Sumber Penghidupan Rakyat dan Rencana Revisi UU Pokok Agraria 1960

3 weeks ago 35

Rencana revisi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang sedang digulirkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah Indonesia mengundang kekhawatiran serius dari para pihak. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai bahwa usulan revisi ini sangat terkait dengan upaya pemerintah untuk memudahkan pengadaan tanah bagi proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan investasi besar.

Revisi ini, jika tidak dipertimbangkan dengan bijak, berpotensi menghilangkan hak-hak rakyat atas tanah yang telah dijamin oleh konstitusi, memuluskan tujuan kapitalis yang merugikan petani kecil, masyarakat adat, dan mereka yang mengandalkan tanah sebagai sumber penghidupan serta dapat memperburuk ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, sekaligus memperburuk krisis ekologis.

Dalam perancangan UUPA 1960, pemikiran para pendiri bangsa dipengaruhi oleh pandangan sosialistik dan nasionalistik (neopopulis). Hatta berpendapat bahwa tanah harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi yang digunakan untuk kemakmuran bersama, bukan untuk kepentingan individu yang dapat mengarah pada akumulasi penguasaan tanah oleh segelintir orang (Suhendar & Kasim, 1996).

Tanah merupakan milik rakyat Indonesia, dan negara sebagai perwujudan kehendak rakyat hanya memiliki hak untuk mengatur penggunaannya demi mencapai kesejahteraan bersama.

Pandangan ini mirip dengan situasi yang terjadi di Peru, di mana isu reformasi lahan yang tertunda selama beberapa dekade akhirnya ditangani oleh pemerintah militer progresif antara 1969 hingga 1978, berkat tekanan politik dari gerakan petani radikal dan kebutuhan untuk meningkatkan sektor pertanian.

Reformasi ini berhasil mendistribusikan 50 persen dari total area pertanian kepada sekitar 33 persen petani di pedesaan, yang sebagian besar tergabung dalam koperasi-koperasi untuk menjaga produktivitas pertanian sekaligus memperbaiki ketimpangan distribusi pendapatan di daerah pedesaan (Saleth, 1991).

Namun, kebijakan pertanahan pada masa Orde Baru lebih fokus pada pembangunan tertib administrasi pertanahan daripada melakukan perbaikan struktur agraria yang telah lama menjadi masalah besar, dengan pendekatan yang lebih berorientasi pada manajemen lahan/land management (Suhendar & Kasim, 1996).

Pendekatan Administratif Legalistik

Upaya penyelesaian masalah pertanahan lebih mengutamakan pendekatan administratif dan legalistik. Hal ini terlihat dari pembentukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bertujuan untuk mengembangkan dan menyempurnakan sistem administrasi pertanahan, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada perbaikan mendasar terhadap ketimpangan dalam struktur agraria yang ada.

Selain itu, terutama pada dekade 1980-1990, terjadi pengalihan fungsi tanah pertanian untuk kepentingan penggunaan lain. Proses ini menyebabkan tanah semakin dipandang dan diperlakukan hanya dalam konteks fungsinya sebagai sumber ekonomi (seperti nilai sewa Ricardian), sementara semakin kehilangan kaitannya dengan fungsi sosialnya (sociological rent) yang sebelumnya menjadi bagian penting dalam pemanfaatan tanah (Suhendar & kasim, 1996).

Transformasi ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam pengelolaan tanah, dari yang semula berfokus pada kepentingan sosial dan kesejahteraan bersama, menjadi lebih terarah pada kepentingan ekonomi dan komersialisasi.

Revisi UUPA 1960 yang saat ini diusulkan justru semakin memperkuat orientasi kapitalis dalam kebijakan pertanahan. Dengan berbagai klausul yang berfokus pada kemudahan pengalihan tanah untuk proyek investasi dan pembangunan, revisi ini tampaknya lebih mementingkan kepentingan korporasi besar dan proyek strategis daripada kesejahteraan rakyat.

