- Ruang hidup Suku Besemah di Sumatera Selatan yang luasnya sekitar 1,07 juta hektar selama ribuan tahun, menjadi habitat gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].
- Di masa peradaban megalitikum Besemah, manusia dan gajah hidup harmonis, yang dbuktikan banyaknya arca bergambar gajah.
- Saat ini, sebagian besar ruang hidup Suku Besemah sudah sulit ditemukan gajah. Bahkan pada beberapa habitat terakhirnya, tidak lagi ditemukan gajah.
- Populasi gajah di Sumatera Selatan banyak yang bertahan di dataran rendah atau lahan basah. Seperti di Air Sugihan, Benakat Semangus, dan Lalan.
Suku Besemah adalah Suku Melayu tua di Sumatera Selatan, yang hidup di dataran tinggi [900-1.200 meter dari permukaan laut] sekitar Gunung Dempo [3.142 meter] dan Gunung Patah [2.817 meter]. Sub Suku Besemah ini dikenal dengan nama Suku Semende, Suku Gumay, dan Suku Kikim.
Luas wilayah hidup Suku Besemah sekitar 1.07 juta hektar, yang tersebar di Kabupaten Empat Lawang, Kota Pagaralam, Kabupaten Muara Enim, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan.
Selama ribuan tahun, lembah dan plato [dataran rata] di dataran tinggi Besemah merupakan ruang hidup gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].
Sejak masa prasejarah, manusia hidup harmonis dengan gajah. Ini dibuktikan adanya beragam arca bergambar gajah peninggalan peradaban megalitikum Besemah.
Rr. Triwurjani, peneliti dari Pusat Riset Penelitian Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset Inovasi Nasional [BRIN], menemukan 14 arca bergambar gajah dari 64 arca yang ditemukan pada 24 situs di empat lokasi [Pagaralam dan Lahat]. Jumlah tersebut, lebih banyak dibanding hewan lain yang tergambar di arca, seperti kerbau, babi, dan harimau.
Kebudayaan megalitik di Besemah, diperkirakan penyebarannya melalui dua gelombang, yaitu megalitik tua pada Zaman Neolitikum [2500-1500 SM] yang dibawa pendukung Kebudayaan Kapak Seberang [Proto Melayu], serta megalitik pada Zaman Perunggu [1000-100 SM] dibawa pendukung Kebudayaan Dongson [Deutro Melayu].
Foto: Menabur Biji, Tradisi Suku Besemah Menjaga Hutan
Bukit Jambul Nanti Patah
Bagaimana kondisi gajah saat ini?
Pada wilayah sebaran arca bergambar gajah tersebut, tidak lagi ditemukan gajah. Misalnya, di Gunung Megang [Jarai, Kabupaten Lahat], Pulau Panggung [Pajar Bulan, Kabupaten Lahat], Tegurwangi [Kota Pagar Alam], dan Gumay Ulu [Kabupaten Lahat].
Hingga tahun 2000-an awal, gajah masih terlihat di wilayah Semende [Kabupaten Muara Enim dan Ogan Komering Ulu Selatan]. Wilayah Semende merupakan bagian dari kantong gajah Hutan Jambul Nanti Patah.
“Terakhir kami melihatnya sekelompok gajah di Pama, sekitar awal 2000-an. Setelah itu, tidak terlihat lagi,” kata Syarifudin, warga Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, pertengahan Oktober 2024.
Pama adalah daratan rata di kaki Bukit Jambul Nanti Patah yang masuk wilayah Desa Cahaya Alam di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut [m dpl]. Dataran rata ini berupa rawa yang terdapat beberapa kolam, dijadikan tempat gajah berendam.
“Meskipun sudah lama tidak dikunjungi gajah, tapi masyarakat di sini tidak berani membuka kebun di Pama. Takutnya, kawanan gajah kembali lagi,” kata Syarifudin.
Tidak adanya gajah di Pama, jelasnya, membuat masyarakat di Semende bingung atau heran. Sebab, selama ini hubungan masyarakat Semende dengan gajah berjalan harmonis.
“Kami bukan pemburu gajah. Kehadiran gajah tidak pernah berkonflik dengan kami, tapi kenapa mereka tidak muncul lagi. Itu yang membuang kami tidak paham.”
Malai Ibrahim [82], tokoh adat masyarakat Semende, juga membenarkan jika gajah sudah tidak terlihat sejak 20 tahun terakhir.
“Tapi kami percaya gajah-gajah itu masih ada, tapi mungkin mereka berkumpul di hutan yang lebih tinggi di Gunung Patah,” ujarnya.
