- Seorang bocah Bajo berumur dua tahun meninggal, jatuh ke laut dangkal yang dikontaminasi sedimen lumpur limbah pertambanga nikel. Total sudah empat anak mengalami kejadian sama di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara.
- Pemerintah dianggap gagal menegakkan hukum dan mengawasi aktivitas pertambangan. LSM, aktivis lingkungan, dan tokoh masyarakat mengkritik lambatnya respons pemerintah, kurangnya transparansi, perlindungan terhadap praktik ilegal, serta kompensasi yang tidak memadai dari perusahaan tambang seperti PT Timah Investasi Mineral.
- AB Widyanta, Sosiolog Universitas Gadjah Mada menyebut kejadian yang menimpa suku Bajo di Kabaena merupakan praktik kanibalisme dari pembangun.
- Pertambangan nikel telah menyebabkan kemiskinan, kehilangan mata pencaharian tradisional, dan meningkatnya ketidakadilan sosial di kalangan masyarakat Bajo. Perubahan ini memaksa banyak masyarakat Bajo meninggalkan kehidupan tradisional mereka, beralih ke utang, dan menghadapi ketidakpastian hidup. Hal ini berdampak lebih besar pada perempuan dan anak-anak.
Hari menjelang sore di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara (Sulteng) pertengahan Maret lalu. Cuaca ekstrem dan angin barat berhembus membawa gelombang air pasang naik ke pesisir, mengaduk endapan lumpur ore nikel di bawah kampung terapung Suku Bajo di pesisir Desa Baliara.
Masra, bocah dua tahun dengan kaki belum kuat berjalan mondar-mandir di atas jembatan kayu yang jadi penghubung antar rumah. Sesaat kemudian, bocah perempuan itu tak lagi terlihat, suara tawa kecilnya pun hilang tertelan awan gelap di langit Kabaena.
Sontak, suasana di desa pesisir menjadi panik. Dibantu warga, keluarga berusaha mencari sang bocah. Sampai seorang warga mendapati melihat seonggok kaki mungil terlihat di antara keruh air laut bercampur lumpur. Teriak histeris para perempuan pecah menyaksikan bocah malang itu sudah tidak bernyawa. Baliara kembali berduka.
Ini bukan kala pertama anak-anak Suku Bajo tenggelam di antara sedimen lumpur nikel yang mencapai betis orang dewasa. “Biasanya anak-anak (bajo) usia begitu sudah bisa berenang, tapi ini belum,” kata Irma, bibi korban yang terakhir kali melihat korban keluar dari rumahnya.
Sedimen lumpur nikel perlahan hadir mengubah keterampilan anak-anak bajo beradaptasi dengan lingkungan laut yang menjadi ruang hidupnya. Ingatan Irman, tercatat sudah tiga kali ini Bajo yang identik dengan Suku Laut kehilangan anak-anak mereka terjerembab sedimen lumpur ore nikel.
Tidak lama setelah itu, hujan deras mengguyur. Sungai-sungai kecil yang membelah Baliara kembali meluap. Mereka yang rumahnya di darat tidak berkutik, tergerojok air lumpur dari galian nikel di gunung terdekat. Di pesisir, kesedihan atas kematian Masra mengabaikan banjir lumpur yang bermuara di bawah rumah-rumah mereka.
“Apakah karena mereka adalah orang Bajo, sehingga perhatian pemerintah seperti ini?” Syahrul Gelo, Direktur LSM Sagori, sore itu hadir menyaksikan suasana kedukaan. Catatannya, sudah tiga anak Suku Bajo tewas terjerembab lumpur sedimen.
Selama ini, orang-orang Bajo menjadikan laut dan pesisir sebagai ruang hidup mereka. Di banyak tempat, rumah-rumah mereka terbangun di laut untuk mendekatkan dengan rutinitas sehari-hari. Tidak mengherankan bila anak-anak Suku Bajo sudah mampu berenang, bahkan sejak belia.
Gelo menyebut, warga Suku Bajo bukanlah pemilik lahan yang ditambang. Kendati tinggal di pesisir, relatif jauh dari area tambang, mereka justru menjadi pihak paling terdampak tambang nikel yang mengeksploitasi sebagian besar Pulau Kabaena.
Situasi makin parah dengan sikap pemerintah yang lambat merespons aktivitas tambang yang berdampak luas di Kabaena. Alih-alih penegakan hukum, pemerintah terkesan melakukan pembiaran atas berbagai dampak yang terjadi.
Gelo juga mengutuk pemberian kompensasi tak memadai perusahaan kepada warga terdampak di pesisir Baliara. Menurut dia, lingkungan di Kabaena begitu rusak. Cara untuk menghentikannya dengan menyetop segala pertambangan, bukan pemberian kompensasi. “Ini persoalan yang harus segera diselesaikan.”

Pemerintah gagal
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), ungkap hal senada. Dimanapun tambang beroperasi, dampak tidak hanya pada daerah tapak, tetapi sampai ke pesisir. “Inilah bahayanya tambang. Identitas mereka berupa ekosistem pesisir yang bersih dan sehat, tercerabut,” katanya.