Ilustrasi: warga lokal yang mencari kayu bakar, mereka hidup bergantung dari alam. Foto: Ayat S. Karokaro

Tanah dan Perlindungan Rakyat

Krisis iklim yang memicu berbagai negara untuk melaksanakan transisi energi kini dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai alasan untuk mengalihkan tanah-tanah milik rakyat ke proyek-proyek yang diklaim sebagai solusi terhadap perubahan iklim.

Dalam konteks ini, meskipun kebijakan pertanahan pada era Orde Lama lebih berfokus pada kepentingan dan perlindungan hak-hak rakyat, dengan orientasi yang lebih populis, kebijakan pertanahan masa kini justru cenderung berusaha memutus hubungan rakyat dengan tanah mereka.

Hal ini tercermin dalam upaya revisi UUPA 1960 yang lebih mengutamakan kepentingan investasi dan pembangunan, yang sering kali merugikan masyarakat kecil dan mengabaikan hak-hak tanah rakyat.

Proyek-proyek yang dijustifikasi untuk mengatasi perubahan iklim, seperti pengembangan energi terbarukan atau pembangunan infrastruktur besar, berisiko mengambil alih tanah yang selama ini dikelola oleh rakyat, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan.

Pendekatan ini menandakan pergeseran kebijakan yang tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan lebih mendukung kepentingan kapitalis yang berfokus pada proyek-proyek besar, meskipun dengan mengorbankan keberlanjutan sosial dan lingkungan yang telah terjalin erat dengan pengelolaan tanah oleh masyarakat.

Revisi yang mengarah pada kemudahan pengadaan tanah ini, bila dibiarkan tanpa pembatasan yang ketat, hanya akan memperburuk pola akumulasi tanah yang semakin terkonsentrasi di tangan perusahaan besar dan individu-individu kaya. Ini bertentangan dengan semangat UUPA 1960 yang dirancang untuk menciptakan keadilan sosial dalam penguasaan dan penggunaan tanah.

Kebutuhan rakyat akan akses terhadap tanah yang adil harus diprioritaskan, dan tidak boleh digantikan oleh orientasi pasar yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Revisi terhadap Undang-Undang Pokok Agraria perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan cermat. Hal ini penting mengingat pengalaman reformasi tanah di Zimbabwe yang telah menimbulkan berbagai dampak sosial dan ekonomi yang signifikan (Madhuku, 2004).

Demikian pula, reformasi tanah di Vietnam telah menyebabkan perubahan pola penggunaan tanah yang substansial, yang tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga meningkatkan ketidaksetaraan sosial dan mendorong komersialisasi tanah (Vien, 2011). Indonesia seharusnya belajar dari kesalahan ini dan memastikan bahwa revisi UUPA 1960 berfokus pada distribusi tanah yang adil dan berkelanjutan.

Ilustrasi: warga yang menerima sertifikat hak tanah. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Masyarakat Adat, Nilai Sosial Tanah dan Revisi UUPA

Revisi UUPA 1960 harus memperhatikan dan mengakomodasi hak-hak masyarakat hukum adat yang selama ini menjadi persoalan di Indonesia. Negara tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat di pedesaan dan kawasan hutan mengelola tanah secara adat, dengan sistem pengelolaan yang telah diwariskan turun-temurun.

Tanah, dalam konteks ini, bukan hanya sekadar alat produksi, tetapi juga bagian dari identitas dan keberlanjutan komunitas mereka. Oleh karena itu, revisi ini tidak boleh mengabaikan aspek sosial dan kultural dalam pengelolaan tanah.

Di Indonesia, hubungan masyarakat adat dengan tanah sangat erat, bukan hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam dimensi sosial, budaya, dan spiritual. Tanah adalah simbol kedaulatan dan identitas bagi banyak suku yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, hak atas tanah harus dilihat tidak hanya dari sisi legal-formal, tetapi juga dari sisi sosial dan kultural.

Mengabaikan hal ini berarti merusak tatanan sosial yang sudah berlangsung ratusan tahun dan merampas hak-hak masyarakat adat yang telah mengelola tanah dengan cara yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dalam proses revisi UUPA 1960, negara harus memperhatikan keberadaan masyarakat hukum adat dan sistem pengelolaan tanah mereka. Masyarakat adat selama ini telah memiliki hubungan yang sangat kuat dengan tanah yang mereka kelola. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap hak-hak mereka atas tanah adat dan sistem pengelolaan tanah yang mereka jalankan.

