- Sebagian masyarakat pesisir Kota Padang, Sumatera Barat, terdampak banjir rob pada Oktober lalu. Air laut seperti meluap ke darat padahal cuaca sedang cerah. Mengapa ini terjadi?
- Nofi Yendri Sudiar, Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang menilai, mangrove sebagai pelindung Kota Padang dari abrasi, maupun banjir rob terus tergerus.
- Eni Kamal, Kepala Pusat Studi Mangrove Universitas Bung Hatta mengatakan, intrusi air laut, sudah masuk jauh ke Kota Padang. Sumur-sumur di Kota Padang itu sudah terkena intrusi air laut yang masuk ke air tanah. Kalau sampai 10 tahun kemudian kondisi mangrove terus tergerus, besar kemungkinan terjadi penurunan tanah.
- Pemerintah, harus membuat perda pelestarian mangrove yang melingkupi perlindungan kawasan mangrove yang berada di luar kawasan konservasi dan masuk kewenangan pemerintah provinsi.
Sebagian masyarakat pesisir Kota Padang, Sumatera Barat, terdampak banjir rob pada Oktober lalu. Air laut seperti meluap ke darat padahal cuaca sedang cerah. Air pasang ini naik sekitar tiga hari. Halaman Laboratorium Fisika Universitas Negeri Padang pun tergenang air laut.
Apa yang terjadi? Nofi Yendri Sudiar, Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang menilai, mangrove sebagai pelindung Kota Padang dari abrasi, maupun banjir rob terus tergerus.
Nofi lakukan penelitian seperti mangrove, penggunaan sepadan sungai dan kaitan curah hujan tinggi. Dari 2002-2022, lebih 100 hektar mangrove hilang di Kota Padang.
Pada 2015, luasan mangrove ada 356 hektar menyusut 87 hektar sampai 2022, jadi 269 hektar. “Luas mangrove Kota Padang banyak menyusut,” katanya.
Alumni Institut Pertanian Bogor ini mengatakan, hutan mangrove menyusut berarti penyerapan karbon berkurang.
“Kebanyakan yang tersisa mangrove di Teluk Buo. Kita tidak boleh masuk ke (hutan mangrove) itu karena masuk kawasan PLTU Teluk Sirih. Tinggal di daerah sana yang paling banyak mangrovenya,” katanya.
Selain di Teluk Buo, mangrove di Kota Padang tersisa di daerah Air Tawar, sekitar Tabing tetapi jumlah sangat sedikit hingga tak tampak dari citra satelit.
Nofi mengingatkan, salah satu pendapatan Kota padang adalah pariwisata, terutama di area pantai. Dampak dari kenaikan air muka laut ini pantai sebagai tempat wisata terkikis.
Ketika suhu laut meningkat, terumbu karang bisa mati. “Ikan yang nyaman di suhu tertentu dan laut menjadi hangat, ikan akan pindah, akhirnya nelayan susah mencari ikan. Kalau biasa ikan tertentu gampang dicari, karena suhu naik ikan pada lari.”
Bila tak ada upaya menghambat krisis iklim, daerah pesisir bisa hilang.
Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat 2021, luas hutan mangrove di provinsi itu sekitar 43.186,71 hektar. Jumlah itu tersebar pada daerah pesisir mulai dari Kepulauan Mentawai 32,600 hektar, Pasaman Barat 6.273 hektar, dan Pesisir Selatan 2.549,55 hektar. Lalu, Kabupaten Agam 313,5 hektar, Padang Pariaman 190 hektar dan Kota Padang 1.250 hektar.
Tahan laju abrasi dan rob
Senada dikatakan Erizal Mukhtar, Guru besar Biologi Universitas Andalas. Hutan mangrove, katanya, sangat berjasa untuk Kota Padang dan Sumatera Barat, dalam menahan laju abrasi dan kenaikan air muka laut.
“Dulu, sudah mau ditanam namun Fauzi Bahar saat jadi walikota ga mau karena pantai nanti ndak nampak pemandangan. Ga tau apa bahayanya.”
Hutan mangrove juga bisa mengurangi dampak tsunami. Erizal mengatakan, minimal ada 15 meter hutan mangrove padat dari bibir pantai ke arah laut agar dapat menahan laju tsunami. Padang, salah satu daerah rawan tsunami.
Masyarakat, katanya, tak bisa menghentikan tsunami tetapi bisa lari dari bencana itu. Panjang minimal dan kepadatan tanaman mangrove menentukan pelambatan arus tsunami ketika ke darat.
Meskipun begitu, katanya, tidak bisa terburu-buru menanam mangrove. Ada beberapa cara seperti membuat dam dulu lalu diberikan lumpur untuk menanam mangrove. Setelah cukup besar, baru dam dibuka.
