Menambah Lahan Sawit: Ilusi Pertumbuhan di Tengah Krisis Ekologis

1 month ago 37

Di penghujung tahun 2024 lalu, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (MUSRENBANGNAS), menyatakan bahwa kelapa sawit tidak akan menyebabkan deforestasi.

Pernyataan ini muncul bersamaan dengan dorongan Presiden untuk memperluas lahan sawit sebagai strategi ekonomi nasional. Namun, pernyataan ini lebih lanjut membuka kembali diskusi mendalam tentang batas pembangunan, konsepsi pertumbuhan, dan keberlanjutan ekologis.

Sawit dan Persoalan Ambang Batas Ekologis

Pada 1972, Dennis dan Donella Meadows dalam buku The Limits to Growth telah memperingatkan bahwa setiap sistem pertumbuhan memiliki batas. Ketika batas tersebut dilampaui, maka bencana menjadi tak terhindarkan.

Pandangan ini tetap relevan hingga hari ini, terutama di tengah meningkatnya kesadaran tentang dampak eksploitatif terhadap lingkungan.

Dalam lima tahun terakhir, konsep post-growth semakin banyak dibahas dalam kalangan akademik dan praktisi kebijakan. Pendekatan ini menekankan bahwa di dunia yang terbatas, mengejar pertumbuhan tanpa batas adalah ilusi.

Pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan ekosistem. Justru, seringkali ia melahirkan konflik sosial dan degradasi lingkungan yang mendalam.

Indonesia, sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, berada di garis depan perdebatan ini. Pernyataan Presiden bahwa “sawit itu pohon, dia menyerap CO₂ juga,” menjadi sangat problematis ketika dilihat dari data ilmiah.

Pada tahun 2024, riset Koalisi Masyarakat Sipil menetapkan bahwa ambang batas atas lahan sawit adalah 18,15 juta hektar. Saat ini, lahan sawit kita telah mencapai 17 juta hektar, bahkan beberapa sumber menyebutkan angka 20 juta hektar.

Hal ini tak lepas dari dampak konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan sawit yang merupakan penyebab utama pelepasan emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Studi dari Cooper (2020) menunjukkan bahwa alih fungsi ini akan lebih besar menghasilkan pelepasan CO₂, CH₄, dan N₂O yang signifikan dalam tiga dekade pertama.

Sehingga dengan demikian, alih-alih menyerap karbon, industri sawit justru menjadi salah satu kontributor utama emisi Indonesia.

Pembukaan lahan di Kota Subulussalam, Aceh, untuk dijadikan kebun sawit ilegal. Foto diambil pada Rabu, 12 Juni 2024. Foto:: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Menafsirkan Kembali Pembangunan

Selama empat dekade terakhir, pembangunan di Indonesia terlalu berfokus pada dimensi fisik tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologisnya.

Dalam kasus sawit, pendekatan ekstensifikasi melalui pembukaan lahan baru terus menjadi pilihan utama, meskipun data menunjukkan bahwa produktivitas sawit Indonesia jauh di bawah potensi maksimalnya.

Tingkat produktivitas kebun rakyat hanya 2,5 ton CPO per hektar per tahun, sementara kebun swasta mencapai 3,4 ton CPO, masih jauh dari target optimal 6-7 ton per hektar.

Dengan realitas ini, penting bagi pemerintah untuk menafsirkan kembali apa arti pembangunan bagi Indonesia. Apakah pembangunan hanya tentang memperluas lahan dan meningkatkan produksi?

Lalu bagaimana ia akan mencakup upaya menjaga keberlanjutan lingkungan, kesejahteraan sosial, dan keadilan antar-generasi?

Solusi terhadap dilema ini bukanlah hal yang sederhana. Memfokuskan pada intensifikasi kebun yang ada akan membutuhkan investasi besar dalam teknologi, peremajaan, dan tata kelola.

Namun, ini adalah satu-satunya cara untuk menghindar dari terlampauinyai daya dukung dan tampung ekosistem kita.

Reformasi tata kelola sawit juga menjadi prioritas mendesak. Indonesia perlu mencontoh Malaysia dengan pendekatan terpusat seperti Federal Land Development Authority (FELDA), yang memastikan optimalisasi produktivitas sekaligus keberlanjutan.

Panen sawit dengan menggunakan sepeda motor di Riau. Kebun sawit rakyat memiliki produktivitas hasil buah sawit yang belum optimal. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

Kesimpulan: Saatnya Berhenti dan Berpikir

Menambah lahan sawit mungkin terlihat seperti solusi instan, tetapi dampaknya akan jauh lebih kompleks dan merugikan. Pendekatan yang lebih bijak adalah berhenti sejenak dan berpikir ulang: bagaimana kita ingin mendefinisikan pembangunan?

Apakah ia hanya soal mengejar angka, atau soal menciptakan keseimbangan antara manusia dan alam?

Presiden sebagai pemimpin nasional harus membaca dengan seksama laporan dan data yang telah tersedia. Nasionalisme sejati bukan tentang retorika, tetapi tentang keberanian untuk melindungi rakyat dan ekosistem dari kehancuran lebih lanjut.

Pernyataan untuk memperluas lahan sawit di tengah krisis ekologis hanyalah sebuah ilusi pertumbuhan. Sudah saatnya Indonesia mengambil langkah berani untuk melampaui paradigma lama dan menuju pembangunan yang benar-benar berkelanjutan.

*Giorgio Budi Indrarto, penulis adalah Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan. Artikel ini adalah opini penulis.

EoF: Hampir Separuh dari Perkebunan Sawit di Riau Ilegal

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|