Negara harus bergerak untuk melindungi hak-hak ini dan mengakomodasi keberagaman pengelolaan tanah di Indonesia. Dalam pandangan hukum adat, tanah dipandang sebagai entitas yang memiliki jiwa, yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan eratnya dengan manusia. Oleh karena itu, pemahaman terhadap tanah tidak hanya terbatas pada aspek fisiknya, tetapi juga mencakup seluruh unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta hubungan antar sesama manusia.

Selain itu, tanah juga berhubungan dengan roh-roh di alam supranatural, yang semuanya terjalin dalam suatu kesatuan yang holistik dan tidak terpisahkan (Sumardjono, 2016).

Namun, revisi yang diusulkan justru terkesan mengabaikan hal ini. Sebagian besar pasal dalam revisi UUPA 1960 berfokus pada penyederhanaan administrasi pertanahan dan pengalihan tanah untuk kepentingan proyek besar. Ini berpotensi mengancam hak-hak masyarakat adat, yang seringkali tidak memiliki dokumen legal yang mengesahkan klaim mereka atas tanah yang sudah mereka kelola selama berabad-abad.

Negara, dalam hal ini, harus memastikan bahwa proses revisi ini tidak hanya menguntungkan perusahaan besar dan investasi luar, tetapi juga memberikan keadilan bagi masyarakat adat yang telah lama terpinggirkan.

Revisi UUPA 1960 juga harus memperluas definisi agraria untuk mencakup lebih dari sekadar tanah. Agraria adalah soal pengelolaan seluruh sumber daya alam, termasuk air dan ruang angkasa. Dalam konteks perubahan iklim yang semakin mendesak, pemerintah harus memikirkan kebijakan yang memperhatikan semua aspek ini, bukan hanya aspek tanah saja.

Perluasan definisi agraria ini akan memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam di Indonesia berjalan secara holistik dan berkelanjutan, dengan tetap mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Revisi UUPA 1960 yang sedang dipersiapkan harus dilakukan dengan hati-hati dan berbasis pada prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Kebijakan pertanahan yang berfokus pada kemudahan investasi dan pengalihan tanah tidak boleh mengorbankan hak-hak rakyat, masyarakat adat, dan keberlanjutan ekosistem.

Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka, serta upaya untuk menjaga ekosistem alam, harus menjadi prioritas utama dalam revisi ini. Negara harus memastikan bahwa tanah dikelola secara adil dan berkelanjutan, dengan tidak mengorbankan hak-hak rakyat dan lingkungan demi kepentingan segelintir pihak.

Pemerintah harus menjadikan kebijakan pertanahan sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan sosial dan keberlanjutan ekologis, bukan sebagai instrumen kapitalis yang hanya menguntungkan beberapa pihak saja.

Referensi

Madhuku, L. (2004). Law, politics and the land reform process in Zimbabwe. In M. Masiiwa (Ed.), Post-independence land reform in Zimbabwe: Controversies and impact on the economy. Friedrich Ebert Stiftung & Institute of Development Studies, University of Zimbabwe.

Saleth, R. M. (1991). Economic and political weekly, 26(30).

Suhendar, E., & Kasim, I. (1996). Tanah sebagai komoditas: Kajian kritis atas kebijakan pertanahan Orde Baru

Sumardjono, M. S. W. (2016). Mempromosikan hak komunal. Jurnal Epistema Institut, 6.

Vien, H. T. (2011). The linkage between land reform and land use changes: A case of Vietnam. Journal of Soil Science and Environmental Management, 2(3). https://doi.org/10.5897/JSSEM

*Martin Silaban. Peneliti di SHEEP Indonesia Institute & Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Artikel ini adalah opini penulis

***

Foto utama: Perempuan petani sedang memanen kacang di sekitar kawasan Hutan Desa Campaga. Hutan telah memberi berkah ekonomi berupa air yang bisa mengairi sawah dan pertanian lain di sekitar kawasan hutan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Mendorong Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis HAM

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|