- Anyang Pakis merupakan makanan terbuat dari pakis. Makanan ini penuh filosofi kebersamaan dan kesederhanaan.
- Biasanya, makanan ini disantap saat bulan suci Ramadhan, disiapkan secara gotong royong, dan makan bersama dengan para tetangga sekampung.
- Kek Rais, warga Padang Halaban, bilang, pakis yang menjadi bahan baku makanan sudah banyak dicari penampung, untuk dibawa ke daerah Duri, Riau. Untuk kebutuhan menu anyang pakis di rumah-rumah makan pesisir, tempat wisatawan datang berlibur.
- Siska Hasibuan, Dosen Kewirausahaan, Kuliner dan Genealogy Universitas Sumatera Utara, mengatakan, makanan bukan sekadar penghilang rasa lapar. Tetapi jati diri khas kuliner lokal sebuah daerah. Juga, cara promosi pariwisata.
Yusniati, warga Desa Kampung baru, Sidomukti, Padang Halaban, Sumatera Utara, terlihat sibuk 18 Maret lalu. Bersama Nek Pon, Kakek Rais dan Ibu Sani, mereka tergesa menuju kebun sawit berjarak tak sampai 300 meter dari kampung.
Mereka menyambangi tanaman pakis yang tumbuh subur di antara sawit. Dengan cekatan, Kek Rais memasukkan tanaman pakis itu ke goni berukuran 10 kilogram, mengikat, dan membawa ke desa.
Hari itu, warga Kampung Baru ini tengah menyiapkan rewang, atau makan bersama di rumah seorang warga. Acara ini rutin saat Ramadhan. Mereka bergotong royong dan urunan menyiapkan bahan masakan. Salah satu menu, anyang pakis.
Ajang kebersamaan ini mereka nikmati. Sejenak melupakan bayang-bayang penggusuran yang menghantui mereka karena berkonflik dengan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART).
“Jangan pulang sebelum mencobanya. Tapi awas ketagihan,” kata Yusniati.
Nek Atik, panggilan akrabnya, menyebut kuliner ini merupakan pangan lokal dari Pulau Jawa. Transmigrasi banyak ke Sumatera dan pulau-pulau lain membuat makanan ini menyebar ke daerah lain.
Pakis memang bahan utama, tetapi ada teknik khusus memilihnya.
“Pilih daun dan batang muda, jangan yang tua. Petik di bagian tengah ke atas batang yang masih lembut. Pada saat mengambil pakis harus konsisten, jangan bercampur antara yang masih muda dan sudah tua karena rasanya nggak enak nanti bercampur-campur.”
Sebelum mulai masak, mereka cuci dulu pakis sampai berih, rebus dengan air panas selama 5 menit. Tiriskan, dan biarkan selama 15-20 menit.
Sambil menunggu, siapkan bumbu dengan menggongseng parutan kelapa tua sampai warna kecokelatan. Jangan sampai gosong karena akan membuat terlalu pahit, dan memengaruhi rasa anyang pakis.
Selanjutnya, racik bumbu terdiri dari cabai, bawang merah, ketumbar, dan serai. Semua bumbu jadikan satu, tumbuk hingga halus. Setelah itu, teteskan air jeruk dalam bumbu untuk mengikat rasa.
Langkah terakhir, masukkan bumbu dan pakis ke kuali berisi kelapa yang sudah digongseng, aduk merata. Rasa masakan jadi bervariasi dengan tambahan jantung pisang dan toge.
“Jika sudah diaduk rata cobalah cicipi Apakah rasanya mantap atau masih kurang gula atau kurang garam atau bahkan kurang pedas, tinggal menambahkannya saja sesuai selera. Setelah itu selamat menikmati,” kata perempuan 65 tahun itu tersenyum.
Bukan sekadar masakan, masyarakat Padang Halaban memaknai anyang pakis simbol kebersamaan. Sejak proses pembuatan, Rais dan Pon bilang, ada yang menyumbangkan kelapa, cabai, bawang, dan ketumbar. Tradisi ini, bentuk kebersamaan dan gotong royong. Mengikat batin antar warga, supaya bisa lebih kompak dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
“Itu sebabnya Kami selalu melestarikan makanan lokal anyang Pakis ini dari kakek buyut hingga sekarang. Setidaknya, warga bisa berkumpul makan bersama di waktu tertentu salah satunya pada Ramadan ini,” kata Pon.