Bisa juga tanam bertahap, semisal di dekat batu pemecah ombak di pesisir Kota Padang. Sedikit demi sedikit. Ia berguna untuk menahan laju abrasi.
“Karena akar akan mengikat tanah dan pasir yang dibawa ombak, hingga bisa mengurangi intrusi air laut ke sumur-sumur warga perlahan,” katanya.
Kalau sudah begitu, kata Erizal, banjir rob tidak akan masuk ke kota bermeter-meter seperti pertengahan Oktober lalu.
Alumni Ehime University dan Yokohama National University Jepang ini mengatakan, untuk penanaman juga harus ada uji kelayakan dahulu dengan melihat habitat, tak bisa sembarangan.
Seperti penanaman mangrove di Pariaman, kata Erizal, yang mereka tanam jenis yang tak bisa berhadapan langsung dengan gelombang. Tak lama bibit mangrove yang jenis itu mati semua.
Eni Kamal, Kepala Pusat Studi Mangrove Universitas Bung Hatta mengatakan, bukan hanya banjir rob, juga penurunan tanah dan tangkapan nelayan hilang.
Intrusi air laut, katanya, sudah masuk jauh ke Kota Padang. “Jadi sumur-sumur di Kota Padang itu nggak sehat lagi, sudah asin, sudah terkena intrusi air laut yang masuk ke air tanah,” katanya.
Kalau sampai 10 tahun kemudian kondisi mangrove terus tergerus, kata Eni, besar kemungkinan terjadi penurunan tanah.
Dia contohkan, lokasi di Air Bangis, Pasaman Barat, dengan mangrove sudah berkurang banyak dan tanah rentan penurunan.
“Dulu, 10-15 tahun lalu ada sekitar 6.000 hektar, sekarang tinggal sekitar 3.000 hektar, diganti jadi sawit, termasuk di Agam,” katanya.
Dia katakan, warga bisa melihat pada lapak penjual ikan di pasar pesisir pantai. Makan lama yang dijual makin berkurang. “Mungkin hari ini ketemu 15 spesies, mungkin nanti beberapa tahun kemudian hanya ada 7-8 spesies. Hanya ada tongkol, kembung. Ikan pantai nggak ada lagi, karena sudah susah nyarinya,” katanya.
Pemerintah, katanya, harus membuat perda pelestarian mangrove ini. “Jika tidak ada peraturan daerah (perda) maka tidak ada kekuatan hukumnya (melarang penebangan mangrove),” katanya.
Pemerintah atau orang-orang hanya melihat mangrove yang harus terjaga hanya dalam wilayah konservasi, di luar tidak jadi perhatian seperti di pulau-pulau dan pantai yang tidak masuk kawasan konservasi.
“Itu dasar perda yang kita ajukan. Mangrove yang berada di luar kawasan itu masuk dalam kewenangan pemerintah provinsi,” katanya.
Orang hanya melihat mangrove di dalam kawasan konservasi, di luar kawasan tidak jadi perhatian, termasuk di pulau dan pantai.
“Itu ga masuk kawasan konservasi, itu dasar perda yang kita buat, mangrove di luar kawasan masuk wilayah provinsi.”
Kondisi ini, katanya, mendesak karena perusakan mangrove terus terjadi tetapi tidak ada tindakan apapun.
Eni juga Ketua Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Sumatera Barat. Dia mencatat beberapa penyebab penyusutan hutan mangrove ini.
Pertama, penggerusan lahan mangrove dampak pembangunan kebun sawit, tambak udang, wisata dan perumahan di sepanjang pesisir pantai Sumbar. Kedua, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hutan dan ekosistem mangrove.
Untuk itu, perlu koordinasi dengan DPRD untuk menerbitkan peraturan daerah penyelamatan ekosistem mangrove.
Ketiga, pengembangan pusat edukasi ekosistem mangrove untuk semua lapisan masyarakat, berkolaborasi dengan perguruan tinggi di Sumatera Barat, Pengembangan kelompok mahasiswa dan pelajar pecinta mangrove serta pembentukan kelompok masyarakat mangrove di Sumbar yang berbasis ekologi dan ekonomi berkelanjutan.
Keempat, mendirikan pengembangan pusat edukasi dan pembibitan di perguruan tinggi yang permanen seperti di Universitas Bung Hatta.
Eni mengatakan, ada banyak potensi pangan dari laut yang hilang kalau mangrove tergerus.
“Setiap hilangnya satu hektar mangrove ada 4-6 ton ikan hilang per tahun. Setiap satu hektar hilang, hilang makanan 3-4 ton per tahun,” katanya.
Secara ekologis, katanya, mangrove sangat kaya. Ada cacing, custae yang jadi makanan anak-anak ikan, dan ikan-ikan kecil.
“Mangrove, jadi rantai makanan paling subur. Produksi alami ikan di sana sangat kaya.”
*****