- Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) dan Sajogyo Institute membuat riset wilayah kelola perempuan pesisir, kekerasan berbasis gender dan krisis iklim di 17 kabupaten/ kota di Indonesia. Mereka mendapati, kerentanan perempuan nelayan akibat beban kerja berlipat dan tidak adanya perlindungan kebijakan.
- Minimnya perlindungan dan pengakuan dalam Undang-Undang (UU) 7 tahun 2016 merupakan akar dari masalah kesejahteraan, keamanan dan pemenuhan kepentingan perempuan nelayan. Dampaknya, perempuan nelayan sulit akses perlindungan sosial, kesehatan dan perlindungan kerja.
- Perempuan nelayan bisa kerja sampai 14-20 jam ketika hasil laut melimpah. Selain bekerja sejak tahap pra hingga pasca produksi perikanan, mereka juga harus melakukan aktivitas domestik dan sosial. Sedangkan, ketika musim paceklik dan penghasilan menurun, perempuan-perempuan tetap harus memastikan kebutuhan ekonomi keluarga.
- Riset itu menemukan pada 17 wilayah pendokumentasian, tiga gejala krisis iklim yang intensitasnya meningkat dalam rentang 10-15 tahun terakhir. Di antaranya, banjir rob, naiknya suhu udara dan abrasi. Kondisi ini disebut menambah beban kerja perempuan nelayan, juga meningkatkan risiko kesehatan.
Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) dan Sajogyo Institute rilis riset wilayah kelola perempuan pesisir, kekerasan berbasis gender dan krisis iklim di 17 kabupaten/ kota di Indonesia. Mereka mendapati, kerentanan perempuan nelayan karena beban kerja berlipat dan tidak adanya perlindungan kebijakan.
Riset yang berlangsung Agustus 2024-Februari 2025 itu menggunakan metode feminist participatory action research (FPAR). Metode ini jadikan perempuan nelayan sebagai subjek penelitian yang terlibat aktif dalam tiap prosesnya. Penelitian ini melibatkan 30 fasilitator sebelumnya mendapat pengetahuan dasar tentang sistem agraria, sistem tenurial, hingga kekerasan berbasis gender.
Hasilnya, seperti dalam buku berjudul “Melihat dari Pesisir, Mendengar dari Perempuan, Memperjuangkan Keadilan Perikanan,” minimnya perlindungan dan pengakuan dalam Undang-undang (UU) 7 tahun 2016 sebagai akar masalah kesejahteraan, keamanan dan pemenuhan kepentingan perempuan nelayan.
KPPI dan Sajogyo Institute menilai, nelayan yang terdefinisikan UU itu sebagai “setiap orang yang melakukan penangkapan ikan” seolah netral gender atau menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi setara. Kenyataannya, ada anggapan umum bahwa nelayan di Indonesia merujuk pada laki-laki. Anggapan itu pun seolah terkonfirmasi adanya fakta bahwa UU tersebut hanya sekali menyebutkan kata perempuan yakni di pasal 45, dengan tidak adanya pengakuan tegas terhadap profesi mereka.
Hasmia Djalil, satu tim penyusun dan Dewan Pembina KPPI mengatakan, ketentuan mengenai penangkapan ikan dalam UU 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebenarnya memberi ruang tafsir untuk mengakui keberadaan perempuan nelayan.
Mia contohkan, dalam UU itu ikan didefinisikan sebagai segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada dalam lingkungan perairan. Jenis-jenis itu termasuk reptilia, mamalia, udang, rajungan, kepting (crustacea), kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput (mollusca), rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain di dalam air (algae), dan lain-lain.
“Kami lihat, ketika perempuan lakukan penangkapan kerang harusnya disebut nelayan, karena semua tangkapan dalam UU 7 tahun 2016 itu disebut ikan,” katanya ketika ditemui Mongabay di Jakarta, pertengahan Maret 2025.
Tidak adanya pengakuan itu, kemudian mengakibatkan sulit akses program perlindungan sosial-kesehatan dan kartu pelaku usaha kelautan dan perikanan (Kusuka), serta tidak ada perlindungan kerja bagi perempuan di sektor perikanan. Terutama di bagian hasil tangkap dan pasca panen.

Multi peran
Meski belum ada pengakuan dan perlindungan, perempuan nelayan memiliki peran strategis dalam produksi perikanan. Riset itu menyatakan, tidak ada satu proses penangkapan ikan yang tidak melibatkan peran perempuan.
Menurut Mia, aktivitas penangkapan ikan seharusnya tidak dipandang sekadar menangkap ikan di tengah laut, tetapi berkait erat dengan aktivitas pra hingga pasca produksi perikanan. Dalam rangkaian proses itu, katanya, perempuan nelayan bekerja pada mayoritas aktivitas produksi perikanan, mulai dari menangkap, memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkan.
“Ketika proses itu dilakukan tangan-tangan perempuan sampai tipis, memerah, dan itu dianggap bukan sebagai beban kerja,” katanya.
