- Dalam setahun terakhir, warga Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan ini, terutama RT04/RW02, tak pernah tidur nyenyak. Getaran mesin pencucian batubara PT Merge Mining Industry (MMI) yang beroperasi hampir sehari penuh menjadi biang keroknya. Warga, terutama anak-anak, ‘menikmati’ suara bising dan getaran dinding dan atap rumah mereka setiap hari.
- Paryun, warga lokal, membawa kami menyaksikan langsung deru deru fasilitas pencucian coal washing plant yang sekitar satu tahun terakhir dikeluhkan warga. Saking bisingnya, aktivitas itu persis menyerupai hiruk-pikuk di pelabuhan bongkar muat.
- Rudy Redhani, Livelihood Specialist Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia, melakukan riset kecil menggunakan aplikasi di gawainya, Rabu (7/5/2025) malam. Dia mencatat, tingkat kebisingan mesin pencuci batubara bervariasi. Mulai dari 59 desibel pada pukul 19.00, lalu naik menjadi 71 desibel pada pukul 00.18 WITA.
- Rika Vira Zwagery, Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI) Kalimantan Selatan, menjelaskan, secara umum kondisi lingkungan dapat mempengaruhi perilaku manusia, dan begitu pula sebaliknya. “Manusia dan lingkungan memiliki hubungan resiprokal—hubungan timbal balik—yang saling memengaruhi satu sama lain.”
Setahun terakhir, warga Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, terutama RT04/RW02, tak pernah tidur nyenyak. Getaran mesin pencucian batubara PT Merge Mining Industry (MMI) yang beroperasi hampir sehari penuh menjadi biang keroknya. Warga, terutama anak-anak, ‘menikmati’ suara bising dan getaran dinding dan atap rumah mereka setiap hari.
Saat itu, pukul 01.08 WITA, Paryun, mengintip cucunya, Afnan, lewat kaca jendela. Balita empat tahun itu belum tidur, berbaring di samping ibunya. Menurut sang kakek, jam istirahat si kecil tak teratur setahun belakangan.
“Kadang tidur jam tiga, kadang jam empat subuh. Nanti bangunnya, ya, jam 11 siang.”
Kebun karet jadi batas langsung rumah dengan area tambang MMI, perusahaan itu bahkan tidak memiliki sekat atau tembok. Hanya gundukan tanah setinggi satu meter jadi pembatas mereka.
Paryun membawa kami menyaksikan langsung deru deru fasilitas pencucian coal washing plant yang sekitar satu tahun terakhir warga keluhkan. Saking bisingnya, aktivitas itu persis menyerupai hiruk-pikuk di pelabuhan bongkar muat.
Getaran mesin yang menggelegar itu bahkan mengguncang seisi rumahnya. Dinding dan lantai keramik di ruang tamu retak-retak, terlihat memanjang dengan lebar lebih dari lima milimeter.
“Apalagi kalau masuk ke dalam kamar, suaranya terdengar jelas, seperti menggema,” katanya.
Rudi, juga warga Rantau Bakula , tinggal hanya 15 meter dari pagar depan MMI. Sekitar pukul 02.00, atap dapur rumahnya yang berangka baja ringan bergetar. Sudah dua kali dia ganti atap seng karena getaran membuat baut longgar, sehingga bocor di beberapa titik.
“Coba dengar. Patokannya dapur ini saja, kalo bergetar atapnya berarti mesin di sana maksimal di-gas perusahaan.”
Pria kelahiran 1993 itu punya dua anak laki-laki, salah satunya M. Jaber Nur, usia belum genap satu tahun. Si bungsu ini sering gelisah saat tidur, bahkan sempat menangis kencang menjelang fajar, ketika menunjukkan pukul 05.00.
Saat berusia tiga bulan 26 hari, Jaber bahkan sempat masuk Rumah Sakit Rantau selama lima hari enam malam. Diagnosis dokter, si bungsu menderita bronkopneumonia atau infeksi paru-paru. Dugaannya, kondisi lingkungan, terutama debu dari aktivitas tambang batubara.
