- Teka-teki pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, mulai menemui titik terang. Pihak-pihak yang dianggap bertanggung-jawab dalam kasus ini pun mulai terkuak. Kementerian Agraria Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mulai memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini
- Susan Herawati Romica, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengapresiasi langkah KATR/BPN ini. Namun, katanya, sanksi itu tak cukup membuat efek jera. Dalam penguasaan laut ilegal ini terdapat delik pidana karena ada upaya menghilangkan ruang hidup para nelayan dan berisiko merusak biota laut.
- Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, mengatakan, mencermati seksama masalah itu. Kejagung, katanya, proaktif mengumpulkan bahan data dan informasi terkait indikasi pidana. Namun, mereka mendahulukan lembaga atau kementerian, seperti KKP untuk mendalami dan meneliti perkara itu.
- Kapolri Jenderal Listyo Sigit, memerintahkan Bareskrim membentuk dan menurunkan tim guna proses penyelidikan. Dari perintah itu, Tipidum Bareskrim Polri sudah membuat laporan tertanggal 10 Januari 2025 dan surat perintah penyelidikan dan rencana penyelidikan. Mereka juga langsung penyelidikan dengan memeriksa pihak-pihak terkait baik di lokasi pagar laut.
Teka-teki pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, mulai menemui titik terang. Pihak-pihak yang dianggap bertanggung-jawab dalam kasus ini pun mulai terkuak. Kementerian Agraria Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mulai memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini.
Berbagai pihak mengapresiasi upaya itu tetapi belum cukup karena diduga masih ada pihak-pihak terlibat belum tersentuh. Pemerintah diminta segera mengambil langkah hukum pidana lantaran kasus ini sudah merugikan nelayan, perampasan ruang hidup dan berisiko merusak biota laut.
Sampai saat ini, ada sembilan pihak terdiri dari swasta dan pejabat di Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang kena sanksi. Hasil audit dan investigasi Kementerian ATR/BPN, mereka bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di perairan Tangerang.
Mereka adalah Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJBS) berinisial RLMP, yang lisensinya akan dicabut karena survei dan pengukuran pada luas perairan agar terbit sertifikat.
“Itu perusahaan swasta karena di kita menggunakan dua survei pertama survei oleh petugas ATR/BPN, kedua bisa lewat jasa survei berlisensi tapi disahkan petugas ATR/BPN,” kata Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR, 30 Januari 2025.
Dia mengatakan, KATR/BPN juga memberikan sanksi pembebasan dan penghentian dari jabatan enam pejabat dan sanksi berat terhadap dua lainnya. Nusron tak merinci sanksi berat apa yang diberikan. Dia juga tak merinci siapa saja enam dan dua pejabat yang mendapat sanksi itu. Dalam RDP, dia hanya menyebut inisial.
Pejabat itu antara lain, JS, mantan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang periode 2022-2023, pensiun sejak Oktober 2024. Lalu, SH mantan Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran berinisial, dan ET mantan Kepala Seksi Survei dan Pemetaan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang.
Lalu, SH mantan Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Kantah Kabupaten Tangerang, dan LM mantan Kepala Survei dan Pemetaan Kantah Kabupaten Tangerang setelah ET. Kemudian, KA mantan Pelaksana Tugas Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Kantah Kabupaten Tangerang. Selanjutnya, WS Ketua Panitia A berinisial WS, YS Ketua Panitia A dan NS panitia A.
“Delapan orang ini sudah diperiksa inspektorat dan sudah diberikan sanksi oleh inspektorat. Tinggal proses pengesahan sanksi dan penarikan mereka dari jabatannya,” ucap Nusron.
KATR/BPN, katanya, berkomitmen memberantas mafia tanah. Untuk penegakan hukum, mereka berkolaborasi dengan aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, TNI, Badan Intelijen Negara (BIN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Mahkamah Agung. Aparat berwenang, katanya, sudah proses tindak lanjut pidananya.
“Memang sudah inisiasi di bidang itu (pidana) mulai dari proses pemalsuan dokumen di bawah yang melibatkan pemda (pemerintah daerah), mulai dari pemalsuan dokumen PBB, dokumen girikn dan sebagainya sudah diproses semua oleh APH. Jadi perkara masalah ini kemudian setelah kami administrasi selesai bola akan lari kepada proses pidananya.”
Kasus ini, bermula ketika pagar laut sepanjang 30,16 kilometer berbentuk petak-petak terpasang di perairan Kabupaten Tangerang. Ia menyebar di 16 desa di enam kecamatan, yakni, Kecamatan Teluknaga meliputi Desa Tanjung Pasir dan Tanjung Burung. Lalu, Kecamatan Pakuhaji, meliputi Desa Kohod, Sukawali dan Kramat.