Baca: Terancamnya Kearifan Suku Besemah Terhadap Alam
Laporan Identifikasi dan Pemetaan Kantong-kantong Habitat Gajah dan Harimau di Sumatera Selatan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan bekerja sama dengan FMIPA Universitas Sriwijaya dan GIZ-BIOCLIME pada 2016, menjelaskan kondisi kantong gajah Hutan Jambul Nanti Patah.
Di wilayah seluas 282.727 hektar, yang berada di Kabupaten Lahat, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, dan Kota Pagar Alam, yang berbatasan dengan Bengkulu, itu tidak ditemukan satu pun individu gajah.
“Saya kira masih ada gajah di wilayah Besemah. Mungkin, mereka berlari jauh ke dalam hutan sekitar Gunung Patah atau kawasan lindung. Tapi, dugaan ini butuh penelitian terbaru,” kata Syamsuardi, Ketua PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa], Rabu [30/10/2024].
Baca: Hutan Larangan Kedoy, Penjaga Mata Air Suku Besemah
Dataran Tinggi
Keberadaan gajah di dataran tinggi Sumatera Selatan bukan hanya di bentang alam Suku Semende, juga di lanskap Saka Gunung Raya, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, yang berbatasan dengan Lampung. Diperkirakan, di kawasan hutan Saka Gunung Raya masih ditemukan lima invidu gajah.
Tapi, jumlah ini sangat jauh jika dibandingkan 1980-an. Saat itu, populasi gajah diperkirakan mencapai ratusan individu. Berkurangnya populasi diperkirakan akibat upaya pemindahan gajah, yang lokasinya diperuntukkan bagi transmigran.
Berdasarkan penjelasan Akromi, mantan pegawai Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan, di Desa Gunung Raya, Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, pada Sabtu [17/12/2022] lalu, dirinya bersama tim menangkap sekitar 142 gajah di Gunung Raya, Buay Pemaca, dan sekitarnya.
Dari 1990 hingga 1996, gajah-gajah tersebut dipindahkan ke Kalimantan [sekitar 18 individu], Bali [sekitar 8 individu], dan Surabaya [3 individu]. Sisanya, dibawa ke PLG Lahat yang kemudian sebagian dipindahkan ke PLG Padang Sugihan.
Baca juga: Tata Kelola Air, Wujud Harmonis Suku Besemah dengan Alam
Bertahan di Lahan Basah
Hingga saat ini, habitat gajah di Sumatera Selatan yang populasinya masih bertahan umumnya berada di wilayah dataran rendah atau lahan basah. Mengapa?
Dijelaskan Syamsuardi, hal tersebut disebabkan beberapa hal. Pertama, banyak area di dataran tinggi sudah dijadikan perkebunan dan permukiman.
“Ini menyebabkan gajah terdesak untuk pergi ke lahan basah atau dataran rendah. Sebab, manusia cenderung mengelola lahan kering untuk perkebunan, pertanian dan permukiman.”
Kedua, di lahan basah masih tersedia sumber pakan.
Ketiga, tentunya dampak dari upaya pemindahan gajah di dataran tinggi di masa pemerintahan Orde Baru.
Meskipun dapat hidup dengan baik di lahan basah, tapi saat musim penghujan yang menyebabkan sebagian besar lahan basah tergenang air, gajah cenderung pergi ke daratan lebih tinggi.
“Akibatnya, sering terjadi konflik gajah dengan manusia. Sebab, kebanyakan manusia hidup di lahan kering. Makanya, konflik gajah dan manusia di Sumatera Selatan sering terjadi pada musim penghujan,” paparnya.
Sebagai informasi, beberapa kawasan atau habitat gajah di Sumatera Selatan yang berada di dataran rendah atau lahan basah adalah:
- Hutan Benakat Semangus seluas 259.801 hektar. Letaknya di empat kabupaten yakni Lahat, PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Muara Enim, Musi Rawas, dan Musi Banyuasin. Di lanskap ini, diperkirakan hidup sekitar 32 individu gajah.
- Hutan Sugihan-Simpang Heran di Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir [OKI]. Luasnya, 631.953 hektar diketinggian 0 – 20 meter dari permukaan laut. Di lokasi ini, terdapat seratusan individu gajah dalam beberapa kelompok.
- Hutan Mesuji di Kabupaten OKI yang berbatasan dengan Lampung, ditemukan beberapa individu gajah.
- Hutan Meranti-Sungai Kapas [Kabupaten Musi Rawas] dan Hutan Lalan {Kabupaten Musi Banyuasin] yang hanya ditemukan satu atau dua individu gajah.