bangka Belitung, jamur atau sering disebut kulat pelawan ini telah menjadi bagian budaya masyarakat dan sering disajikan dalam acara-acara adat seperti nganggung, upacara pernikahan, hingga jamuan saat ritual atau sedekah panen padi.
“Kulat pelawan adalah simbol kemakmuran. Selalu jadi rebutan orang-orang kalau disajikan dalam acara adat atau pernikahan,” kata Sukardi, tokoh adat di Dusun Tuing, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Jumat (9/5/2025).
Baca: Rukam, Pohon Berduri yang Digunakan Melawan Tentara Belanda

Petir dan jamur pelawan
Uniknya, bagi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung, kemunculan jamur pelawan berkaitan erat dengan sambaran petir dan hujan lebat, pada masa transisi dari kemarau panjang menuju musim penghujan.
“Jika malam hari ada petir besar disertai hujan, keesokan harinya kami akan pergi ke hutan untuk berburu jamur. Sejak dulu, petir jadi pertanda kalau musim jamur pelawan sudah tiba,” terang Iskandar, warga Desa Serdang, Kabupaten Bangka Selatan, Sabtu (10/5/2025).
“Jamur pelawan tetap ada walau tidak ada petir, tapi biasanya, kalau ada banyak sambaran petir, jamur pelawan akan lebih banyak tumbuh,” lanjutnya.
Lantas, Bagaimana petir dapat mendukung pertumbuhan jamur pelawan?
“Fiksasi Nitrogen [N]. Ini dugaan kami. Ketersediaan N di tanah merupakan komponen tak terpisahkan dalam pertumbuhan jamur pelawan yang merupakan ektomikoriza, dengan inangnya pohon pelawan,” lanjut Dian Akbarini.
Dikutip dari Nature, nitrogen adalah elemen penting untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Ini adalah komponen utama klorofil, pigmen terpenting yang dibutuhkan untuk fotosintesis, asam amino, serta blok pembangun utama protein.
“Meskipun merupakan salah satu elemen yang paling melimpah (terutama dalam bentuk gas nitrogen [N2] di atmosfer Bumi), tanaman hanya dapat memanfaatkan bentuk tereduksi dari elemen ini,” dikutip Senin, (12/5/2025).
Baca: Hutan Kerangas untuk Pulihkan Lahan Bekas Tambang Timah

Lebih lanjut, tanaman memperoleh bentuk nitrogen “gabungan” ini dengan: 1) penambahan pupuk amonia dan nitrat atau pupuk kandang ke tanah, 2) pelepasan senyawa ini selama dekomposisi bahan organik, 3) fiksasi nitrogen biologis, dan 4) konversi nitrogen atmosfer menjadi senyawa oleh proses alami, seperti petir.
Petir berperan menyediakan nitrogen ke tanah. Energi besar dari petir memecah nitrogen di udara dan menggabungkannya dengan oksigen, membentuk senyawa nitrogen yang larut dalam hujan.
Lalu, air hujan membawa senyawa ini ke tanah, dan bakteri tanah dapat mengubahnya menjadi bentuk nitrat yang bisa diserap akar pohon.
Dalam kasus jamur pelawan yang bersimbiosis dengan pohon pelawan, semakin banyak nitrogen yang diperoleh pohon pelawan, maka semakin subur pula jamur yang tumbuh di antara akarnya.
“Dengan demikian, petir kemungkinan besar memberikan kontribusi tambahan nitrogen ke dalam ekosistem, yang mungkin juga menyebabkan tingginya pertumbuhan jamur yang hidup bersama akar pohon pelawan,” kata Dian.
Baca juga: Pentingnya Pohon Bagi Kehidupan Manusia

