Ular Berbisa dan Tidak: Bagaimana Cara Membedakannya?

2 days ago 10
  • Bagaimana cara paling mudah membedakan ular yang berbisa dan tidak?
  • Ular berbisa dapat dikenali berdasarkan beberapa ciri fisik dan perilaku. Satu indikator yang kerap digunakan adalah bentuk kepala segitiga dan perilakunya yang tenang. Warna mencolok atau kemampuannya untuk mengembangkan tubuh, jadi pertanda jenis berbisa
  • Di Indonesia, ular berbisa terbagi dua kelompok utama. Ada kelompok bisa neurotoksin, yaitu menyerang sistem saraf yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Kelompok ini meliputi king kobra berbagai spesies kobra, ular weling dan welang, serta ular laut.
  • Berikutnya kelompok hemotoksin, yang menyerang sistem peredaran darah. Kondisi ini menyebabkan pendarahan hebat dan komplikasi kesehatan. Ular dalam kelompok ini adalah viper tanah, bandotan puspo, dan ular hijau. Ular-ular ini cenderung tidak banyak bergerak dan warnanya menyerupai lingkungan sekitar. Kasus gigitannya tinggi akibat ketidaktahuan masyarakat.

Bagaimana cara paling mudah membedakan ular yang berbisa dan tidak?

Amir Hamidy, Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan ular berbisa dapat dikenali berdasarkan beberapa ciri fisik dan perilaku.

Satu indikator yang kerap digunakan adalah bentuk kepala segitiga dan perilakunya yang tenang.

“Warna mencolok atau kemampuannya untuk mengembangkan tubuh, jadi pertanda jenis berbisa,” ungkapnya, Kamis (27/3/2025).

Akan tetapi, tidak semua ular berkepala segitiga atau warna mencolok berbisa. Ada beberapa spesies tidak berbisa, berevolusi dengan meniru morfologi ular berbisa sebagai bentuk perlindungan melalui mekanisme mimikri.

Di Indonesia, ular berbisa terbagi dua kelompok utama. Ada kelompok neurotoksin, yaitu menyerang sistem saraf yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat.

“Ini meliputi king kobra (Ophiophagus hannah), berbagai spesies kobra (Naja spp.), ular weling (Bungarus candicus) dan welang (Bungarus fasciatus), serta ular laut (Hydrophiinae).

Berbagai jenis tersebut, bisa ditemukan di berbagai wilayah, terutama di Jawa yang interaksinya tinggi antara manusia dan satwa liar.

Berikutnya kelompok hemotoksin, yang menyerang sistem peredaran darah. Kondisi ini menyebabkan pendarahan hebat dan komplikasi kesehatan. Ular dalam kelompok ini adalah viper tanah (Calloselasma rhodostoma), bandotan puspo (Trimeresurus spp), dan ular hijau (Trimeresurus Spp,).

“Ular-ular ini cenderung tidak banyak bergerak dan warnanya menyerupai lingkungan sekitar. Kasus gigitannya tinggi akibat ketidaktahuan masyarakat,” jelas Ketua Perhimpunan Herpetologi Indonesia ini.

Baca: Apakah Ular Bermunculan Saat Musim Hujan?

Risiko gigitan ular sanca tetap ada, meski jenis ini tidak berbisa. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Bisa ular berakibat fatal

Gigitan ular berbisa, berakibat fatal jika tidak ditangani dengan benar. Masyarakat perlu memahami tanda-tandanya beserta tindakan tepat sebelum mendapatkan pertolongan medis.

Tri Maharani, satu-satunya dokter spesialis toksinologi ular berbisa di Indonesia, menerangkan gigitan ular berbisa dapat dikenali dari efek racun atau venom yang masuk ke tubuh.

“Didominasi dua jenis utama, yaitu neurotoxin dan hemotoxin,” ungkapnya.

Venom dengan efek lain seperti cardiotoxin, renal toxicity, cytotoxin, dan myotoxin juga ditemukan, walaupun tidak dominan.

Neurotoxin menyerang sistem saraf dan mempunyai tanda utama, seperti ptosis (kelopak mata turun), oftalmoplegia (kelemahan otot mata), abdominal cramp (kram perut), disfagia (kesulitan menelan), dyspneu (kesulitan bernapas), peripheral paralysis (kelumpuhan perifer), dan respiratory paralysis (kelumpuhan pernapasan).

