Presiden Prabowo Subianto berambisi mewujudkan swasembada pangan di Indonesia dalam empat tahun mendatang. Program food estate ini memiliki tantangan besar, mengingat kegagalan terjadi berulang sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo.
“Saudara-saudara sekalian, saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu sesingkat-singkatnya,” ujar Presiden Prabowo saat menyampaikan pidato Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, 20 Oktober 2024 lalu.
Strateginya, pemerintah akan mencetak sawah hingga tiga juta hektar di Maluku hingga Kalimantan Tengah. “Bahkan kita siap menjadi lumbung pangan dunia,” katanya.
Laporan Menelan Hutan Indonesia (2021) mencatat sejarah kegagalan program food estate di Indonesia. Pada era Presiden Jokowi, program ini menyebabkan deforestasi yang cukup luas dari Sumatera hingga Papua. Diantaranya, program food estate di Kalimantan Tengah seluas 770.000 hektar, Papua dua juta hektar dan Sumatera Utara 32.000 hektar. Dampaknya bukan pada peningkatan produktivitas pangan tapi peningkatan konflik agraria, kerusakan lingkungan masif hingga pelanggaran HAM.
Proyek ini sebetulnya sudah ada sejak 1996, Presiden Soeharto menjalankan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare di Kalimantan. Sayangnya, itu tidak berhasil dan menyebabkan kebakaran hutan yang terus berulang saat musim kemarau hingga saat ini.
Kegagalan berulang kembali saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjalankan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua pada 2008. Luasnya mencapai 1,2 juta hektar. Sayangnya, tingkat kemiskinan makin meningkat karena masyarakat kehilangan hutan sagu yang menjadi sumber pangan mereka. Bahkan kerusakan hutan menyebabkan mereka tak lagi bisa berburu rusa dan babi.
Kini, Presiden Prabowo punya ambisi yang sama. Yakni, menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia dengan cara mencetak sawah lagi. Berikut fakta-fakta tentang proyek food estate di Indonesia.
1. Hancurkan hutan gambut
Lebih dari 1.500 hektar hutan gambut di Kalimantan Tengah hancur untuk menanam singkong dalam proyek ini. Padahal lahan gambut memiliki peranan penting dalam adaptasi perubahan iklim. Gambut mampu menyerap karbon 20 kali lebih tinggi dibandingkan hutan hujan tropis.
Sayangnya, pemerintah tetap membalak ribuan hektar lahan gambut demi penanaman singkong melalui proyek strategis nasional atas nama swasembada pangan. World Resources Institute (WRI) Indonesia menyebutkan lapisan gambut tidak cocok untuk lahan perkebunan. Pembukaan hutan yang sudah terjadi menyebabkan kehilangan 62.25 metrik ton CO2 per hektar setiap tahunnya. Angka ini setara dengan membakar lebih dari 26.000 liter bahan bakar.
2. Alih fungsi menjadi sawit hingga semak belukar
Program food estate di Kalimantan Tengah sejak era orde baru hingga 2023 pun mangkrak. Tim Pantau Gambut menemukan 600 hektar lahan perkebunan yang terbengkalai begitu saja. Petak-petak sawah berubah menjadi semak belukar. bahkan sejumlah tanaman singkong pun layu sebelum siap panen. Ukurannya pun sebesar jari kelingking manusia.
Beberapa titik lahan yang mangkrak kini menjelma jadi perkebunan sawit. Dari hasil investigasi lanjutan, ada sekitar 274 hektar di Desa Tajepan dan Palingkau Asti yang sudah ditanami sawit karena tumpang tindih dengan izin perusahaan. Padahal, lokasi tersebut berstatus Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).
3. Bencana asap dan banjir menahun
Semenjak pembukaan hutan di Desa Tawai Baru, Gunung Mas, Kalimantan Tengah untuk food estate, intensitas banjir kian sering dan meninggi. Sebelum proyek berjalan, tingga banjir 50 cm, kini mencapai 1,5 m.
