- Rencana tambang nikel oleh PT. Intim Mining Sentosa (IMS) di Pulau Obi, Desa Bobo, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara (Malut) mendapat penolakan warga. Belum lama ini, mereka mendatangi site tambang perusahaan yang ada di kawasan hutan dan memintanya meninggalkan lokasi.
- Amrafel Nandis Kurama, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bobo itu, katakan, aksi itu sebagai respons atas aktivitas perusahaan yang berlangsung secara diam-diam. Warga juga mempertanyakan keabsahan izin perusahaan karena merasa tak pernah dilibatkan dalam proses penerbitan izin.
- DPRD Halmahera Selatan menggelar pertemuan dengan mengundang warga dan pihak perusahaan, Kamis (13/2). Dalam pertemuan itu, DPRD sepakat dengan tuntutan warga dan meminta izin perusahaan dicabut. Pasalnya, dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) perusahaan tahun 2011 dinilai kadaluarsa.
- Direktur IMS, Jefry Sean sebut perusahaannya peroleh izin peningkatan eksplorasi menjadi produksi berdasar keputusan Bupati Muhammad Kasuba tahun 2011. Luas konsesi yang diberikan untuk tambang nikel itu capai 3.185 hektar di Desa Bobo.
Rencana tambang nikel oleh PT. Intim Mining Sentosa (IMS) di Desa Bobo, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara (Malut) mendapat penolakan warga. Baru-baru ini, ratusan warga mendatangi tambang perusahaan yang berada di kawasan hutan dan meminta mereka angkat kaki.
Warga khawatir, kehadiran tambang hanya akan menghadirkan kerusakan, menghancurkan perkebunan warga seperti kelapa, pala, dan cengkih. Selama ini, komoditas itu menjadi sumber utama penghasilan warga. Dalam aksinya, warga meminta perusahaan angkat kaki dan mengevakuasi alat-alat berat keluar dari kawasan itu.
Amrafel Nandis Kurama, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Bobo itu, katakan, aksi itu sebagai respons atas aktivitas perusahaan secara diam-diam. “Masyarakat Bobo datang ke sini mempertanyakan perusahaan ini karena tidak ada kesepakatan dengan masyarakat untuk eksplorasi dalam wilayah Desa Bobo.”
Warga pun mempertanyakan keabsahan izin perusahaan itu.
Perwakilan manajemen saat menemui warga menyampaikan permintaan maaf atas kegiatannya itu. Mereka mengakui, eksplorasi tanpa sepengetahuan warga. Namun, mereka klaim telah mendapat izin dari pemerintah desa.
“Yang sudah mengizinkan itu dari masyarakat Desa Fluk. Desa Bobo pemerintah desa terkonfirmasi sudah mengizinkan untuk eksplorasi ini,” kata Niko, perwakilan perusahaan.
Perusahaan juga mengaku telah mengukur lokasi eksplorasi. Hasilnya, kegiatan masih berada di Desa Fluk, bukan Bobo. Pernyataan warga Bobo bantah.
Warga Bobo melihat peta eksplorasi di camp perusahaan 9 Desember 2024. Dari peta itu, Desa Bobo termasuk di dalamnya. Mereka pun bersikukuh menolaknya.
“Peta yang dibuka dan kami lihat wilayah ini masuk ke Desa Bobo. Kami ingatkan, kami memiliki adat, jika masuk ke rumah orang lewat pintu. Tidak boleh diam-diam masuk ke wilayah orang seperti sekarang ini. Masuk ke rumah orang itu harus diizinkan pemiliknya. Kami minta alat berat yang ada segera diturunkan,” kata Veki Kumanerin, warga.
Seperti warga lain, Veki pun khawatir kerusakan lingkungan kalau tambang beroperasi. Pasalnya, mayoritas penduduk Desa Bobo– populasi sekitar 1.982 orang—mengandalkan hasil alam dengan bekerja sebagai petani dan nelayan. Mereka mengandalkan perkebunan dan tangkapan laut memenuhi kebutuhan hidup.