Sedangkan hemotoxin, menyebabkan gangguan pada sistem peredaran darah. Ini ditandai dengan pendarahan di bekas gigitan, gum bleeding (gusi berdarah), bloody tears (air mata berdarah), haemoptoe (batuk darah), hematuria (darah dalam urine), epistaxis (mimisan), melena (feses berwarna hitam akibat pendarahan saluran cerna), dan trombositopenia (penurun jumlah trombosit).

“Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan APTT, PTT, INRBT, CT, atau hasil 20 WBCT yang encer, sebagai indikasi dampak racun ular berbisa.”

Tri menekankan langkah pertama paling tepat dan direkomendasikan WHO ketika digigit ular adalah imobilisasi. Metode ini, terbukti secara ilmiah efektif memperlambat penyebaran bisa di tubuh.

Otot yang bergerak akan mengaktifkan pompa kelenjar getah bening, yang mempercepat peredaran racun dalam tubuh. Ini berisiko pada kegagalan organ hingga kematian.

“Tetap tenang dan minimalkan gerakan untuk memperlambat penyebaran racun,” jelas dokter spesialis Emergency dan penasehat untuk Badan Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization).

Langkah pertolongan berikutnya adalah imobilisasi area yang terkena gigitan dengan menggunakan kayu atau benda keras. Sama halnya menangani patah tulang.

Hindari metode yang salah seperti mengisap bisa, mengikat anggota tubuh, atau mengiris luka gigitan. Cara ini justru dapat memperparah kondisi korban.

“Segera bawa korban ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan perawatan.”

Baca: Bisakah Kita Hidup “Bertetangga” dengan Ular?

Ular berbisa dan tidak dapat ditandai dari ciri-ciri fisiknya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Imobilisasi

Tri melanjutkan, setelah imobilisasi langkah berikutnya adalah pemeriksaan ABCD yaitu Airway, memastikan tidak ada sumbatan pada saluran pernapasan. Breathing yakni memberikan oksigensi yang cukup, misalnya 2-4 liter dengan nasal canula atau 10 liter dengan Non-Rebreathing Mask (NRBM)

“Jika perlu, pasien bisa diberikan intubasi atau ventilator,”

Lalu, Circulation yaitu memasang akses intravena atau intraosseus untuk memberikan cairan seperti NaCI, ringer laktat atau asering. Sedangkan Disability adalah memantau tingkat kesadaran pasien dan tanda-tanda neurologis lainnya.

“Setelah itu, berikan antivenom untuk menetralisir racun dalam tubuh, dengan dosis yang disesuaikan berdasarkan jenis gigitan ular.”

Obat tambahan seperti antibiotik, analgesik, atau anticholinesterasse bisa diberikan sesuai kondisi korban. Langkah berikutnya, lakukan pemeriksaan darah lengkap, yaitu analisis pembekuan darah. Periksa penunjang seperti EKG, CT-Scan, dan USG jika diperlukan.

Jika pasien hanya mengalami gejala lokal tanpa tanda-tanda sistematik, maka dilakukan observasi selama 24-48 jam sebelum diperbolehkan pulang. Bila ada tanda sistematik, pasien dirawat hingga kondisinya stabil dan normal.

“Dengan meningkatnya kesadaran dan pemahaman warga tentang penanganan gigitan ular berbisa, diharapkan angka kematian dapat diminimalisir.”

Baca juga: Dua Tahun Terakhir, Korban Meninggal akibat Gigitan Ular Meningkat

Di Indonesia, ular berbisa terbagi dua kelompok utama, yaitu kelompok neurotoksin dan hemotoksin. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Bijak menghadapi kehadiran ular

Maula Haqul Dafa, Skill Trainer Divisi Litbang Sioux Ular Indonesia, menjelaskan pentingnya sikap bijak dalam menghadapi keberadaan ular di sekitar. Menurut dia, jika seseorang tidak mengetahui cara identifikasi ular dan tidak yakin apakah ular tersebut berbisa atau tidak, sebaiknya jangan coba menangkap atau menangani sendiri.

“Kesalahan dalam penanganan bisa berakibat fatal,”

Ular mempunyai peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

“Oleh karena itu, diharapkan masyarakat tidak serta-merta membunuh jika melihatnya,” paparnya.

Kenapa Ular Sering Muncul Saat Banjir?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|