Tidak Baik-baik Saja, Lahan Basah Berkurang Lebih Cepat Dibanding Hutan Dunia

3 days ago 14
  • Para ahli memperkirakan, luas lahan basah sekitar 69 persen dari luas permukaan bumi. Itu sama dengan sekitar 11,4 miliar hektar.
  • Lahan basah merupakan ekosistem bagi 40 persen semua spesies tumbuhan dan hewan di dunia. Namun, lahan basah tidak sedang baik-baik saja. Luasnya di seluruh dunia terancam hilang tiga kali lebih cepat dibanding hutan.
  • Lahan basah mirip ginjal manusia, organ yang menyaring limbah dari darah dan menyeimbangkan cairan tubuh. Lahan basah memiliki kemampuan membersihkan air yang melewatinya, mengurangi kejadian banjir besar, dan mengisi kembali ekuifer bawah tanah.
  • Indonesia memiliki delapan Situs Ramsar yaitu Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah), Taman Nasional Sembilang (Sumatera Selatan), Taman Nasional Berbak (Jambi), Taman Nasional Rawa Opa Watumohai (Sulawesi Tenggara), Taman Nasional Wasur (Papua), Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Jakarta), Danau Sentarum (Kalimantan Barat), dan Taman Wisata Alam Menipo (Nusa Tenggara Timur).

Luas lahan basah diperkirakan sekitar 6-9 persen dari luas permukaan bumi. Itu sama dengan sekitar 1-1,4 miliar hektar. Bandingkan dengan perkiraan luas hutan di seluruh dunia yang mencapai 4,06 miliar hektar (2020) atau sekitar 31 persen dari luas permukaan bumi.

Luas lahan basah memang jauh lebih kecil. Namun, lahan basah merupakan ekosistem bagi 40 persen semua spesies tumbuhan dan hewan di dunia. Sementara, jumlah manusia yang mata pencahariannya bergantung keberadaan lahan basah mencapai lebih satu miliar orang, atau satu di antara delapan orang penduduk bumi. Namun, lahan basah tidak sedang baik-baik saja. Luasnya di seluruh dunia terancam hilang tiga kali lebih cepat dibanding hutan, menurut laporan PBB.

“Lahan basah yang sehat sangat penting bagi mitigasi iklim, habitat keanekaragaman hayati, dan kesejahteraan manusia. Namun, pembangunan yang tidak berkelanjutan, polusi dan perubahan iklim terus mengancam ekosistem yang penting ini,” kata Musonda Mumba, dalam pernyataan terkait peringatan Hari Lahan Basah Dunia, dikutip dari situs resmi Wetlands

Perempuan kelahiran Zambia ini adalah Sekretaris Jenderal Konvensi Lahan Basah. Konvensinya diadakan setiap tiga tahun sekali. Tahun ini bakal diselenggarakan di Victoria Falls, Zimbabwe, Juli 2025.

PBB menetapkan setiap 2 Februari sebagai Hari Lahan Basah Dunia. Tanggal itu merujuk  Konvesi Lahan Basah pada 1971 yang diadakan di Ramsar, Iran. Peringatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang lahan basah bagi banyak pihak.

Baca: Bagaimana Masyarakat Tempirai Memahami Lahan Basah?

Permukiman di Tempirai, Penukal, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Sumatera Selatan ini berada di wilayah lahan basah. Foto drone: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia

Lebih cepat berkurang

Lahan basah mirip ginjal manusia, organ yang menyaring limbah dari darah dan menyeimbangkan cairan tubuh. Pendapat itu dikemukakan Jorge Ramos, environmentalis dari Stanford University. Lahan basah memiliki kemampuan membersihkan air yang melewatinya, mengurangi kejadian banjir besar, dan mengisi kembali ekuifer bawah tanah.

“Ancaman terhadap lahan basah terus berlanjut, karena banyak yang dikeringkan, dirusak, dan diganti dengan lahan pertanian, pembangunan perkotaan komersial, serta perumahan,” tulisnya dalam sebuah artikel di Conversation.

Secara global, lahan basah menjadi ekosistem dengan tingkat penurunan, kehilangan, dan degradasi tertinggi.