Sebagai informasi, berdasarkan data LIPI (saat ini BRIN) dalam penelitian (Putri & Iskandar [2024), keanekaragaman jamur di Indonesia diperkirakan sebanyak 80.000 jenis. Ini terdiri 80 persen jamur mikroskopis (64.000 jenis) dan 20 persen jamur makroskopis (16.000 jenis).
Secara global, jumlah pasti jenis jamur di dunia masih terus diteliti. Diperkirakan ada sekitar 1,5 juta spesies jamur, namun baru sekitar 70.000 hingga 140.000 jenis yang dicatat.
Dari jumlah yang sudah diketahui itu, diperkirakan ada sekitar 2.000 jenis jamur yang aman dimakan, dan 700 di antaranya juga dipakai untuk pengobatan.
Namun, menurut Iskandar, saat ini jamur pelawan kian sulit didapat.
“Musim semakin tidak menentu, tahun 2024 dan awal 2025 lalu, kami hanya dapat 1-5 kilogram jamur basah. Padahal dulu bisa dapat 10-30 kilogram,” katanya.
Foto: Para Pencari Jamur yang Menanti Datangnya Musim Hujan

Jamur pelawan tumbuh di kawasan rentan
Di Kepulauan Bangka Belitung, sebaran jamur pelawan sejalan dengan sebaran pohon pelawan yang terkenal tahan banting. Pohon pelawan dapat tumbuh subur di landskap hutan kerangas– sebuah kawasan hutan dengan karakteristik unik, sekaligus ekstrem karena miskin hara dan pH rendah.
Belum ada data luasan total hutan kerangas di Kepulauan Bangka Belitung, namun secara keseluruhan, lanskap hutan kerangas yang terkenal dengan sebutan Sundaland heath forest– yang hanya ada di Bangka Belitung dan Kalimantan ini, memiliki luas sekitar 76,718 kilometer persegi atau sekitar 7.671,8 hektar (European Commission).
Selain itu, kawasan hutan yang terletak di sepanjang pesisir pantai Pulau Bangka, serta hampir seluruh pesisir di Pulau Belitung ini juga terkenal rentan, karena tersusun dari lapisan pasir kuarsa yang menjadi target aktivitas pertambangan.
Dalam penelitian Oktavia dan kolega (2014) disebutkan bahwa menurut Konsorsium Revisi High Conservation Value (HCV) Toolkit Indonesia (2008), hutan kerangas harus dipertahankan dalam kondisi alami ditambah zona penyangga minimal satu kilometer, dengan kegiatan pemanfaatan seminimal mungkin dilakukan.
Adapun kerusakan hutan kerangas akibat penambangan timah, terlihat pada perubahan bentang alam, penurunan keanekaragaman hayati, serta pencemaran air dan sedimentasi.
“Kondisi ini berakibat pada kualitas lahan sehingga menjadi tidak produktif,” jelas riset tersebut.
Referensi:
Akbarini, D. (2016). Pohon Pelawan (Tristaniopsis Merguensis): Spesies Kunci Keberlanjutan Hutan Taman Keanekaragaman Hayati Namang–Bangka Tengah. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi, 9(1), 66–73.
European Commission. (n.d.). Sundaland heath forests. European Commission. Retrieved May 13, 2025, from https://dopa-explorer.jrc.ec.europa.eu/ecoregion/40161
Oktavia, D., Setiadi, Y., & Hilwan, I. (2014). Sifat fisika dan kimia tanah di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah Kabupaten Belitung Timur. Jurnal Silvikultur Tropika, 5(3), 149–154. https://journal.ipb.ac.id/index.php/jsilvik/article/download/9254/7262/
Putri, S. G., & Iskandar, H. H. J. (2024). Studi Etnomikologi: Keanekaragaman Jenis, Pengoleksian, Pemanfaatan dan Konservasi Jamur Oleh Masyarakat Desa Namang Kabupaten Bangka Tengah (Ethnomycological Study: Species Diversity, Collection and Utilization, and Conservation of Mushrooms by The People of Namang Village Central Bangka). Jurnal Biologi Indonesia, 20(2), 97–109.