Dia berpendapat, dampak tambang di Kabaena tidak hanya menghancurkan kelestarian pulau juga mengubah cara hidup tradisional masyarakat Bajo, termasuk tempat pemancingan mereka dan kemampuan anak-anak mereka untuk belajar berenang. Padahal, berdasarkan Putusan MK Nomor 3/2010, nelayan punya hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat.
Apa yang terjadi di Kabaena adalah bentuk perampasan hak konstitusional masyarakat pesisir oleh perusahaan tambang. Kalau ketimpangan itu terus berlangsung, akan memberi dampak luar biasa, terutama bagi perempuan.
Masyarakat terlilit utang karena kesulitan mendapatkan ikan. Anak-anak menjadi rentan, dan ibu-ibu hidup dalam rasa takut. Mereka tidak nyaman melaut atau melakukan aktivitas lain.
“Jangankan hidup layak, untuk hidup saja mereka sudah sulit.”
Susan contohkan, ketimpangan signifikan dengan kondisi Suku Bajo. Pemerintah telah lama memaksa mereka ke darat, karena dianggap bermasalah hidup di laut. Kini, ruang hidup mereka di laut pun terampas.
Berbagai dampak tambang di Pulau Kabaena bukanlah ilusi. “Ini cerita yang di depan mata. Sebuah praktik kanibalisme dari pembangun,” kata AB Widyanta, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menurut dia, limbah pertambangan nikel yang merusak ruang hidup anak-anak Bajo sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Pemerintah harus menindak tegas dengan melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap semua pemegang konsesi di Kabaena.
Widyanta berpengalaman meneliti persoalan sosial yang muncul dari industrialisasi nikel. Menurut dia, hilirisasi nikel hanya menguntungkan elit dan perusahaan asing, tetapi menyebabkan masyarakat lokal menderita, kehilangan mata pencaharian, bahkan terusir. Tambang juga memicu lingkungan rusak parah.
Hilirisasi hanya memprioritaskan keuntungan ekonomi jangka pendek daripada keberlanjutan lingkungan jangka panjang dan kesejahteraan generasi mendatang. Karena faktanya, keuntungan yang didapat dari tambang, tidak sebanding dengan berbagai kerusakan yang terjadi.
Dia menuding pemerintah tidak pernah transparan dalam memberikan konsesi pertambangan dan gagal meminta pertanggungjawaban perusahaan atas kerusakan lingkungan.
Widyanta menyimpulkan ‘pemerintah gagal’ dalam melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan terkait pertambangan. Pertambangan nikel terbuka di pesisir dan pulau-pulau kecil telah menebang hutan, menghilangkan habitat, dan menyebabkan erosi tanah.
Susan memberi masukan, pemerintah harus melihat dampak ekologis secara serius. Pemerintah harus mencabut izin tambang karena masyarakat tidak pernah menjadi kaya akibat tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil. Alih-alih ingin mensejahterakan malah membuat mereka semakin miskin.
“Ini adalah akibat dari kerakusan energi baru,” kata Susan.

Mata pencaharian hilang
Renaldi, aktivis lingkungan di Bajo Baliara yang vokal mengkritik panambangan nikel di Kabaena yang begitu merusak. Kolam pengendapan lumpur dari aktivitas galian nikel perusahaan tidak berjalan baik dan diduga menjadi penyebab limbah lumpur keluar mencemari lingkungan sekitar.
Dia pernah melakukan protes ke perusahaan tambang yang gagal memberi kompensasi layak kepada masyarakat pesisir terdampak. Dia mengkritik kurangnya transparansi perusahaan dan mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Renaldi menjelaskan bagaimana pertambangan menyebabkan kerusakan lingkungan, berdampak pada mata pencaharian masyarakat Bajo. Polusi dari kegiatan pertambangan telah membuat perairan tidak cocok untuk penangkapan ikan, yang menyebabkan penurunan tangkapan. Hal ini telah memaksa banyak orang Bajo untuk meninggalkan profesi memancing tradisional mereka.
Polusi juga mempengaruhi sumber daya laut lain yang diandalkan oleh masyarakat Bajo, seperti kerang dan rumput laut.
Hilangnya pendapatan dari penangkapan ikan dan sumber daya laut lainnya telah menyebabkan peningkatan kemiskinan di antara masyarakat Bajo. Banyak yang sekarang terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan.
Renaldi berharap, perusahaan tambang bersangkutan serius mengatasi kerusakan lingkungan. Termasuk memperbaiki bendungan penampung pembuangan lumpur yang sudah tidak layak, untuk mencegah banjir dan pencemaran perairan. Perusahaan juga harus memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terdampak. Langkah itu sebagai solusi sementara dan tidak boleh dilihat sebagai pengganti untuk mengatasi kerusakan lingkungan, meskipun tidak sebanding dengan nyawa.
“Kematian (anak) itu kan peristiwa hukum. Seharusnya bisa terlihat pada saat dia jatuh.
Tapi karena kekeruhan air itu yang menyebabkan anak itu tidak terlihat. Nanti terlihat pada saat dia terapung. Dan terapungnya itu anak itu sudah tidak bernyawa,” kata Renaldi.
*****