Cerita Para Perawat Hutan Adat Mekar Raya

3 days ago 15
  • Hutan Adat Dayak Simpakng di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, terjaga. Ada hutan yang bisa mereka kelola, ada yang tak boleh diganggu. Mereka punya hutan keramat bernama Gunung Juring, Gunung Tanikng dan Bukit Semugo, dan sungai keramat,  Sungai Tanikng, Riam Bejangkar dan Amuntuda. Kawasan ini sama sekali tak boleh diganggu karena merupakan area sakral untuk tempat ritual, penyembuhan dan, atau memiliki nilai sejarah yang terkait dengan asal usul.
  • Hutan adat ini juga memiliki Tembawang yang terkenal sebagai penghasil buah-buahan dan tanaman untuk obat-obatan tradisional maupun ritual.
  • Ignatius Tondi, pemuda Mekar Jaya mengatakan, para pemuda desa ambil peran dalam mempertahankan dan meneruskan tradisi leluhur sekaligus berusaha berinovasi untuk masa depan mereka.
  • Hukum adat di Desa Mekar Raya masih kental dan berlaku bagi siapa saja yang berani melanggar aturan, termasuk kepada perusahaan. Satu perusahaan sawit mencoba ukur lahan menentukan titik lokasi buka lahan tanpa sepengetahuan masyarakat. Teguran tiga kali tak digubris, akhirnya perusahaan kena sanksi adat.

“Hutan ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Nenek moyang kami menjaganya, kini tugas kami menjaga,” kata Yulius Yogi, pemuda Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Pemuda 35 tahun ini bersimpuh di bawah pohon, di hutan adat Mekar  Raya. Luas hutan ini mencapai 2.000 hektar. Bentangnya pegunungan, bukit, sungai dan riam.

Mereka juga punya hutan keramat bernama Gunung Juring, Gunung Tanikng dan Bukit Semugo, dan sungai keramat,  Sungai Tanikng, Riam Bejangkar dan Amuntuda. Kawasan ini sama sekali tidak boleh diganggu karena merupakan area sakral untuk tempat ritual, penyembuhan dan, atau memiliki nilai sejarah yang terkait dengan asal usul. Salah satunya,  sungai keramat. Di sungai itu, masyarakat tak boleh mengambil ikan atau apapun. Kalau melanggar  akan dapat bala.

Sungai-sungai keramat ini merupakan area dengan cerukan cukup dalam. Ia jadi tempat cocok untuk ikan-ikan bertelur dan berkembang biak.

Dengan menjadikan area ini sebagai tempat keramat,  secara tidak langsung juga menjaga habitat ikan-ikan bertelur hingga menjaga kelestarian mereka di sungai itu.

Yogi, sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa, bersama-sama warga menyusun rancangan wilayah kelola masyarakat. Acuannya,  pada ajaran-ajaran leluhur mereka terkait tata kelola kawasan.

“Aturan-aturan itu sudah ada sejak Komunitas Dayak berdiam di suatu kawasan,” katanya awal November 2024.

Kini, aturan-aturan ini mereka dokumentasikan dan jadi bukti kepada pemerintah sebagai rancang bangun pengelolaan hutan masyarakat.

Bagi warga, tanpa dokumentasi pun, sudah ada aturan tak tertulis yang mereka jaga dan lestarikan hingga kini sebagai bagian dari nilai spiritual dan identitas budaya mereka.

Satu contoh, ngalayo, tidak boleh menebang pohon, khusus pohon buah di dalam tembawang. Namun, pewaris dari kampung tamawang/tembawang berhak mengambil dan memanfaatkan buah apapun dalamnya. Bagi pelanggar ada sanksi adat yang ketat.

Sungai Keramat Amuntuda. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

Secara praktik, warga sudah lama mengetahui, untuk menjaga kualitas air di riam-riam,  atau gunung-gunung, mereka tidak boleh mengusik hutan sekitar.

“Masuk sembarangan pun kami tidak berani,” katanya. Bahkan, sumber air bersih mereka dipakai untuk keperluan daerah lain dan warga Mekar Raya peroleh nilai ekonomi lewat jasa lingkungan.