Selain banjir, bencana asap sering kali terjadi di eks-PLG di Kalimantan Tengah. Berdasarkan data Pantau Gambut ada 91.352 hektar di kawasan tersebut terbakar dalam satu tahun terakhir. Seharusnya, lahan tersebut menjadi prioritas restorasi gambut dibandingkan alih fungsi untuk perkebunan.
4. Deforestasi terencana
Tak hanya merusak lahan gambut, program food estate menyebabkan deforestasi. Pada pemerintahan Presiden Jokowi, misalnya, totalnya mencapai 1.500 hektar hutan di desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas. Sedangkan di Sumatera Utara terdapat 600 hektar hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan.
Sementara itu jutaan hektar hutan Papua masih dalam ancaman untuk kawasan pengembangan pangan dan energi di Kabupaten Merauke. Luasnya mencapai 500.000 hektar untuk perkebunan tebu dan bioetanol, 100.000 hektar optimalisasi lahan, dan satu juta hektar untuk cetak sawah baru.
Bahkan, rencana deforestasi hutan di Indonesia demi food estate sudah masuk dalam Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Melalui dokumen tersebut, pemerintah sebetulnya sudah melegalkan izin pembukaan hutan untuk perkebunan sawit hingga perkebunan tebu yang masuk dalam PSN. Riset Greenpeace “Main Api Dengan Deforestasi” menemukan ada skema deforestasi terencana dan tidak terencana sebesar 4,22 juta hektar sejak 2013 hingga 2030.
5. Hutan pangan hilang, kemiskinan meningkat
Selama dua dekade, food estate senantiasa bercokol di tanah Papua. Namun, masyarakat adat Papua malah diganjar dengan kelaparan, kemiskinan dan perampasan tanah mereka untuk food estate.
Hasil penelitian FIAN Indonesia menyebutkan keuntungan proyek food estate hanya dinikmati oleh korporasi saja. Sementara itu, masyarakat asli papua sendiri kehilangan ruang hidup dan hutan sagu. Sejak tahun 2010, laporan tersebut mengatakan food estate sama sekali tak berkontribusi menurunkan angka kemiskinan di tanah yang mereka rampas. Bahkan, peralihan lahan secara masif itu malah menjadi penyebab utama permasalahan kemiskinan dan stunting yang menjamur di Papua.
Menurut data yang disajikan pada Hasil Survei Status Gizi Indonesia, angka stunting di Papua 13% lebih tinggi daripada angka rata-rata di Indonesia. Pembabatan hutan telah merampas sumber pangan masyarakat.
6. Ancam biodiversitas
Food estate mengancam keanekaragaman hayati di Indonesia. Hutan Papua, misalnya merupakan rumah keanekaragaman hayati flora dan fauna endemik. Ada sekitar 13.634 spesies atau 68% di dunia berada di Papua.
Tak hanya itu, habitat orang utan di Kalimantan Tengah, harimau sumatra dan beruang madu di Sumatera Utara terancam karena proyek food estate. Pembukaan hutan demi perkebunan pangan dalam skala masif akan memusnahkan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Ini juga memicu terjadinya perburuan liar pada spesies-spesies langka.
7. Kucuran dana fantastis
Proyek pangan dan energi di Papua merupakan kelanjutan dari proyek food estate. Nilai investasi yang ditanam untuk proyek ini mencapai US$ 8 miliar. Jumlah tersebut setara dengan Rp130 triliun.
Rencananya, proyek ini bakal dipegang oleh swasta dan BUMN. PT Sinergi Gula Nusantara dan Wilmar Group turut bergabung di dalamnya. Mereka berencana membangun lima pabrik gula, lahan tebu sekaligus produksi bioetanol, kebun, hingga pembangkit listrik. Untuk mendukung berjalannya proyek, mereka juga tentunya membangun akses jalan, pelabuhan, dan bendungan. (***)
Ketika Konflik Lahan Terus Meluas, Reforma Agraria Gagal?
*Sidney Alvionita Saputra adalah jurnalis yang saat ini menempuh pendidikan sarjana Teknik Infrastruktur Lingkungan di Universitas Gadjah Mada. Ia menulis tentang isu-isu lingkungan dan perempuan, fokusnya pada dampak lingkungan dan keadilan gender.