Mereka juga mendapati, perempuan nelayan bisa kerja sampai 14-20 jam ketika hasil laut melimpah. Soalnya, selain harus bekerja sejak tahap pra hingga pasca produksi perikanan, mereka juga harus melakukan aktivitas domestik dan sosial.
Sedangkan, ketika musim paceklik dan penghasilan menurun, perempuan-perempuan tetap harus memastikan kebutuhan ekonomi keluarga. “Tetapi itu dinormalkan, dianggap kodratnya perempuan. Karena urusan perempuan ya mengolah persoalan di rumah tangga.”
Nihayah, peneliti KPPI dari Lombok Timur menceritakan mengenai beban kerja perempuan nelayan yang dia temui. Bagi perempuan pencacah ikan, katanya, aktivitas sejak subuh hingga siang untuk mencacah ikan sebagai pakan lobster. Mereka juga harus mengurus pekerjaan rumah tangga, membantu suami persiapkan urusan melaut, termasuk perbaiki jaring.
“Perempuan nelayan harus terlibat dalam segala kegiatan suami. Karena beban kerja yang tinggi, mereka harus bangun dari jam 03.00 pagi. Setelah urus kebutuhan melaut suami, paginya urus anak sekolah, kemudian menanti hasil tangkapan ikan. Kalau dapat, jual ikannya juga.”
Nihayah juga menyaksikan tantangan perempuan yang menjadi buruh panggul. Perempuan-perempuan itu harus berebut di wilayah perairan untuk dapat upah ikan. Padahal, ketika air pasang, tingginya bisa sampai di leher. Demi dapat ikan, mereka tidak peduli kondisi yang bisa mengancam keselamatan.
Tingginya beban kerja itu kemudian berdampak keluhan sakit. Perempuan nelayan yang dia temui menjabarkan sejumlah keluhan seperti sakit lutut, pinggang dan lambung, namun nyaris tidak mempedulikannya dan memilih tetap bekerja.
“Kami miris melihatnya. Siapa yang akan pikirkan keselamatan ibu-ibu ini. Mereka harus terlibat dalam hal apapun. Suami kalau pulang dari laut, sudah selesai. Ibu-ibu tidak, semua harus dikerjakan.”

Dampak perubahan iklim
KPPI dan Sajogyo Institute menemukan pada 17 wilayah pendokumentasian, tiga gejala krisis iklim yang intensitasnya meningkat dalam rentang 10-15 tahun terakhir. Di antaranya, banjir rob, naiknya suhu udara dan abrasi. Kondisi ini disebut menambah beban kerja perempuan nelayan, juga meningkatkan risiko kesehatan.
Riza Puspita Sari, peneliti KPPI Demak bilang, Kota Semarang hadapi dampak serius dengan peningkatan risiko banjir dan erosi pantai. Ketinggian rob di kota itu bisa mencapai 50-80 sentimeter, yang kemudian menghambat aktivitas perempuan nelayan.
Sementara, abrasi pantai di Kelurahan Tambakrejo, Semarang, menyebabkan garis pantai semakin dekat dengan pemukiman. Warga pun khawatir tempat tinggalnya akan hilang. “Bahkan sebagian warga sudah di relokasi,” katanya.
Dia mencatat, Kota Semarang mengalami penurunan tanah 8-15 sentimeter tiap tahun. Mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk meninggikan bangunan. Bahkan, Riza menambahkan, di Tambakrejo ada pemakaman yang dipindahkan ke daerah aman dari banjir.
Dampak perubahan iklim itu, katanya, turut mengancam mata pencaharian perempuan nelayan, meningkatkan kemiskinan, kerentanan pangan dan meningkatkan risiko kesehatan. Beban kerja perempuan juga disebut bertambah sekitar 3-4 jam untuk bersihkan rumah akibat banjir.
Pada saat bersamaan, belum ada pengakuan status perempuan nelayan, mengakibatkan sulit akses modal karena kartu tanda penduduk mereka masih berstatus ibu rumah tangga. Situasi-situasi ini kemudian menimbulkan dampak psikologis pada perempuan nelayan.
Seturut temuan itu, riset KPPI dan Sajogyo Institute menyerukan pada pemerintah, masyarakat sipil dan pihak-pihak yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan untuk memberi perhatian pada:
- Menyusutnya wilayah tangkap perempuan nelayan akibat alih fungsi wilayah pesisir dan dampak perubahan iklim, dengan memulihkan wilayah pesisir yang alami kerusakan.
- Beban kerja perempuan sepanjang 12-20 jam per hari telah membuat perempuan alami kekerasan struktural dan laten, upaya mengurangi kekerasan dan pemulihan perempuan nelayan perlu segera dilakukan.
- Indonesia perlu memikirkan penanganan secara nasional untuk banjir rob, abrasi dan naiknya suhu udara yang meningkat dalam 10-15 tahun terakhir, sebagai bagian upaya tangani bencana iklim.
“Perempuan pesisir alami beban ganda. Perubahan iklim dapat menambah beban kerja perempuan. Banyak juga di wilayah pesisir, jual barang berharga seperti emas,” kata Riza.
*****
Begini Cara Perempuan Nelayan Pulau Langkai Hadapi Perubahan Iklim