- Koalisi Masyarakat Sipil melakukan audiensi ke DPD RI dan meminta lembaga tersebut melakukan pengawasan di sektor lingkungan hidup, terutama terkait rencana pemerintah mencadangkan 20 juta hektar hutan untuk pangan, energi, dan air.
- Bagi masyarakat sipil, wacana ini berbahaya terhadap hutan alam, dan ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal. Tahun 2021-2023 saja, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat 1,9 juta hektar kawasan hutan hilang, termasuk di hutan lindung dan kawasan konservasi.
- Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, Difa Shafira, mendorong DPD RI untuk bisa memastikan seluruh kebijakan pemerintah didasarkan pada bukti ilmiah. Serta, dengan kajian dampak lingkungan yang mendalam.
- Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin menyebut, pelaksanaan program swasembada pangan dan energi harus dilaksanakan secara intensif, serta menggunakan inovasi teknologi yang berorientasi pada produktivitas. Supaya tidak banyak lahan yang diperlukan.
Koalisi organisasi masyarakat sipil khawatir rencana pemerintah mencadangkan 20 juta hektar hutan untuk pangan, energi dan air. Mereka pun audiensi ke Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI), Januari lalu, meminta lembaga ini menjalankan fungsi pengawasan di sektor lingkungan hidup.
Organisasi masyarakat sipil nilai, wacana proyek ini berbahaya terhadap hutan alam, dan ruang hidup masyarakat adat maupun komunitas lokal. Tahun 2021-2023 saja, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, ada 1,9 juta hektar kawasan hutan hilang, termasuk di hutan lindung dan kawasan konservasi.
Anggi Putra Prayoga, Manager Komunikasi, Kerjasama dan Kebijakan FWI, mendorong DPD mengawasi kebijakan dan dampak konstituen di daerah masing-masing. Juga, menjaring informasi dari masyarakat untuk memperoleh gambaran tentang rencana pemerintah itu.
“DPD harus memastikan rencana pemerintah tidak sebabkan kerusakan hutan secara besar-besaran. Tidak merampas ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal. “Mereka (DPD ) bisa lakukan pendekatan ke masyarakat, karena info dari tingkat tapak itu penting.”
Pelibatan konstituen penting karena selama ini tata kelola sektor kehutanan minim keterbukaan data dan informasi. Seperti pada penetapan 106 juta hektar kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tidak melibatkan partisipasi masyarakat sekitar.
“Bahkan, banyak tata batas yang tidak ditandatangani stakeholders lokal. Artinya, ketika hutan diklaim tidak clear di tingkat tapak, proyek juga tidak akan clear. Bisa jadi (penetapan kawasan hutan) bukan di lahan kosong, tapi di ruang masyarakat,” katanya.
Senada dengan Juru Kampanye Kaoem Telapak Abil Achmad Akbar. Dalam pertemuan itu dia menuntut transparansisoal lahan proyek ini. Lokasi-lokasi yang jadi area proyek, dan analisis dampak lingkungan dari proyek harus jelas.
Dia menilai, partisipasi dan keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal harus jadi basis utama dalam perencanaan kebijakan. Pemerintah, katanya, tidak boleh hanya berhenti pada tahap sosialisasi, tetapi harus konsultasi dan meminta persetujuan masyarakat yang akan terkena dampak.
Karena itu, Abil meminta DPD menjalankan fungsi pengawasan dan koreksi ketika rencana pembangunan berisiko mengancam keberlanjutan lingkungan dan merampas ruang hidup masyarakat.
“Koalisi ini ingin rencana terkait 20 juta hektar dibatalkan, karena mengancam hutan itu sendiri. Kami khawatir ini jadi deforestasi baru dan membuka lahan-lahan baru yang masih ada tutupan kawasan hutannya,” kata Abil.
Bukti Ilmiah
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam audiensi menyoroti pentingnya dasar ilmiah dari kebijakan ketahanan pangan dan energi, kepastian menyangkut pencadangan sebaran kawasan hutan , mekanisme yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan daya dukung lingkungan, serta jaminan partisipasi masyarakat.
Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, mendorong DPD bisa memastikan seluruh kebijakan pemerintah berdasarkan bukti ilmiah. Serta, dengan kajian dampak lingkungan mendalam.
Dia meminta, DPD memastikan kebijakan itu tidak mengorbankan hutan alam tersisa. Program ketahanan pangan, energi dan air, katanya, harus sejalan dengan komitmen iklim pemerintah di sektor hutan dan penggunaan lahan.
“Contohnya, seturut dokumen yang beredar, 3,17 juta hektar kawasan hutan akan dicadangkan dari perizinan berusaha pemanfaatan hutan yang tidak aktif. Mekanisme ini juga perlu diperjelas, sebab pencapaian komitmen iklim Indonesia juga bergantung pada hutan alam dalam konsesi.”
Juga penyediaan kawasan hutan untuk pangan dan energi memiliki mekanisme yang berbeda-beda dalam berbagai peraturan. Karena itu, dia meminta pemerintah memperjelas target kebijakan dan menjamin pelibatan publik.