Dukungan DPRD
Desa Bobo, berada di sisi selatan Pulau Obi. Ia terapit dua sungai, yakni, Sungai Gosora dan Sungai Peda. Kehadiran tambang yang rata-rata berada di hulu khawatir memicu sedimentasi yang pada akhirnya menyebabkan banjir. “Jika lahan- lahan ini dibuka kami terancam banjir,” katanya.
Brian Lajame, tokoh pemuda Desa Bobo menuturkan perusahaan ini sebenarnya memiliki izin sejak 2011. Kala itu, memang sudah warga tolak. Setelah itu, perusahaan menghentikan aktivitasnya. Setelah tak ada kabar, pada 2024, perusahaan kembali datang.
Hal ini yang memicu protes warga. Mereka khawatir, kembalinya IMS akan menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti di Desa Kawasi yang terdampak tambang PT Harita. “Karena itu, kami tidak ingin kerusakan lingkungan di Desa Kawasi terjadi lagi di Bobo,” katanya.
Merespons protes warga, DPRD Halmahera Selatan menggelar pertemuan dengan mengundang warga dan perusahaan, Kamis (13/2/25). Dalam pertemuan itu, DPRD sepakat dengan tuntutan warga dan meminta pencabutan izin perusahaan. Pasalnya, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan tahun 2011 pun kadaluarsa.
Dewan juga khawatir operasi tambang berdampak pada lingkungan. “Tidak perlu jauh-jauh melihat contoh kerusakan itu. Desa Kawasi di depan mata kita keadaan lingkungannya kita bisa tahu semua. Walaupun teori pertambangan itu dijelaskan dengan begitu baik, tetapi akhirnya kerusakan yang muncul dan dirasakan masyarakat,” kata Ketua Komisi III DPRD Halmahera Selatan Safri Talib.
Hampir semua anggota dewan yang hadir sepakat dengan tuntutan warga. Belajar dari apa yang terjadi di Kawasi, mereka tidak menghendaki tambang beroperasi di Desa Bobo. Terlebih, sejak awal, kehadiran IMS sudah ditolak warga.
“Warga khawatir kehadiran IMS akan menjadi bencana dan malapetaka bagi masyarakat Bobo dan Obi. Jadi, kami menolak dan tidak ingin ada kegiatan tambang disana,” ujar Haryadi H Ibrahim, anggota dewan lainnya. Tambang, katanya, hanya menambah daftar panjang kerusakan lingkungan di Pulau Obi.

Jawaban perusahaan
Terkait penolakan ini, Direktur PT IMS Jefry Sean, enggan memberi tanggapan. Ketika wartawan cegat usai rapat, dia tidak mau memberi komentar. “Saya belum bisa komentar. No comment. Pokoknya no comment, “ujar Jefri.
Namun, demikian, dalam pertemuan, dia sempat ungkap dokumen perizinan perusahaan. IMS, katanya, peroleh izin peningkatan eksplorasi menjadi produksi berdasar keputusan Bupati Muhammad Kasuba tahun 2011. Luas konsesi untuk tambang nikel itu capai 3.185 hektar di Desa Bobo.
Ada juga izin produksi berdasarkan Keputusan Bupati Halmahera Selatan Nomor 52/2013 tentang persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi menjadi IUP operasi produksi logam nikel seluas 1.935 hektar di Desa Baru, Kecamatan Obi Kabupaten Halmahera Selatan tertanggal 24 Maret 2013.
Jefry juga sempat memaparkan riwayat IMS yang berdiri pada 7 Februari 2006. Pada 15 Mei 2012, 800 lembar saham jual kepada PT Chanjiang Mining Internasional (CJMI), 200 lembar saham sisanya Sarka Elajou. Pada 3 Juli 2012, Sarka Elajou mengalihkan lagi seluruh saham kepada CJMI hingga semua saham beralih ke CJMI.
Pada 10 April 2013, dari total 1.000 lembar saham, CMI mengalihkan 10 lembar kepada Edy Sofyan, sebagai pengacara Muhammad Kasuba. Selanjutnya, pada 7 Desember 2022, PT Mineral Alam Abadi membeli seluruh saham CJMI dan Edy Sofyan.
******
Terkepung Industri Nikel, Warga Kawasi Hadapi Persoalan Lingkungan, Protes Relokasi Desa