- Jongot adalah kebun buah hutan di masyarakat Penukal, Kabupaten PALI, Sumatera Selatan. Jongot berfungsi sebagai sumber pangan, obat-obatan, ekonomi, dan penjaga mata air.
- Beragam buah hutan ditanam di jongot, seperti durian, duku, rambai, kemang, rambutan, perian, bacang, cempedak, petai, jengkol, nangka, pinang, dan lainnya.
- Saat ini luasan jongot di Penukal mulai berkurang dikarenakan diubah menjadi kebun karet. Guna melestarikan tanaman buahan hutan, sejumlah desa melakukan pembibitan dan penanaman.
- jongot merupakan hutan adat dari Suku Musi yang menetap di sekitar Sungai Penukal. Suku Musi adalah masyarakat multikultural, yang hidup memanfaatkan perairan dan daratan. Mereka tidak hanya mencari ikan dan bersawah, juga berkebun.
Jongot adalah kebun buah hutan yang dimiliki keluarga pada masyarakat Penukal, Kabupaten PALI, Sumatera Selatan. Selain sebagai sumber pangan, obat-obatan, ekonomi, jongot juga berperan sebagai penjaga mata air Sungai Penukal yang bermuara ke Sungai Musi.
“Hampir setiap keluarga besar di desa ini memiliki jongot. Luasnya sekitar satu hektar. Diperkirakan, ada 25 hektar jongot di desa kami, yang usia tanamannya puluhan hingga ratusan tahun,” kata Yusri Qolbi, Kepala Desa Kota Baru, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Sumatera Selatan, akhir Januari 2025.
Jongot dibuat para leluhur setiap keluarga.
“Buah yang ditanam adalah durian, duku, rambai, kemang, rambutan, perian, bacang, cempedak, petai, jengkol, nangka, dan pinang.”
Asmari [50], warga Desa Kota Baru, mengatakan di jongot juga ditanam sejumlah pohon seperti bambang lanang, gaharu, dan bambu.
“Bahkan, ada tanaman obat, seperti kumis kucing, daun sirih merah, keduruk, kelor, serta serai, kunyit, dan jahe.”
Beberapa tanaman buah juga sering digunakan sebagai obat. Misalnya, daun rambutan beliung kapas untuk mengobati kulit yang terbakar. Jongot adalah rumah bagi sejumlah fauna.
”Dulu ada harimau, terutama saat musim durian. Saat ini hanya ditemukan beragam jenis burung, trenggiling, dan kijang.”
Baca: Tumutan Tujuh, Tradisi Suku Semende Menjaga Sumber Air dan Kehidupan Kucing Liar
Jongot berkurang
Dijelaskan Asmari, luasan jongot di Desa Kota Baru berkurang.
“Penyebabnya, banyak dijadikan perkebunan karet. Jumlah keluarga bertambah, membuat kebutuhan ekonomi meningkat.”
Berkurang luasan jongot juga terjadi pada sejumlah desa di Penukal.
“Dulunya, hampir semua keluarga di Tempirai memiliki jongot. Umumnya, di sekitar Danau Burung. Kini berubah menjadi kebun karet, sehingga durian dan duku mulai sulit ditemukan,” kata Supriyanto, warga Desa Tempirai Selatan, Kecamatan Penukal Utara.
Hal yang sama terjadi di Desa Tambak, Kecamatan Penukal Utara.
“Setelah dimekarkan dari Desa Suka Ramai, sebagian jongot dijadikan kebun karet. Berat, bila masyarakat mengandalkan buah,” kata Jahudin, mantan Kepala Desa Tambak.
Hilangnya beragam jenis buah dan kayu di jongot, membuat Yusri Qolbi membagikan bibit tanaman hutan kepada warga Desa Kota Baru.
“Saya menyebarkan 10 ribu bibit durian lokal, ribuan bibit gaharu, bambang lanang, dan lainnya. Tanaman kayu saya dapatkan dari bantuan BP DAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Musi.”