Ignatius Tondi, pemuda Mekar Jaya mengatakan, para pemuda desa ambil peran dalam mempertahankan dan meneruskan tradisi leluhur sekaligus berusaha berinovasi untuk masa depan mereka.

“Gunung dan sungai ini bagian dari identitas kami sebagai masyarakat Desa Mekar Raya. Kalau tidak kami jaga, generasi berikutnya mungkin tidak akan pernah tau bagaimana nilai tempat ini,” kata pemuda 35 tahun ini.

Wilayah adat dan seisinya, merupakan ruang hidup yang tak terpisahkan dari identitas dan keseharian mereka sebagai Masyarakat Adat Dayak Simpakng di Desa Mekar Raya. Setidaknya,  ada tiga  ritual rutin masih mereka lakukan. Ia bentuk relasi erat antara manusia dengan alam. Ritual ini  wujud penghormatan masyarakat terhadap alam.

Ada ritual mulang semparan atau ritual adat untuk membuka ladang, ada ritual nyapa taun setelah panen, ini bentuk ucapan syukur dari penduduk desa kepada leluhur yang sudah memberikan restu dan hasil kepada masyarakat.

Ada pula ritual bebantan, suatu pembersihan kampung tiga tahun sekali. “Ini bentuk penyucian desa,” katanya.

Ignatius Tondi. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

Hutan Adat Dayak Simpakng di Desa Mekar Raya,  ini memiliki Tembawang yang terkenal sebagai penghasil buah-buahan dan tanaman untuk obat-obatan tradisional maupun ritual.

Sumber air bersih dari hutan adat di Gunung Juring juga digunakan enam dusun untuk kehidupan sehari-hari. Gunung Keramat Tanikng, mereka jaga kelestariannya,  tak boleh terganggu. Gunung ini jadi  hutan keramat untuk ritual adat dan pengobatan.

“Disini itu, airnya dialirkan ke rumah warga, kami bikin dam (bendungan),” kata Tondi.

Air yang mengalir dari Gunung Juring dikelola Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) dan mendapat bantuan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk usaha air kemasan.

“Masih alami ini, air keran tuh bisa langsung kita minum dan ndak perlu beli. Langsung dari gunung dan ndak perlu diolah,” kata Ricki sebagai Sekretaris Desa.

Warga desa, tak pernah mengalami kekeringan walau curah hujan sedikit di musim-musim tertentu.

Hutan Adat Dayak Simpakng di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

Jaga hutan adat

Hukum adat di Desa Mekar Raya masih kental dan berlaku bagi siapa saja yang berani melanggar aturan, termasuk kepada perusahaan. Satu perusahaan sawit mencoba ukur lahan menentukan titik lokasi buka lahan tanpa sepengetahuan masyarakat. Teguran tiga kali tak digubris, akhirnya perusahaan kena sanksi adat.

Ricki mengatakan,  hukum adat dengan meminta piring putih sebagai tanda ultimatum agar tak langgar aturan lagi. Piring yang jadi alat pembayaran adat harus piring antik zaman Belanda.

Selain piring putih, ada juga benda-benda lain seperti perabotan yang memiliki nilai jual, besi, atau hal lain yang ditentukan adat.

Untuk memperkuat pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat mereka, para pemuda Mekar Raya tengah memperjuangkan agar ada penetapan dari pemerintah. Mereka tak ingin hutan adat tersentuh konsesi sawit atau tambang karena akan menghilangkan identitas budaya, spiritual, dan ruang hidup mereka. Juga menghilangkan keanekaragaman hayati di dalamnya.

Sebelumnya, Mekar Raya, sudah dapat izin hutan desa di  Gunung Juring. Surat keputusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah terbit pada  2023. Untuk penguatan perlindungan, mereka akan mengusulkan pengakuan masyarakat hukum adat dan lanjut ke usulan penetapan wilayah adat.

“Sekarang kami masih mau mengajukan penetapan wilayah adat,” kata Toni,  kepala desa.

Prosesnya, sudah melalui dua tahapan,  pengajuan dan verifikasi lanjutan berkas-berkas di kabupaten. Mereka akan bertemu bupati serta instansi terkait untuk membahas pengajuan pengakuan wilayah adat ini.

