Perempuan Perawat Hutan, Tanam Asa di Tengah Rimba

2 weeks ago 19
  • Darsimah Siahaan, perempuan asal Labuhan Batu ini membangun  Sekolah Alam Lauser di tengah hutan. Sekolah ini bukan sekadar untuk mengajar, tetapi buat mengubah hidup. 
  • Setelah berjalan beberapa tahun, perubahan mulai terlihat. Banyak orang tua yang sebelumnya masuk hutan untuk berburu atau menebang, kini mencari mata pencaharian lain. Mereka tidak lagi melihat hutan sebagai sumber untuk eksploitasi, tetapi sebagai warisan yang harus dijaga.
  • Ada pula sosok perempuan perawat hutan Leuser juga hutan di belahan Sumatera yang lain sebagai periset dan monitoring. Radiana Sofyan, namanya. Dia bergabung di Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre sejak 2020.
  • Bagi Darsimah dan Radiana, hutan bukan hanya tempat tumbuh pohon atau ruang hidup satwa. Hutan, bagi mereka, adalah tempat menyemai harapan dan perempuan menjadi akarnya. Darsimah maupun Radiana tak lagi hanya bekerja. Mereka membangun ekosistem, pendidikan, konservasi, maupun kesadaran.

Di tepian hutan di Taman Nasional Gunung Leuser, satu sekolah berdiri. Sekolah Alam Leuser (SAL), begitulah namanya.  Sekolah ini bukan sekadar untuk mengajar, tetapi buat mengubah hidup.

Adalah Darsimah Siahaan, adalah sosok yang begitu menentukan kelancaran dari sekolah alam ini.

Sejak awal, perempuan kelahiran Labuhan Batu ini menggenggam mimpi yang tak biasa,  menjadikan hutan sebagai ruang belajar dan konservasi sebagai kurikulum kehidupan. Dia Ketua Yayasan SAL, sekolah yang berada di dalam hutan. Untuk ke sana, perlu menyebrang sungai terlebih dahulu.

SAL berdiri pada 2018, menjadi oase pendidikan bagi anak-anak Desa Bukit Mas dan Sekoci, dua wilayah yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser.

Kelas berlangsung sebagian di ruang belajar sederhana dan di alam bebas. Kurikulum mengacu pada standar nasional, namun ada muatan nilai-nilai konservasi dan cinta lingkungan.

“Saya lihat penyebab kerusakan hutan itu bukan cuma keserakahan, juga keterpaksaan. Banyak orang tua melanggar hukum karena ketidaktahuan dan kebutuhan hidup dengan mereka berkebun,” katanya.

Anak-anak di Sekolah Alam Leuser. Foto: dokumen SAL

Dari hati untuk hutan

Sebelum mendedikasikan diri sebagai ketua yayasan, Darsimah memiliki pengalaman bekerja di lembaga konservasi dan terlibat langsung dalam rehabilitasi hutan. Dalam perjalanan, dia merasa ada yang kurang.

Dia pun mengikuti panggilan jiwa. Darsimah melakukan lompatan hidup, dari awalnya tinggal di Kota Medan, pindah ke dalam hutan.

“Rehabilitasi itu penting, tapi kita juga harus mendidik manusianya. Kalau tidak, hutan akan terus rusak,” kata perempuan 31 tahun ini.

Berbekal pengalaman dan semangat kuat, dia merancang SAL dari nol. Tidak ada gedung, tidak ada guru, hanya tekad dan keinginan untuk menyemai perubahan.

Sejak awal, Darsimah menyadari tantangan utama adalah kepercayaan masyarakat. Selama enam bulan pertama, dia berjalan dari rumah ke rumah, menyosialisasikan konsep sekolah alam yang asing bagi warga.

“Banyak yang tanya, ‘apa ini sekolah legal? Bisa lanjut ke SMA?’ Mereka takut anaknya malah putus sekolah lagi,” kenangnya.