Hingga kini, Jaber selalu mandi dengan air galon isi ulang yang Rudi beli Rp8.000 per galon. Dalam sehari, dia setidaknya perlu empat galon untuk mandi, minum, dan memasak.
Dia enggan ambil risiko menggunakan air yang perusahaan salurkan ke rumah-rumah warga. Khawatir air sudah tercemar, karena berasal dari sumber yang sama dengan yang perusahaan gunakan untuk mencuci batubara.
Rudi tidak sudi mempertaruhkan kesehatan anaknya yang memiliki kulit sensitif karena bisa saja air menimbulkan iritasi atau penyakit. Sebelum itu, sumber air di titik sama bisa warga akses dengan gratis, sebelum berubah menjadi embung perusahaan.

Rudy Redhani, Livelihood Specialist Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia, riset kecil menggunakan aplikasi di gawainya, Rabu (7/5/25) malam. Dia mencatat, tingkat kebisingan mesin pencuci batubara bervariasi. Mulai dari 59 desibel pada pukul 19.00, lalu naik menjadi 71 desibel pada pukul 00.18.
Pada jam-jam tertentu, kebisingan bahkan sempat mencapai 74 desibel. Padahal, ambang batas kebisingan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan menyebut, baku tingkat kebisingan untuk kawasan pemukiman 55 desibel dan industri di 70 desibel. Itu pun hanya bekerja delapan jam sehari, tidak lebih.
“Artinya, tingkat kebisingan tersebut sudah melampaui standar yang ditentukan, apalagi jika lokasi tambang berdekatan dengan pemukiman warga. Akibatnya, anak-anak kurang tidur dan segala macam kesehatannya pasti terganggu.”
Udur, sapaan karibnya, memprediksi, ada kerugian tersembunyi yang kelompok rentan derita sejak perusahaan pertambangan beroperasi. Dalam jangka panjang, tambang di sekitar permukiman berisiko meningkatkan gangguan pernapasan hingga tekanan mental karena kebisingan.
Dari riset meja yang dia lakukan, pada 2019 UPT Puskesmas Sungai Pinang mencatat hipertensi sebagai penyakit dengan keluhan terbanyak di kecamatan itu, 2.341 kasus selama Triwulan I hingga III. Selanjutnya, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) 990 kasus, dispepsia sebanyak 350 kasus, dan common cold atau pilek biasa 299 kasus.
Hingga Februari 2025, hipertensi masih jadi alasan terbanyak warga datang berobat ke Puskesmas Sungai Pinang. Walau perlu penelitian lebih lanjut, dia memprediksi, penyakit-penyakit itu saling berkaitan dengan kondisi yang warga alami saat ini.

Dampak buruk pada anak
Malam hari tidak lagi jadi waktu istirahat di Rantau Bakula. Orang tua, terutama laki-laki, tampak berkumpul di pelataran rumah, saat mentari tenggelam. Hampir setiap malam mereka mengisi waktu bersama, bergiliran dari satu rumah ke rumah lain. Mereka berinteraksi, mengeluhkan aktivitas pertambangan dengan sistem underground itu.
Perubahan juga terjadi pada anak-anak. Tidak jarang mereka masih ramai bermain hingga larut malam. Satu malam, sekitar pukul 22.00, Noval (6), Abay (7), Noval (8), dan Alpi (13) masih terlihat saling melempar sandal dan berkejaran.
Dari 28 keluarga yang tinggal di sepanjang RT04, anak atau orang yang berusia di bawah 18 tahun ada sekitar 17 orang. Anak-anak ini pun rentan dampak buruk dari tambang dan mesin cuci batubara.
Rika Vira Zwagery, Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI) Kalimantan Selatan, menjelaskan, secara umum kondisi lingkungan dapat mempengaruhi perilaku manusia, begitu pula sebaliknya. “Manusia dan lingkungan memiliki hubungan resiprokal—hubungan timbal balik—yang saling memengaruhi satu sama lain.”
Dosen dan psikolog di Program Studi Psikologi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini menambahkan, paparan polusi lingkungan seperti asap atau debu sejak masa kehamilan dapat berisiko mengganggu tumbuh kembang janin.