Perjuangan mendapatkan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan wilayah adat ini juga menjadi kekuatan mereka dalam menjaga hutan.

“Dengan tujuan ketika SK keluar dan diakui pemerintah kabupaten dan pusat, artinya kami punya kekuatan untuk menjaga hutan.”

Situs Batu Daya. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

Masyarakat juga berkomitmen dalam pengembangan usaha melalui kelompok perhutanan sosial yang dibentuk dan mendapat program skala nasional melalui Bank Persona. Dana ini tersalurkan untuk budidaya ternak babi dan penanaman bibit buah-buahan di lokasi hutan agroforestri di hutan tanah khas desa.

Dalam hutan agroforestry mereka berencana tanam pohon buah-buahan.  “Ada durian, petai, mangga, rambutan, alpukat dan jambu,” kata Yogi.

Warga sudah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan Sosial (PPS) sebagai pusat layanan informasi dalam meningkatkan pemahaman dan peningkatan kapasitas masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Warga menanam pohon buah, maupun beternak babi dengan hasil bermanfaat bagi sesama. Cara ini, katanya, juga akan membantu LPHD dalam menguatkan ekonomi desa tanpa harus merusak alam.

“Kami sadar banyaknya tekanan untuk membuka lahan disini, tapi kami punya tanggung jawab dan moral serta budaya untuk terus mempertahankan hutan ini agar tetap lestari,” kata Yogi lagi.

Pada 2023, masyarakat Mekar Raya, dengan dukungan dari Tropenbos Indonesia, melakukan pendokumentasian area-area penting yang mereka jaga dan lestarikan, mencakup area tembawang, hutan keramat, Bukit Semugo, Bukit Senibung, Bukit Berugak, dan sungai-sungai keramat. Mereka juga mendaftarkan area ini sebagai Indigenous and Community Conserved Areas (ICCAs)  ke ICCA Indonesia untuk memperkuat dukungan publik terhadap perjuangan mereka dalam melindungi hutan adat.

Riam Bang di Hutan Adat Dayak Simpakng di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

Mansen, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Ketapang, mengatakan, ada empat tahap memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara. Ia meliputi identifikasi, verifikasi, validasi, dan penetapan.

Saat ini, proses usulan dari Mekar Raya ada di tahap verifikasi. Kalau validasi selesai, Bupati Ketapang akan memberikan penetapan masyarakat hukum adat.

“Masyarakat adat yang tinggal di sekitar kawasan hutan termasuk kelompok yang rentan terhadap perubahan lingkungan,” katanya.

Wilayah mereka bermukim memiliki potensi sumber daya alam, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan perikanan tinggi, juga menghadapi ancaman dari alih fungsi lahan, seperti tambang dan perkebunan.

Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, katanya, menjadi isu penting dalam implementasi UUD 1945, khusus Pasal 18B ayat (2) hasil amandemen kedua. UU itu menyatakan, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Pengakuan ini membawa berbagai manfaat, seperti menyelesaikan konflik tumpang tindih klaim atas tanah atau lahan, mengatasi sengketa sumber daya alam, melestarikan identitas budaya bangsa, serta menjaga keseimbangan ekosistem dan kearifan lokal.

Asti Noor, dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII), menekankan, upaya konservasi berbasis HAM haruslah menempatkan masyarakat adat sebagai subjek  utama pelaku konservasi.

“Masyarakat adat sebagai subjek konservasi, bukan objek yang hanya mengikuti aturan negara,” katanya.

Pendekatan ini tidak hanya memberikan jaminan hak bagi masyarakat adat juga kontribusi mereka dalam menjaga alam secara berkelanjutan.

“Harapannya,  konflik-konflik yang menimpa masyarakat adat berkurang dan mereka bisa menjalankan peran sebagai penjaga alam.”

pemuda Adat Dayak Simpakng patroli di hutan mereka di Desa Mekar Raya, Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

*******

*Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dengan WGII.

Perempuan Mekar Raya, Perawat Pengetahuan Lokal

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|