Kemudian, Desa Karang Serang, Kecamatan Sukadiri. Selanjutnya, Kecamatan Mauk, meliputi Desa Ketapang, Tanjung Anom, Marga Mulya dan Mauk Barat. Lalu Kecamatan Kemiri, meliputi Desa Karang Anyar, Patra Manggala, dan Lontar. Terakhir, Kecamatan Kronjo, meliputi Desa Muncung, Kronjo dan Pagedangan Ilir.
Nusron mengatakan, telah menelusuri hak atas tanah di perairan kawasan pagar laut itu. Hasilnya, ada 263 bidang SHGB seluas 309,7985 hektar dan 17 bidang SHM 22,9334 hektar di perairan Desa Kohod.
SHGB itu milik PT Intan Agung Makmur (IAM) 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa (CIS) 20 bidang, perorangan 9 bidang dan 17 SHM perorangan. Sertifikat itu terbit pada 2023 dan 2024. KATR/BPN juga menemukan tiga bidang SHM 91.789 hektar di Desa Karang Serang terbit pada 2019.
CIS merupakan anak perusahaan pengembang PIK 2 yakni PT Pantai Indah Kapuk Dua (PANI), ada afiliasi dengan PT Agung Sedayu Group (ASG). Dalam situs Resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) CIS beralamat di Jalan Kampung Melayu Timur, Kabupaten Tangerang, Banten. Berdasarkan profil di situs Bursa Efek Indonesia (BEI), 99,3% saham CIS dipegang PANI.
Untuk IAM berdasarkan situs Dirjen AHU beralamat di Jalan Inspeksi PIK 2, Kabupaten Tangerang. Perusahaan ini juga masih ada hubungan dengan ASG.
Langkah lanjutan KATR/BPN, kata Nusron, membatalkan SHGB dan SHM. Pembatalan sertifikat ini tidak bisa sekaligus, karena harus melewati berbagai tahapan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Pembatalan hak atas tanah bagi yang proses pembuktian yuridisnya tidak betul, pembatalan hak atas tanah bagi yang prosedurnya tidak betul dan pembatalan hak atas tanah bagi yang yuridisnya betul bisa jadi prosedurnya betul tapi fakta materialnya saat ini sudah tidak ada itu kita batalkan,” katanya.
Dari ratusan, KATR/BPN sudah membatalkan penerbitan 50 bidang sertifikat. Meski demikian, kata Nusron, ada celah bagi pemilik sertifikat untuk gugatan lantaran tak terima dengan keputusan itu.
“Tapi, kita kuat karena memang fakta materialnya memang mendukung itu,” katanya.
Sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak bisa berbuat banyak dalam penegakan hukum, hanya dapat menentukan pelaku dan memberikan denda.
KKP menilai, kasus penguasaan laut ilegal dengan cara memasang pagar dan menerbitkan alas hak atau sertifikat seperti di Kabupaten Tangerang merupakan ranah kepolisian khusus.
“Itu kewenangan kepolisian khusus yang sifatnya kewenangan sangat terbatas dan non justisial. Kita hanya bisa menentukan siapa pelaku untuk penentuan denda administratif,” kata Rudy dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR, Januari 2025.
Dia lantas membandingkan kewenangan KKP dengan kasus perikanan yang bisa proses dengan rinci. Mulai dari pemanggilan, penangkapan, penahanan, sita, geledah, hingga pemberkasan. Pada ranah kelautan, dalam UU tak ada ketentuan penyidikan kasus kelautan.
“Tidak juga diatur tentang siapa yang berwenang melakukan penyidikan.”
Meski tak dapat melakukan penyelidikan, KKP sudah memeriksa kasus penguasaan laut ilegal ini guna penegakan peraturan Menteri KKP. Sejumlah pihak pun mereka periksa, seperti, Arsin, Kepala Desa Kohod diduga terlibat.
Tegakkan hukum
Susan Herawati Romica, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengapresiasi langkah KATR/BPN ini. Namun, katanya, sanksi itu tak cukup membuat efek jera.
Dia mengingatkan, dalam penguasaan laut ilegal ini terdapat delik pidana karena ada upaya menghilangkan ruang hidup para nelayan dan berisiko merusak biota laut.
Penguasaan laut ilegal ini melanggar putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang pernah Kiara ajukan 2010.
“Harus [pelaku] penguasaan laut ilegal dipidana, karena penegak hukum itu punya komitmen kuat, menunjukkan Indonesia itu tidak tunduk dengan korporasi besar. Yang dipertaruhkan dalam kasus ini harga diri negara atau pemerintah, jadi harus tegakkan hukum itu,” katanya kepada Mongabay, 1 Februari lalu.
Para pejabat yang mendapat sanksi baru sebagian. Masih ada pejabat-pejabat lain terlibat, namun belum tersentuh. Karena itu, dia meminta pemerintah harus berani mengambil langkah tegas, tanpa pandang bulu.
