Sidang Gugatan di Mahkamah Konstitusi Buka Borok UU Konservasi

21 hours ago 3
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) terindikasi cacat prosedur. Selain karena prosesnya yang tertutup, naskah akademik dan drafnya pun tidak pernah sampai ke tangan akademisi yang jadi tenaga ahli.
  • Saldi Isra, Hakim MK, mencecar saksi dan ahli presiden dengan berbagai pertanyaan. Hasilnya, terdapat ketidaksinkronan jawaban. 
  • Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan menjadi pemohon Perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024. Mereka adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai NTT, Mikael Ane.
  • Mereka menilai pembentukan UU ini tidak bermanfaat, berdaya guna, dan memiliki kehasilgunaan, terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai subjek hukum UU. hal ini terlihat dari beberapa permasalahan substantif yang berpotensi muncul dan masyarakat adat atau komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi alami.

Undang-Undang Nomor 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) terindikasi cacat prosedur. Selain karena proses  tertutup, naskah akademik dan draf pun tidak pernah sampai ke tangan akademisi yang jadi tenaga ahli.

Hal ini terungkap dalam sidang uji materil perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (6/5/25). Hakim Konstitusi pun bingung dengan tindakan DPR yang hanya membuat dua dari 20 kali rapat pembahasan RUU terbuka, dan jengkel karena saksi yang presiden hadirkan menyampaikan keterangan berbeda-beda.

Agenda sidang saat itu mendengarkan keterangan DPD, ahli dan saksi dari presiden. Wakil saksi dan ahli dari presiden dari jajaran Kementerian Kehutanan dan Kementerian Hukum, mereka mengutus Bambang Hendroyono dan Rinekso Soekmadi. Tidak ada  DPD yang hadir atau mewakili.

Saldi Isra, Hakim MK, mencecar saksi dan ahli presiden dengan berbagai pertanyaan. Saat Saldi bertanya atribusi Bambang pada 2021 atau saat awal proses pembahasan UU Konservasi. Jawaban Bambang, saat itu dia menjabat Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan sempat bertugas sebagai pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal KSDAE selama setahun.

Sedangkan dalam pembahasan UU Konservasi, Bambang bertugas sebagai Ketua Tim Penyiapan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan Ketua Tim Penyusunan RUU Konservasi dari pemerintah.

Sardi mengatakan, RUU Konservasi merupakan inisiatif DPR tetapi mengapa Bambang juga bertanggung jawab mempersiapkan RUU itu.

Menurut Bambang karena tahapan pembentukan UU Konservasi meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan hingga pengundangan. 

“KLHK dalam lima tahun terakhir itu sudah mempersiapkan saat tiba nanti berjalannya prolegnas dan berjalannya panja (panitia kerja) pemerintah. Kami sudah lebih dulu mempersiapkan dalam hal apapun terkait  lima tahapan tadi khusus penyusunan,” katanya.

Hakim MK saat menyidangkan gugatan UU Konservasi. Dokumentasi: AMAN

Sedangkan, tim penyiapan DIM memiliki tugas menyusun dan menguatkan DIM RUU Konservasi. Tim ini bertugas merampungkan evaluasi kinerja pengelolaan kawasan konservasi sebelum DPR menyerahkan draf RUU kepada presiden melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) untuk disahkan menjadi UU.

Hasil evaluasi itu, berbentuk dokumen dan paparan rapat Panja RUU Konservasi. Dua hal ini yang Saldi minta supaya MK bisa menelusuri perjalanan pembentukan UU Konservasi.

“Ini untuk menelusuri ada atau tidaknya proses ini, kalau bapak (Bambang) bilang ada, disini (sidang) nanti terbukti tidak ada. Ini prosesnya tidak benar ini. Makanya saya tanya satu persatu.” 

Dia pun mengkritik Bambang karena tidak konsisten dalam pernyataannya ihwal penyerahan naskah akademik kepada ahli yang mereka libatkan dalam penyusunan RUU.

Bambang sempat mengatakan akan mengecek lagi apakah sudah memberikan naskah akademik kepada ahli. Dia juga bilang,  naskah akademik telah disampaikan saat focus group discussion

“Itu kan peristiwa sudah bapak (Bambang) lalui, kok, dicek lagi?”  kata Saldi.

Pernyataan Bambang ini justru terbantahkan oleh kesaksian Rinekso, yang mengaku mendapat naskah akademik dari DPD, bukan dari pemerintah. Dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu juga mengaku belum dapat draf RUU Konservasi versi DPR sebelum sah jadi UU.

Atas hal ini, Saldi menyinggung perbedaan keterangan saksi dan ahli itu.

“Kata bapak (Bambang) diserahkan. Kata Pak Rinekso tidak. Ini kita catat ya.”  