“Hal terpenting yang diperlukan, pemerintah harus transparan terkait bagaimana kebijakan ini akan dijalankan, termasuk mekanisme yang digunakan,” kata Difa.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional meminta DPD mempertanyakan pemerintah ihwal sebaran kawasan hutan yang dimaksud. Hal ini penting untuk mengetahui dampak dari program ini secara lingkungan, sosial, dan lingkungan.
Menurut dia, model pengelolaan kawasan itu pun perlu dikaji mendalam. “Apakah akan dilakukan melalui pelepasan kawasan hutan, mekanisme pencadangan, atau dengan multiusaha izin kehutanan yang mencampur berbagai model pengelolaan? Semua ini harus jelas,”
Uli bilang, seharusnya pemerintah fokus pada upaya reforestasi kawasan hutan yang tidak lagi berhutan, bukan malah membuka izin baru. “Komitmen pemerintah terhadap isu perubahan iklim seharusnya mendorong reforestasi, bukan eksploitasi.”
Walhi usulkan pelibatan masyarakat dalam menjaga kawasan hutan. Pun demikian dengan memastikan keberadaan wilayah kelola masyarakat atau wilayah adat di kawasan itu.
”Dengan begitu, masyarakat dapat terlibat dalam proses pemulihan lingkungan sekaligus mendapatkan rekognisi hak.”
Harus efektif
Sultan Bachtiar Najamudin, Ketua DPD dalam wawancara tertulis menyebutkan, proyek pangan dan energi harus intensif, dan menggunakan inovasi teknologi yang berorientasi pada produktivitas supaya tidak perlu banyak lahan.
Indonesia perlu proyek pangan dan energi karena pasokan belum mumpuni. Ditambah lagi, lahan pertanian dan regenerasi petani terus mengalami penyusutan.
Sultan tidak mempermasalahkan ekstensifikasi selama terukur dan di kawasan hutan produksi. “Tetapi, jika sampai mengorbankan kawasan hutan konservasi, dan hutan lindung tentu perlu evaluasi,” katanya.
Menurut dia, pembukaan lahan untuk proyek pemerintah ini harus dengan menjaga keseimbangan ekosistem di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Presiden Prabowo Subianto, katanya, punya kemauan politik dalam isu perubahan iklim dan emisi nol bersih.
DPD juga tengah menyusun usulan RUU Perubahan Iklim dan RUU Masyarakat Adat. Baginya, kedua RUU ini memiliki urgensi dan semangat meningkatkan ketahanan untuk hadapi perubahan iklim.
Masyarakat adat, katanya, berperan penting dalam menjaga hutan hingga pemerintah perlu libatkan mereka dalam setiap agenda pangan dan energi.
Sementara, pembahasan RUU Perubahan Iklim merupakan wujud kepemimpinan Indonesia dalam aksi iklim. Karena itu, perlu hindari pembangunan ekonomi dan investasi cenderung ekstraktif .
“Indonesia harus menjadi contoh negara berkembang dalam memulai misi pembiayaan aksi iklim secara mandiri.”
Bukan hutan, di mana lokasinya?
Sultan bilang, wacana pembukaan hutan 20 juta hektar tidak relevan lagi, karena Menteri Kehutanan (Menhut) telah membantah kabar itu. Meski demikian, mereka tetap akan memanggil menteri meminta penjelasan tentang proyek swasembada pangan dan energi.
“Menurut kami, tidak ada yang perlu diintervensi… Tapi tentu saja kami membutuhkan penjelasan resmi dari menteri terkait.”
Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR , 23 Januari lalu, Menhut Raja Juli Antoni mengatakan, rencana pemanfaatan 20,6 juta hektar hutan untuk cadangan pangan, energi dan air, tidak dengan cara membuka hutan atau deforestasi.
Menurut dia, lahan akan memanfaatkan kawasan hutan produksi maupun lindung yang telah terbuka karena logged over area (LOA) dan bekas kebakaran hutan. Lahan- lahan ini dapat dioptimalkan sebagai hutan cadangan pangan, energi dan air. Serta,pemulihan melalui program rehabilitasi lahan dengan pola agrofrestri atau multi-usaha kehutanan (MUK).
“Justru menyempurnakan pola food estate yang sedang digulirkan pemerintah,” katanya seperti dilansir Antara.
Meskipun demikian, koalisi masyarakat Sipil mengkritik pernyataan itu. Abil mendesak, informasi detail lokasi proyek supaya bisa masyarakat awasi.
“Ini kan kita masih tidak tahu. Ketika diklarifikasi, terus di mana lahan-lahan bekas kebakaran itu? Kami juga mau tahu perencanaannya seperti apa?”
“Jadi, keterbukaan informasi dan partisipasi masyarakat itu kunci agar kita bisa awasi apakah sesuai dengan rencana.”
Anggi pun meragukan klarifikasi menteri. Menurut dia, tutupan hutan alam di sebagian besar Indonesia berada di fungsi kawasan hutan produksi.
“Hutan produksi masih didominasi hutan alam. Mau di area penggunaan lain, juga tetap berhutan,” katanya. “Jadi, apakah menteri mengoreksi (proyek ini) bukan di hutan lindung dan hutan produksi?”
*****
Aturan Penertiban Kawasan Hutan Libatkan Militer Tuai Kritik