Dalam beberapa kasus, kondisi ini bisa menyebabkan anak lahir dengan kebutuhan khusus karena perkembangan otak dan organ vital lain terganggu selama masa kehamilan.
Bagi balita, masa awal kehidupan adalah periode paling krusial dalam perkembangan fisik dan mental. Ketika di masa ini mereka terpapar kebisingan atau polusi terus-menerus, bisa memengaruhi proses stimulasi alami yang mereka butuhkan untuk tumbuh optimal.
“Gangguan semacam ini berisiko memunculkan hambatan dalam perkembangan bahasa, motorik, hingga sosial-emosional.”
Bagi anak usia sekolah, kebisingan dari aktivitas industri seperti mesin pencuci batubara, bisa mengganggu waktu istirahat dan konsentrasi belajar.
“Kurangnya tidur di malam hari dapat menyebabkan anak kelelahan keesokan harinya, sulit fokus, mudah marah, dan berpotensi mengalami penurunan prestasi akademik.”
Kalau tidak ada penanganan, dampaknya bisa jangka panjang. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan tidak mendukung secara fisis maupun psikologis itu berisiko mengalami keterlambatan perkembangan dan terganggunya masa depan secara menyeluruh.
“Tentu saja berpengaruh sekali terhadap masa depan anak.”

Tak berkutik
Warga Rantau Bakula bukan tanpa perlawanan. Selain menggelar aksi damai di lingkungan MMI, berujung pada pelaporan ke polisi, mereka juga mendatangi Kantor DPRD Kalsel untuk minta pertolongan, Maret 2025.
Kamis (8/5/25), anggota DPRD Kalsel merespons dengan kunjungan lapangan. Rombongan terdiri dari sejumlah anggota Komisi III, Koordinator Inspektur Tambang Kementerian ESDM Kalsel, Dinas ESDM, Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalsel, serta awak media yang tergabung dalam Press Room DPRD Kalsel.
Warga terdampak langsung aktivitas tambang sempat menyambut antusias. Namun, perusahaan menjaga ketat ketika rombongan hendak masuk area mereka. Penjagaan ketat petugas keamanan dan dua anjing pelacak menyambut rombongan.
Perusahaan juga menyuruh wartawan menyerahkan KTP untuk mereka foto, hingga mengumpulkan alat komunikasi. Langkah ini memicu keberatan dari anggota Komisi III, Mustohir Arifin, yang menilai aturan itu berlebihan.
Sempat terjadi ketegangan antara Mustohir dan petugas kepolisian, tetapi keputusan tidak berubah. Wartawan tetap tidak dapat izin mendokumentasikan aktivitas di dalam area tambang. Salah satu wartawan bahkan memilih tidak melanjutkan kunjungan.
Dalam perjalanannya, perusahaan juga membatasi jumlah orang yang masuk ke kantor MMI untuk bernegosiasi. Hanya dua anggota dewan dan tiga warga yang mereka perbolehkan berdiskusi langsung dengan jajaran manajemen.
Warga keberatan. Mereka ingin pertemuan bisa melibatkan setidaknya satu perwakilan Walhi Kalsel, yang selama ini mendampingi mereka, dan Mongabay agar proses konfirmasi dan wawancara bisa terjadi secara langsung pada pimpinan perusahaan.
MMI menolak. Warga pun memutuskan tidak ikut serta dalam pertemuan.
Saat itu, perwakilan DPRD menginstruksikan tim teknis Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk mengambil sampel air dan memasang alat pengukur kebisingan di beberapa titik secara mandiri, dengan pendampingan dan pemantauan langsung dari warga.
Karena perlu waktu 24 jam untuk pengambilan sampel air, petugas DLH bermalam di sekitar lokasi untuk melanjutkan pengukuran hingga keesokan harinya. Namun, usai rombongan DPRD kembali ke Banjarmasin, dua warga yang sebelumnya terlibat sebagai pendamping tidak lagi perusahaan bolehkan masuk ke area mereka.