Sidang pun mempermasalahkan ihwal keterbukaan rapat yang hanya terjadi dua kali dari 20 rapat. Menurut Bambang, Ketua Panja, Budisatrio Djiwandono, juga Wakil Ketua Komisi IV DPR, yang menentukan tertutup atau terbukanya rapat pembahasan RUU Konservasi.

Ini  membuat Saldi heran. “Isunya biasa saja kepentingan semua orang, tapi kok pembahasan ditutup begitu. Kalau membahas soal keamanan negara, soal mau membeli nuklir dan segala macam, kami bisa pahamlah.”

Rinekso Soekmadi (kiri) dan Bambang Hendroyono (kanan), ahli serta saksi dari presiden terlihat tegang saat dicecar pertanyaan oleh Saldi Isra di sidang uji materill UU Konservasi. Youtube MK

Apa kata masyarakat sipil?

Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan menjadi pemohon Perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024. Mereka adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Walhi, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai NTT, Mikael Ane.

Mereka menilai pembentukan UU ini tidak bermanfaat, tak berdaya guna, dan tak memiliki kehasilgunaan, terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai subjek hukum UU. Hal ini terlihat dari beberapa permasalahan substantif yang berpotensi muncul dan masyarakat adat atau komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi alami.

Dalam petitum, mereka memohon MK menyatakan UU Konservasi bertentangan dengan UUD 1945 jadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan UU 5/1990 serta Pasal 33 dan Pasal 69 huruf c UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air berlaku kembali.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM AMAN, mengatakan, pengesahan UU Konservasi membuat hidup masyarakat adat dan komunitas lokal yang tinggal di kawasan konservasi terancam. Regulasi ini memperbesar risiko kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi dan pengabaian hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Kami berharap, ada perubahan paradigma secara mendasar mengenai konservasi di Indonesia. Selama ini paradigma konservasi Indonesia itu tidak bergeser yang disebut dengan perlindungan dan pengawetan semata, tapi tidak mempertimbangkan sama sekali bagaimana aspek manusianya termasuk dengan masyarakat adat,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Rabu (7/5/25). 

UU Konservasi, lanjutnya, tidak memiliki tujuan jelas. Dalam proses pembahasan, pihak-pihak  terdampak dan fokus dalam konservasi justru tidak terlibat.

“Jadi, hak masyarakat untuk kemudian menyampaikan pendapatnya, hak untuk didengar, hak untuk menyampaikan pendapat, dan hak untuk kemudian mendapatkan jawaban atau tanggapan mengapa kemudian usulan-usulan atau masukan yang disampaikan oleh masyarakat itu tidak diakomodir.”

Viktor Santoso Tandiasa, dari advokasi Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan, menambahkan, uji formil ini berlangsung dalam kerangka speedy trial, dengan batas waktu 60 hari sejak terima keterangan presiden atau pemerintah. Namun, eksekutif belum dapat menunjukkan daftar hadir pembahasan RUU.

“Bahkan, naskah akademik tidak pernah dibagikan kepada para ahli yang diundang,” katanya.

Viktor juga menyoroti pernyataan pemerintah soal pembentukan UU bisa mereka lakukan tertutup. Pandangan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Lasti Fardilla Noor dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menilai, UU Konservasi sebagai kelanjutan dari UU No. 5/1990 yang sejak awal tidak mengakui peran masyarakat adat sebagai pelaku konservasi.

“Masukan kritis kami tidak diakomodasi secara substansi, hanya dicatat. Free, prior and informed consent juga tidak ada.” 

Kondisi ini,  membuka peluang perampasan wilayah adat atas nama konservasi dan proyek-proyek berbasis karbon. 

WGII merupakan gabungan dari sembilan organisasi masyarakat sipil yang hadir dalam pembahasan pembentukan UU Konservasi. Namun, pemerintah dan DPR justru tak melibatkan secara resmi.

“Pemerintah klaim kami diundang. Padahal, kami yang meminta untuk diundang, kami juga merekomendasikan Pak Putu untuk diundang sebagai perwakilan masyarakat adat.”

Anggi Putra Prayoga, Manajer Komunikasi Forest Watch Indonesia (FWI), menyoroti sejumlah pasal dalam UU Konservasi  yang membuka ruang bagi pengambilalihan tanah adat. Contoh, Pasal 9 ayat 2, memungkinkan negara mengambil tanah dengan dalih ganti rugi jika masyarakat adat tidak setuju.

“Ini bukan hanya eksklusi (tindakan mengeluarkan atau menyingkirkan seseorang) tapi penghilangan hak hidup.” 

Sekjen AMAN dalam sidang MK uji formil UU KSDAHE/Konservasi. Dokumentasi AMAN

*****

DPR Abai Regulasi Saat Proses Pengesahan UU Konservasi?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|