Usaha tak pernah mengkhianati hasil. Pada Juni 2018, SAL menerima 16 siswa angkatan pertama. Tahun berikutnya, tambah menjadi 24 orang.

Kini,  ada lima angkatan lulusan SMP, bahkan beberapa sudah melanjutkan ke perguruan tinggi.

SAL, katanya,  ada sebagai wadah jangka panjang. Ia jadi jantung dan hati untuk membawa perubahan besar ke anak-anak di sekitar kawasan hutan.

Bangunan sekolah sudah berdiri kokoh meski sederhana, dengan fasilitas listrik dan jembatan penyeberangan. Masih ada tantangan lagi, katanya, soal regenerasi tenaga pengajar yang tak mudah.

“Guru zaman sekarang banyak dari Gen Z. Masuk gampang, keluar juga gampang. Kita terus belajar gimana hadapi karakter seperti itu,” kata Darsimah.

Darsimah Siahaan, perempuan asal Labuhan Batu ini membangun Sekolah Alam Lauser di tengah hutan. Foto: dokumen SAL

Belajar dari hutan

Salah satu kekhasan SAL adalah lokasi dan metode belajarnya. Sekolah ini berdiri di dekat hutan dengan tutupan lebat, bahkan merupakan lintasan satwa liar.

Proses belajar, 30% di kelas dengan bangunan sederhana, sisanya,  di alam bebas. Kurikulum mengikuti standar nasional, namun tambah dengan penguatan materi konservasi.

“Anak-anak diajarkan hidup berdampingan dengan hutan. Mereka tahu mitigasi jika bertemu satwa, tahu bahwa hutan itu bukan musuh, tapi rumah,” kata Darsimah.

Proses belajar mengajar pun tidak selalu mulus. Pada 2022-2023, harimau Sumatra sempat berkeliaran dekat halaman sekolah. Orang tua panik, sebagian ingin memindahkan anaknya, tetapi yang mengejutkan, anak-anak menolak.

Saat kepanikan itu, mereka bikin strategi. Sekolah yang berbatasan dengan aliran sungai besar, proses belajar mengajar tanpa menyeberang.

“Kami sampai pindah kelas ke mushola agar proses belajar tetap berjalan. Anak-anak sudah cinta pada sekolah dan hutan mereka.”

SAL tidak memungut biaya alias gratis. Sebagai gantinya, setiap siswa wajib membawa empat bibit pohon untuk mereka tanam bersama tim rehabilitasi hutan. Selain itu, seragam dan perlengkapan sekolah pun gratis.

“Kami ingin mereka merasa punya ikatan, punya tanggung jawab terhadap tempat ini,”  katanya.

Orangutan Sumatera, salah satu satwa endemik yang ada di hutan Leuser. Foto: dokumen SAL

Menyemai perubahan

Perubahan mulai terasa. Darsimah menyebut, banyak orang tua yang sebelumnya masuk hutan untuk berburu atau menebang, kini mencari mata pencaharian lain.

“Satu angkatan lulusan kita ada yang sudah kuliah. Kami lihat pola pikirnya berubah. Mereka tidak lagi melihat hutan sebagai sumber yang bisa dieksploitasi, tapi sebagai warisan yang harus dijaga,” katanya.

Baginya, bergiat di SAL bukan sekadar pekerjaan, tetapi panggilan jiwa. “Saya sudah jatuh hati. Ini cita-cita mulia yang ingin saya wariskan ke anak-anak saya,” ucapnya tersenyum.

Dia tinggal menetap di kawasan itu sejak 2018. “Dulu,  tiap hari harus bolak balik. Sekarang,  KTP saya sudah ikut pindah. Suami dan anak-anak juga ikut. Ini sudah jadi rumah.”

Hari-hari pun kini dia lalui di tengah hutan. Terkadang ada suasana mencekam,  saat hujan lebat, ditambah aliran listrik padam dan sambungan wifi terputus. Suara satwa menjadi irama yang dia dengar setiap hari.