Laporan Global Wetlands Outlook 2018 menyebutkan, dunia kehilangan 35 persen lahan basah alami sejak 1970. Sementara lahan basah tersisa menghadapi ancaman kekeringan, polusi, spesies invasif, pemanfaatan tidak berkelanjutan, gangguan aliran air, dan perubahan iklim.

Baca: Hidup Kucing Bakau Bergantung pada Ekosistem Lahan Basah

Lahan basah memiliki fungsi penting menjaga peradaban manusia. Foto: Humaidy Kennedy/Mongabay Indonesia

Sementara laporan 2021 menyebutkan, kerusakan lahan basah semakin meluas, meski banyak laporan lahan basah yang memiliki karakter ekologi lebih baik. Hilangnya keanekaragaman hayati terus meningkat, demikian pula sumber polusi terutama dari sektor pertanian.

Selama tiga tahun (2018-2020) lebih banyak laporan lahan basah yang memburuk kondisinya. Kerusakan yang meluas terutama terjadi di Afrika, Amerika Latin, dan Karibia.

Kualitas air juga menurun akibat polusi, menurut laporan itu. Kandungan nitrogen dan fosfor yang ditemukan di air meningkat, terutama yang bersumber dari aktivitas pertanian. Eutrofikasi atau pengayaan mineral telah merusak banyak lahan basah air tawar dan pesisir. Pertumbuhan alga dan tanaman air menjadi tidak terkontrol.

Ancaman lain berasal dari sampah plastik. Sampah yang sulit terurai ini menumpuk di sebagian besar lahan basah dan telah membunuh banyak spesies.

Baca juga: Mengkritisi Salah Arah Kebijakan Cetak Sawah di Lahan Basah

Lahan basah diperkirakan lebih cepat berkurang dibandingkan hutan yang ada di dunia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Kesepakatan global

Hingga kini, 90 persen dari angota PBB atau lebih dari 160 negara telah menyepakati perjanjian konvensi lahan basah. Ada 2.525 situs lahan basah di seluruh dunia yang terdaftar dengan luas 257.491.218 hektar.

Masing-masing negara anggota berkewajiban mengimplementasikan kesepakatan konvensi. Antara lain, mengimlementasikan kerangka kerja sama, rencana aksi konservasi, dan pemanfaatan secara bijaksana atas lahan basah.

Konvensi Ramsar mendefinisikan lahan basah sebagai daerah rawa, paya (rawa yang diselingi lahan kering), lahan gambut atau perairan, baik alami atau buatan, permanen atau sementara, dengan air yang tergenang atau mengalir, tawar, payau atau asin, termasuk daerah perairan laut yang kedalamannya pada saat air surut tidak melebihi enam meter.

Konvensi Ramsar mengadopsi klasifikasi jenis lahan basah yang mencakup 42 jenis. Di antaranya yang paling umum dikenal antara lain danau, sungai, rawa, dan laut. Dari 42 jenis ini bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu lahan basah laut dan pesisir, lahan basah pedalaman, dan lahan basah buatan manusia.

Indonesia memiliki delapan Situs Ramsar yaitu Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah), Taman Nasional Sembilang (Sumatera Selatan), Taman Nasional Berbak (Jambi), Taman Nasional Rawa Opa Watumohai (Sulawesi Tenggara), Taman Nasional Wasur (Papua), Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Jakarta), Danau Sentarum (Kalimantan Barat), dan Taman Wisata Alam Menipo (Nusa Tenggara Timur).

Seperti negara peserta konvensi lainnya, Indonesia terikat kesepakatan untuk membuat rencana aksi dan melaporkannya secara terbuka. Agar, para pihak bisa mengambil pelajaran, saling membantu, dan mengidentifikasi isu dan tantangan yang muncul.

Dalam salah satu laporan untuk konvensi, kisah sukses penetapan situs Ramsar di Indonesia antara lain berupa peningkatan konservasi keanekaragaman hayati di habitat alami. Misalnya, Taman Nasional Wasur dan Sembilang dinyatakan sebagai jalur migrasi burung Asia timur dan Australasia.

Riset: Tumbuhan Menjerit Ketika Stres, tapi Manusia Tidak Mendengarnya

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|