“Hasil pengukuran kebisingan dan kualitas air diperkirakan keluar dalam waktu sekitar tujuh hari kerja, sementara hasil laboratorium untuk sampel air membutuhkan waktu hingga 14 hari sesuai ketentuan PP 22,” kata Hardini Wijayanti, Kepala Bidang Penaatan Hukum Lingkungan DLH Kalsel.
Terkait upaya mempertemukan warga dan perusahaan yang masih belum dapat terlaksana, Mustaqimah, Ketua Komisi III DPRD Kalsel pun berjanji menjadwalkan ulang pertemuan di Gedung DPRD Kalsel dengan mengundang seluruh pihak terkait.
“Memang rencana kita akan memanggil pihak warga dan perusahaan (lagi). Mudahan nanti urusannya sudah clear atau sudah ada kesepakatan dari hasil pertemuan itu.”
Mongabay sempat meminta tanggapan lagi kepada Yuda Ramon, Direktur Utama MMI, terkait keluhan warga, lewat aplikasi pesan instan WhatsApp tetapi tidak ada respons.

Siapa MMI?
Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, menyebut, analisis data Ditjen AHU menunjukkan MMI sebagai perseroan penanaman modal asing (PMA) berkantor pusat di Jakarta. Perusahaan mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) sejak 2016, yang berlaku hingga 2 November 2030. Luas konsesi mereka 1.170,7 hektar.
MMI memiliki klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLUI), mencakup operasi pertambangan dan pengeboran berbagai kualitas batubara, seperti antrasit, bituminous, dan sub-bituminous, baik di permukaan maupun di bawah tanah.
Kegiatan operasional mereka meliputi penggalian, penghancuran, pencucian, pengeringan, pencampuran, serta pemadatan untuk meningkatkan kualitas atau memudahkan pengangkutan dan penyimpanan, termasuk pencarian batubara dari kumpulan tepung bara atau calm bank.
Perusahaan memiliki 181.100 lembar saham Rp18,110 miliar. PT Merge Energy Sources Development menjadi pemilik mayoritas 95% saham, atau 172.045 lembar saham, 5% sisanya, atau 9.055 lembar saham, milik Prosper China Investments Limited.
Jejak kelam perusahaan sudah ada sejak lama. Misal, tahun 2017, menurut informasi yang Raden dapat, satu RT di Rantau bakula tiba-tiba ambruk akibat tanah di bawahnya sudah kopong. Dugaan kuat, kondisi itu terjadi karena aktivitas pertambangan batubara dengan sistem underground. Penyelesaian pembebasan lahan juga belum tuntas hingga sekarang.
MMI jadi salah satu perusahaan yang Walhi adukan ke Kejaksaan Agung, 7 Maret 2025. Laporan mencakup dugaan pelanggaran perusahaan, yakni, perusahaan beroperasi di hutan produksi tetap dan kawasan hutan produksi terbatas, namun aktivitas melampaui izin.
Raden bilang, mereka sedang menyiapkan pelaporan ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup. “Ini kita lakukan guna menyikapi aspirasi masyarakat terkait dugaan adanya gangguan lingkungan dan pelanggaran ketentuan-ketentuan pertambangan yang telah mengabaikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara Indonesia.”
Poin-poin pelaporan mereka antara lain, terganggunya akses air bersih warga, terutama kualitas air tanah. Sebab, wilayah tersebut merupakan dataran perbukitan yang sangat bergantung pada sumber air alami.
Juga, suara bising mesin pencucian batubara yang beroperasi siang hingga malam hari. Aktivitas itu menimbulkan polusi suara yang berdampak buruk pada kesehatan fisik dan psikologis warga, terutama anak-anak dan lansia.
Walhi juga akan mendesak Dirjen Gakkum LH untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran lingkungan MMI. Mereka minta ada evaluasi izin lingkungan dan izin pertambangan perusahaan, serta mencabut izin operasi, jika terbukti ada pelanggaran dan merusak lingkungan hidup.
“Walhi menegaskan siap mendampingi warga dalam proses penyelesaian kasus ini dan mendorong penegakan hukum terhadap perusahaan maupun aparat yang terlibat dalam pelanggaran di Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.”

*****