- Para nelayan di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim) memenangkan gugatan atas SK Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Nomor 54/2023 yang menentapkan lokasi perairan di luar wilayah pelabuhan yang berfungsi sebagai pelabuhan. SK ini akan memberi ruang transhipment batubara di tengah laut.
- Fadlan, koordinator Gabungan Nelayan Balikpapan (Ganeba) menyebut, SK tersebut bertentangan dengan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang terintegrasi dengan Perda RTRW. Bahwa, koordinat dalam SK Kemenhub masuk dalam zona nelayan.
- Selama ini, aktivitas bongkar muat di Balikpapan banyak merugikan nelayan. Para nelayan harus melaut lebih jauh karena area tangkap yang tercemar. Imbasnya, biara operasional membengkak. Dari semalam, menjadi tiga malam.
- Fathur Roziqien Fen, Direktur Walhi Kaltim berharap Kemenhub tidak melakukan banding sebagia upaya perlindungan terhadap para nelayan dan menjaga keanekaragaman hayati di periaran Balikpapan. Sekaligus memamastikan nelayan tradisional tidak kehilangan ruang tangkapnya.
Perjuangan para nelayan di Balikpapan untuk mempertahankan ruang hidup membuahkan hasil. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan para nelayan atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 54/2023 (KM 54/2023) tentang Penetapan Lokasi Perairan di Luar wilayah Pelabuhan yang Berfungsi sebagai Pelabuhan. Para nelayan pun lega karena kalau sampai aturan ini berlaku berarti membuka jalan transhipment batubara di laut yang jadi wilayah tangkap nelayan.
Dalam sidang putusan 14 Maret itu, Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan penggugat dan menyatakan SK No 54/2023 tertanggal 13 Juni batal dan tidak sah. “Memerintahkan tergugat mencabut surat itu,” kata majelis, dikutip dari SIPP PTUN Jakarta.
Para nelayan suka cita menyambut putusan ini. Fadlan, misal, nelayan asal Balikpapan juga sempat sebagai saksi dalam sidang sempat menangis haru. Maklum, ada sekitar 10.000 nelayan lebih, termasuk dari Penajam Paser Utara yang bakal terdampak dari aturan itu.
Sebelumnya, dengan dukungan Pokja Pesisir dan Walhi Kaltim, Fadlan dan nelayan lain menggugat SK Menhub 54/2023. Menurut Fadlan, SK itu untuk melegitimasi koordinat lokasi keberadaan ship-to-ship (STS) atau fasilitas transfer batubara di dalam wilayah tangkap nelayan atau sekitar 8 mil dari bibir pantai.
Gugatan itu masuk 10 Oktober 2024 dengan Nomor perkara 367/G/2024/PTUN.JKT dan mulai sidang pada 7 November 2024. Permasalahan utama dari regulasi itu berkaitan dengan dampak-dampak yang Fadlan dan nelayan lain rasakan.

Lokasi transfer batubara bahayakan nelayan
Fadlan bilang, dampak transfer batubara di perairan Balikpapan sudah mereka rasakan sejak 10 tahun lalu. “Yang sudah ada ini saja sangat meresahkan kita. Malah mau ditambah sama itu lagi (penlok KM 54/2023). Kemarin, (pelabuhan transfer batubara yang beroperasi hingga saat ini) sudah bekerja, baru kami tahu. Seandainya, kami tahu sebelumnya, pasti kami tolak juga dari awal,” katanya.
Sejak 2015, dia mengeluhkan hasil tangkapan kian merosot bahkan tercampur batubara dalam jaringnya. Belum lagi, eskalasi kecelakaan kapal karena lalu lintas kapal bermuatan batubara dan menurunnya fungsi serta kualitas lingkungan pesisir dan laut Balikpapan.
“Tumpahan batubara, itu sudah pasti. Akhirnya, kami ke tempat lain, menghindar dari situ. Secara otomatis, kan menyempit wilayah tangkapan kami,” katanya.
Selain itu, hasil bercampur batubara dalam jaring nelayan, membuat kualitas tangkapan rusak. “Tangkapan udang itu rusak, patah-patah, tidak bisa dijual di pasar.”