Pakis, katanya, banyak dicari penampung, untuk bawa ke Duri, Riau. Untuk kebutuhan menu anyang pakis di rumah-rumah makan pesisir, tempat wisatawan datang berlibur.
Anyang pakis juga jadi menu makanan adat maupun silaturahmi keluarga besar. Ia sebagai simbol kesederhanaan dan kebersamaan. Biasa orang tua akan menceritakan makna filosofis ini ketika santap bersama.
“Walau sudah lansia, ibu-ibu ini selalu saja masih diminta membantu membuat anyang pakis jika ada acara pesta. Mereka bukan hanya memasak dan memberikan rasa yang luar biasa, namun menyelipkan cerita tentang makna kebersamaan dan kesederhanaan.”

Jaga jati diri
Siska Hasibuan, Dosen Kewirausahaan, Kuliner dan Genealogy Universitas Sumatera Utara, mengatakan, makanan bukan sekadar penghilang rasa lapar juga jati diri, sekaligus cara promosi pariwisata.
“Apabila ada pengunjung datang, pasti yang pertama kali ditanya adalah makanan apa yang khas di sini. Itulah dengan jati diri,” katanya, kepada Mongabay.
Sayangnya, masih minim kepedulian mengenalkan jati diri kuliner lokal. Banyak yang sibuk berlomba mengadopsi makanan luar, mengembangkan makanan baru lewat modifikasi. Padahal, negeri ini memiliki aset luat biasa ihwal pengetahuan kuliner lokal.
Setiap orang, katanya, lebih bangga makan makanan dari luar negeri seperti Korea atau Jepang, ketimbang menyantap makanan lokal.
Siska bilang, orang merasa lebih populer ketika menyantap kuliner luar daerah atau negara lain. Memandang kecil makanan khas adat melayu seperti bubur pedas atau kue rasidah.
Fenomena ini, katanya, terjadi karena tidak ada usaha menurunkan pengetahuan lokal ke generasi penerus. Bisa jadi generasi dulu tidak memandang tinggi pengetahuan lokal mereka. Sehingga generasi muda memandang makanan sebagai kebutuhan pokok penghilang lapar.
“Sejarah jadi mahal ketika melihatnya di masa depan. Sama ketika melihat makanan lokal yang masih ada sekarang. Bagi orang-orang terdahulu merupakan hal yang biasa saja. Sehingga orang-orang di masa depan yang bisa melihat mahal tidaknya suatu menu.”
Di Sumut, idealisme mempertahankan kuliner lokal makin kurang. Dari 8 etnis di provinsi ini, hanya Toba yang menjaga kekhasan makanan mereka.
Karena itu, Masyarakat Adat Batak Toba bisa jadi contoh untuk mempertahankan makanan lokal. Mereka, kata Sisca, bangga dengan andaliman, arsik, hingga naniura. Bahkan, tetap menggunakan bahasa daerah ketika sudah tinggal di provinsi lain.
Menurut dia, kelompok muda harus belajar dari orang tua yang masih ada. Berusaha memahami kearifan dan menjaga makanan lokal mereka.
Selain itu, penting juga memasukkan pengetahuan ini ke dalam kurikulum belajar, mulai dari sekolah tingkat dasar. Di keluarga, orang tua harus segera memberikan ilmu dan pengetahuan mereka tentang makanan khas adat peninggalan leluhur pada anak. Di beberapa tempat, rantai itu terputus.
Pemerintah juga harus intervensi. Antara lain dengan edukasi dan pelatihan membuat makanan tradisional, menjadi produk layak jual. Peningkatan kualitas produk juga harus dilakukan dari bahan baku hingga cara penyajian.
Selain itu, produksi dan penyajian makanan lokal juga harus ditingkatkan. Sehingga masyarakat yang jadi target pasar mau meluangkan waktu dan uang mereka untuk membelinya.
“Bukan hanya sekedar cakap-cakap doang. Semua itu bisa semakin cepat terlaksana, Apabila mendapat dukungan dan perhatian serius dari pemerintah.”

*****