“Artinya, ini di APH (aparat penegak hukum) harus mengungkap lebih lagi. Mengungkap dan siapa saja, arena ini kan pidana juga.”
Senada Gufroni, Ketua Riset dan Advokasi Publik Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sampaikan. Penguasaan laut itu ada unsur pidana karena diduga antara lain melanggar UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sampai UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang.
“Maka ini ya tidak cukup hanya sanksi pemecatan atau pencopotan jabatan, harus tetap proses pidana. Kalau kementerian memang tidak bisa pro justisia. Memang ini harus segera ditangani kepolisian begitu.”
LBHAP Muhammadiyah bersama koalisi seperti Walhi Nasional, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), LBH Jakarta, Kiara dan aktivis lingkungan melaporkan pagar laut ke Bareskrim Polri, 17 Januari lalu.
Pelaporan ini sebagai tindak lanjut somasi koalisi kepada pemerintah untuk menangkap pelaku pemagaran laut.
“Dalam kasus ini juga ada dugaan pemalsuan dokumen, catut nama warga untuk dibuat sertifikat, itu harus diungkap. Itu delik pidana. Ruang hidup nelayan makin sempit karena penguasaan laut ini.”
Mulai proses
Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, mengatakan, mencermati seksama masalah itu. Kejagung, katanya, proaktif mengumpulkan bahan data dan informasi terkait indikasi pidana. Namun, mereka mendahulukan lembaga atau kementerian, seperti KKP untuk mendalami dan meneliti perkara itu.
“Sekiranya ada indikasi pidana maka akan dilihat apakah tindak pidana umum atau khusus, jika disinyalir ada indikasi khusus (korupsi) berupa suap atau gratifikasi, dan lain- lain, maka kami tangani,” katanya kepada Mongabay, Januari lalu.
Laporan dan hasil investigasi lembaga atau kementerian terkait akan menjadi bahan Kejagung menangani dugaan pidananya. “Justru itu yang akan dicocokkan dengan hasil investigasi, tidak ada yang salah dengan laporan atau pengaduan,” katanya.
Sejauh ini, pemerintah juga sudah menyegel dan membongkar pagar laut itu. Pembongkaran aparat gabungan mulai 22 Januari 2025 ini masih berlangsung.
Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri, mengatakan, mulai melakukan penyelidikan kasus dugaan pemalsuan surat dan menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik atau penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana pencucian uang.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit, memerintahkan Bareskrim membentuk dan menurunkan tim guna proses penyelidikan. Dari perintah itu, kata Puro, Tipidum Bareskrim Polri sudah membuat laporan tertanggal 10 Januari 2025 dan surat perintah penyelidikan dan rencana penyelidikan.
Mereka juga langsung penyelidikan dengan memeriksa pihak-pihak terkait baik di lokasi pagar laut.
“Terhadap pejabat pada kantor Desa Kohod, pejabat pada Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang serta pejabat dari KATR/BPN dan KKP,” katanya dalam keterangannya.
Upaya itu, mereka lakukan untuk mencari dan menemukan dokumen petunjuk pemberian hak di atas tanah perairan, dan peta tumpang susun bidang tanah hasil unduh aplikasi KKP. Juga persetujuan persesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan berusaha dari pemerintah kabupaten. Kemudian, dokumen peralihan SHM menjadi SHGB atas nama perusahaan, CIS dan IAM.
“Kami juga koordinasi dengan Inspektorat Jenderal BPN untuk memastikan warkah penerbitan SHM dan SHGB masih tersimpan dan koordinasi dengan KKP.”
Dugaan sementara, dalam pengajuan SHGB dan SHM gunakan girik-girik serta dokumen bukti kepemilikan yang diduga palsu. Mereka pun mengumpulkan keterangan dan dokumen pendukung untuk menguatkan dugaan itu.
“Dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan atau menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik dan atau penyalahgunaan wewenang dan atau tindak pidana pencucian uang.”
Henri Kusuma, Kuasa Hukum warga Kohod mengatakan, sembari menunggu hasil penyelidikan aparat, mereka akan lakukan gugatan warga (citizen law suit) ke pengadilan.
Citizen law suit, merupakan merupakan mekanisme bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga.
Dalam gugatan ini, warga Desa Kohod akan mewakili seluruh warga Kabupaten Tangerang yang alami kerugian karena kasus ini.
Henri bilang, mereka akan gugat antara lain, Gubernur Banten, Bupati Tangerang, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan dan ASG. Turut jadi tergugat, Joko Widodo, selaku mantan presiden, PPATK dan Mabes Polri.
“Tidak ada tuntutan kepada para turut tergugat ini, tapi supaya paham duduk perkara, hingga mengambil langkah-langkah yang tepat.”
*********
Pagar Laut, Terungkap Ratusan HGB dan SHM Kavling Laut Tangerang