Padahal, dengan penghasilan sebagai nelayan udang yang tak menentu pun, Fadlan sudah bisa menyekolahkan kedua anaknya sampai perguruan tinggi. Baru setelah pelabuhan transfer batubara pertama muncul sekira 2015, kehidupan pun berubah drastis.
Sejenak, ingatan Fadlan tertuju pada peristiwa kurang mengenakkan pada 2016. Ketika itu, anaknya meminta biaya kuliah namun tak bisa dia berikan. Penyebanya, ketika melaut, yang masuk ke dalam jaring hanyalah bongkahan batubara dan hasil tangkap tak laik jual.
“Bah, tanggal sekian kirimkan ya,” katanya menirukan ucapan anaknya.
“Saya langsung ngomong, ‘iya, Nak. Tunggu nanti abah malam turun (melaut) ya, nanti ada rezeki baru abah kirim. Satu saat, berangkat ke laut, apa yang saya dapat? Batubara. Akhirnya saya tidak bisa ngirim (uang ke anak),” katanya.
Dampak dari aktivitas alih muat batubara itu, para nelayan dari Gabungan Nelayan Balikpapan (Ganeba) harus melaut lebih jauh hingga ke perairan Paser dengan waktu berhari-hari. Padahal, sebelumnya, para nelayan hanya perlu 50 liter bahan bakar minyak (BBM) untuk semalam melaut di sekitar perairan Balikpapan.
“Tapi, karena sekarang melautnya sampai ke wilayah Kabupaten Paser, nelayan dari Balikpapan membutuhkan sekira 300 liter untuk melaut selama 3-4 malam. Kebanyakan memang ke daerah sana, karena di sini sudah nggak bisa.”
Fadlan sempat hadir sebagai saksi kala sidang pemeriksaan pada Januari 2025.. Dalam keterangannya, dia banyak menjelaskan dampak yang muncul dari maraknya bongkar muat batubara di Balikpapan. Karen itu, dia pun sempat khawatir kalau SK 54/2023 ini tidak dicabut.
Terlebih, koordinat lokasi, sebagaimana SK itu juga tidak sesuai dengan implementasi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K)) Kalimantan Timur Nomor 2/2021 . Faktanya, koordinat SK 54/2023, berada di dalam zona tangkap nelayan.

Pemerintah jangan banding
Fathur Roziqin Fen, Direktur Walhi Kaltim, menyebut, putusan ini sudah berpihak pada fakta-fakta yang telah disampaikan dalam persidangan. Kebijakan pemerintah di sektor pesisir dan laut, dia nilai menimbulkan risiko besar yang mengancam keanekaragaman hayati laut serta terhadap perlindungan ruang tangkap nelayan tradisional.
Dia mengingatkan, Kementerian Perhubungan untuk tak upaya banding. “Pemerintah, seharusnya turut serta melindungi ruang tangkap nelayan tradisional guna mendukung peningkatan kesejahteraan nelayan di Kalimantan Timur.”
Mappaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir berharap, tak ada proses lanjutan yang mengarah pada upaya menjadikan kawasan tangkap nelayan itu wilayah bongkar muat batubara.
“Misal, (putusan sidang) kalah yang SK 54 ini, terus mengajukan lagi izin baru dengan lokasi di sekitar situ, karena kan tentu berpotensi memberi dampak sama ketika ada izin baru di lokasi sekitar wilayah tangkap nelayan,” katanya, 21 Maret 2025.
Fadlan juga berharap besar dengan kemenangan gugatan itu dapat menyadarkan pihak tertentu untuk menghentikan aktivitas transfer batubara yang masih berlangsung hingga kini.
Mappaselle menambahkan, pembatalan SK 54/2023 dapat menjadi langkah awal memperbaiki tata kelola bongkar muat batubara di perairan. Apalagi, di dalam wilayah potensial perikanan yang masih berjarak tak sampai 10 mil dari bibir pantai.
“Sektor perikanan laut memiliki potensi cukup besar untuk menjadi penopang ekonomi nasional, mestinya diberi ruang sama untuk dikembangkan. Pengembangan diawali dengan menjaga agar wilayah tangkap nelayan potensial tetap terjaga kelestariannya, aman dan mudah diakses oleh nelayan.”
*****