“Ya kadang mencekam, lama-lama dibiasakan, ya dengar suara-suara satwa. Belum lagi jika ada harimau masuk ke tempat tinggal, pertama harus koordinasi dengan petugas, semua tidak boleh panik, sudah ada mitigasi harus dilakukan untuk menyelamatkan diri,” katanya.

Radiana Sofyan, (perempuan berjilbab). Dia bergabung di Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre sejak 2020. Foto: dokumen Radiana

Penjaga dan perawat hutan

Peran sebagai perawat hutan yang Darsimah lakukan melalui pendidikan mulai terlihat meski begitu perjuangan masih panjang.

Ada pula sosok perempuan perawat hutan Leuser juga hutan di belahan Sumatera yang lain sebagai periset dan monitoring. Radiana Sofyan, namanya. Dia bergabung di Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre sejak 2020.

Dia bertugas memasang kamera trap, survei orangutan dan gibon, pekerjaan yang sebagian besar dilakukan laki-laki.

“Pertama kali masuk hutan, saya nggak tahu harus apa. Tapi manajer saya bilang: ‘indramu harus aktif. Mata ke kiri kanan. Kamu harus sensitif terhadap lingkungan,’” kenang Radiana.

Penugasan pertamanya ke Hutan Batang Toru, Tapanuli, Sumatera Utara.  Dia harus menyusuri lebatnya pepohonan dan tak pernah mengeluh.

“Fisik  saya kuat. Dari kecil bantu bapak kerja di kampung, jadi bawa beban berat sudah biasa.”

Radiana berasal dari Subulussalam, Aceh. Dia  cerita pengalaman menjadi tim riset dan monitoring. Dia pernah menyeberangi laut di Sibolga, hingga berjalan berjam-jam di air bakau dan melihat satwa secara langsung di hutan.

Para perempuan periset dan monitoring hutan mangrove. Foto: dokumen Radiana

Pengalaman paling menantang, katanya, ketika menstruasi di tengah hutan saat patroli dengan tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

“Waktu itu operasi besar dan saya tetap ikut. Ternyata masuk jadwal menstruasi, itu di luar perkiraan. Saya bolak balik minta berhenti istirahat karena harus ganti. Syukurnya saya bawa dalaman banyak,” katanya.

Radiana pernah beberapa kali saat hutan bertemu langsung orang utan, gibon dan beragam burung. Baginya, satwa liar bukan ancaman, tetapi kawan.

“Kalau kita datang dengan niat baik, semua baik-baik saja. Satwa ini juga memiliki insting yang lebih tajam, saat ada manusia datang, mereka akan menghindar, bukan menyerang.”

Radiana bercita-cita menulis buku tentang pengalamannya. “Biar jadi inspirasi untuk perempuan lain. Bahwa kita bisa, bahkan di tengah rimba,” katanya.

Indonesia, merupakan paru-paru dunia, karena memiliki hutan tropis yang luas yang kini mengalami beragam keterancaman dari industri atau investasi, perambahan dan ketidakpedulian.

Di sudut-sudut sunyi seperti Leuser maupun Hutan Batang Toru, ada perempuan-perempuan tangguh yang berdiri tegak mengajar, meneliti, sekaligus sebagai penjaga. Mereka para perawat hutan.

Bagi mereka, hutan bukan hanya tempat tumbuh pohon atau ruang hidup satwa. Hutan, bagi mereka, adalah tempat menyemai harapan dan perempuan menjadi akarnya.

Darsimah maupun Radiana tak lagi hanya bekerja. Mereka membangun ekosistem, pendidikan, konservasi, maupun kesadaran.

“Kalau kita bisa ubah satu anak, maka dia bisa ubah satu keluarga. Kalau satu keluarga berubah, satu desa bisa ikut. Begitu seterusnya,” kata Darsimah.

Radiana, bersama tim sedang monitoring hutan. Foto: dokumen Radiana

*******

Para Perempuan Tani Gurilla, Penjaga Tanah Harapan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|