Baca: Kearifan Suku Semende: Menjaga Alam dan Bersahabat dengan Kucing Liar
Hal yang sama dilakukan warga Tempirai Raya (Tempirai, Tempirai Utara, Tempirai Timur, dan Tempirai Selatan).
“Tiga tahun terakhir kami lakukan, tapi masih fokus di desa. Bibitnya berupa pohon sirih, ranggus, dan juga tanaman tabebuya, sumbangkan warga,” kata Abri,” kata Abri, founder Kampung Inggris Tempirai.
Berkurangnya luasan jongot bukan hanya mengancam kawasan konservasi di Penukal, juga menghilangkan identitas masyarakat.
“Jongot itu simbol sebuah keluarga. Saat musim buah, jongot menjadi media silaturahmi, sebab keluarga besar di luar Tempirai biasanya mudik,” kata Muhammad Faizal, Ketua Rumah Budaya Tempirai.
Jongot diwariskan dalam sebuah keluarga.
“Meskipun tidak ada aturan adat tertulis, tapi dipahami sebagai kebun yang tidak boleh diperjualbelikan. Jongot dibuat antara kebun karet dengan hume [ladang], atau di belakang rumah.”
Baca: Tunggu Tubang, Perempuan Hebat Penjaga Pangan Masyarakat Adat Semende
Cagar budaya
Teguh Eko Sutrisno, Tim Ahli Cagar Budaya [TACB] Kabupaten PALI, menyatakan jongot merupakan hutan adat dari Suku Musi yang menetap di sekitar Sungai Penukal. Suku Musi adalah masyarakat multikultural, yang hidup memanfaatkan perairan dan daratan. Mereka tidak hanya mencari ikan dan bersawah, juga berkebun.
“Jongot warisan budaya berbasis hutan. Selama ratusan tahun dijaga masyarakat di Penukal. “Saat ini tengah kami teliti, dan diperjuangkan sebagai cagar budaya. Asumsi kami, jongot sangat besar perannya membangun budaya masyarakat Penukal,” jelasnya, Kamis (30/1/2025).
Diperkirakan, jongot adalah kawasan hutan konservasi yang dikembangkan masyarakat Penukal.
“Ini dilakukan karena sedikitnya daratan dibandingkan lahan basah di Penukal. Perkiraan kami, jongot dikembangkan awal abad ke-20, ketika pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan perkebunan karet, atau jauh sebelumnya di masa Kesultanan Palembang yang mengembangkan perkebunan lada dan kemenyan,” jelasnya.
Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, keberadaan jongot seperti kelekak di Kepulauan Bangka Belitung. Sebuah konservasi hutan dengan menanam berbagai tanaman hutan.
Dr. Edwin Martin, Peneliti Ekologi Sosial, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), mengatakan jongot adalah agroforestry yang dikembangkan sejumlah masyarakat adat di Sumatera Selatan. Misalnya, ghepangan di Semende, kampungan di Enim, dan benuaran di Kabupaten Empat Lawang.
“Fungsinya, sebagai sumber pangan pendukung atau alternatif pangan pokok. Bedanya dengan kebun monokultur, kebun buahan hutan ini tidak dirawat sepanjang waktu. Hanya saat panen, sehingga menyerupai ekosistem hutan,” terangnya, Kamis (30/1/2025).
Hampir semua masyarakat yang mengembangkan kebun buah hutan adalah masyarakat yang memiliki kebun komoditas, seperti karet, lada, dan damar.
“Kebun buah hutan diposisikan sebagai antara sawah (ladang), sumber pangan pokok dan sumber penghasilan atau pendapatan.”
Handoyo, peneliti dari Pusat Riset Kependudukan BRIN, menyatakan terlepas pemahaman keilmuannya, jongot adalah hutan konservasi, hutan lindung, atau agroforestry.
“ Yang jelas, jongot itu adalah cara masyarakat adat menjaga lingkungannya agar tetap sesuai yang mereka inginkan,” paparnya.