Perpres Penertiban Kawasan Hutan: Solusi atau Bencana Bagi Masa Depan Hutan Indonesia?

3 days ago 16

Awal tahun 2025 membawa tantangan serius bagi keberlanjutan hutan Indonesia. Setelah pada akhir 2024 Presiden menyatakan bahwa hutan dan sawit “sama-sama tumbuhan”, kebijakan pembukaan lahan 20 juta hektar untuk pangan dan energi maka disusul dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang menuai kekhawatiran luas.

Salah satu tujuan utama Perpres ini adalah mengoptimalkan penerimaan negara (Pasal 2 (1)). Alur logikanya adalah tindakan penertiban pemanfaatan kawasan hutan untuk mengoptimalkan sumber pendapatan negara. Aturan denda administratif yang menjadi salah satu fokus Perpres ini juga dapat diartikan sebagai langkah untuk memonetisasi pelanggaran.

Di tengah situasi konflik tata batas kawasan hutan, ketidakpastian hukum, dan ketimpangan akses menjadi isu kronis, apakah Perpres ini mampu menjawab tantangan tersebut, atau justru memperparah situasi? Dalam lima tahun terakhir saja, terdapat 9.124 konflik pertanahan yang terkait dengan transmigrasi, perkebunan, dan kawasan hutan (Diantoro, 2020).

 

Hutan Indonesia dengan kekayaan ragam hayati, termasuk pohon-pohon raksassa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Legal, Legitimasi Lain Soal

Legal but not legitimate, adalah salah satu frasa yang sering diutarakan Alm. Prof. Hariadi Kartodihardjo ketika membicarakan akar masalah konflik tenurial di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Analisis terkait legalitas sering kali tidak cukup menjawab persoalan mendasar terkait legitimasi sebuah kebijakan. Proses pengukuhan kawasan hutan yang tampak “legal” di atas kertas tidak serta-merta diakui oleh masyarakat sebagai “legitimasi” jika langkah-langkahnya mengabaikan partisipasi publik.

Pada tahun 2023, pengukuhan kawasan hutan di atas kertas telah mencapai 99,6 juta hektar, dengan panjang batas yang telah ditata mencapai 332.184 km (88,88% dari total panjang batas kawasan hutan).

Meskipun ini tampak sebagai progres positif di atas kertas, kenyataannya konflik agraria justru meningkat, mengindikasikan bahwa pengukuhan ini lebih fokus pada formalitas administratif daripada penyelesaian masalah di lapangan.

Secara teori, hal ini bisa menjadi landasan untuk penyelesaian konflik di lapangan. Namun, karena proses pengukuhan kerap dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat dan lebih menekankan pencapaian target administratif (panjang kilometer), legitimasi proses ini diragukan.

Selain itu, studi mencatat bahwa banyak konflik tata batas berakar pada perbedaan persepsi antara masyarakat lokal dan pihak yang melakukan pengukuhan, yang sering kali dipaksakan tanpa solusi konkret terhadap masalah di lapangan.

​Dari 3,4 juta hektar perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan, maka baru 576.983 hektar yang sedang dalam proses pelepasan kawasan hutan. Ketimpangan ini mencerminkan bahwa proses pengukuhan kawasan hutan lebih berfokus pada angka administratif tanpa mencerminkan kondisi sosial dan ekologi di lapangan, yang pada akhirnya memperburuk konflik struktural yang mendasarinya.

Angka ini juga mengindikasikan bahwa banyak pelaku usaha besar memiliki pengaruh yang cukup besar untuk tetap beroperasi di kawasan yang status hukumnya tidak jelas, sementara masyarakat adat dan lokal sering kali menjadi pihak yang dikorbankan.

Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa proses pengukuhan sering dilakukan secara sepihak tanpa dialog transparan dengan masyarakat terdampak, memperkuat persepsi bahwa kebijakan ini hanya berpihak pada aktor-aktor besar dengan akses politik dan ekonomi.

Sebuah studi oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa dari total konflik agraria yang tercatat pada 2023, sebagian besar terjadi di kawasan hutan dengan akar masalah ketidakjelasan tata batas. Dengan situasi ini, kehadiran Perpres No. 5 Tahun 2025 lebih terlihat sebagai alat yang berpotensi memperkuat ketidakadilan struktural dalam tata kelola kehutanan.

 

Hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kini telah diakui negara. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Konsekuensi pada Hak Masyarakat Adat

Penertiban kawasan hutan tanpa mempertimbangkan keberadaan Masyarakat Adat berisiko melanggar hak asasi mereka, memperkuat marginalisasi yang telah lama mereka alami, dan menciptakan ketimpangan baru dalam pengelolaan sumber daya alam.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sekitar 526.000 hektar wilayah adat tumpang tindih dengan konsesi industri tambang dan perkebunan (KPA, 2024). Penertiban seperti yang diamanatkan Perpres ini dapat menyebabkan penggusuran masyarakat adat tanpa penyelesaian konflik yang adil.

Selain itu, proses tata batas sering kali tidak melibatkan masyarakat lokal secara partisipatif. Sebagai contoh, studi menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang telah lama mendiami kawasan hutan tidak memahami bahwa tanah yang mereka kelola dianggap sebagai kawasan hutan negara secara formal. Hal ini sering kali menjadi akar konflik tenurial yang berlarut-larut

Penutup

Perpres No. 5 Tahun 2025 memperlihatkan ambisi besar pemerintah dalam menertibkan kawasan hutan, tetapi ia hadir dalam lanskap hukum dan sosial yang kompleks.

Proses tata batas kawasan yang minim partisipasi publik menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan hutan sering kali dilakukan tanpa memperhatikan masukan dan keterlibatan masyarakat lokal. Akibatnya, konflik tenurial terus meningkat, terutama di wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan.

Pengabaian dialog transparan ini tidak hanya memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang memicu sengketa agraria yang berlarut-larut. Di sisi lain, absennya perlindungan eksplisit terhadap hak Masyarakat Adat semakin menegaskan kurangnya keberpihakan kebijakan ini terhadap keadilan sosial.

Indonesia membutuhkan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara, tetapi juga memperhatikan keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan hak-hak Masyarakat Adat. Perpres ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola hutan secara inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan.

*Giorgio Budi Indrarto, penulis adalah Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan. Artikel ini adalah opini penulis.

***

Foto utama: Hutan Indonesia sebagai salah satu aset Indonesia yang terutama,  Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Cerita Para Pahlawan Penjaga Hutan Nusantara

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|