Jerat Hukum Pemuda Piliana Demi Jaga Hutan Adat

2 days ago 7
  • Masyarakat di sejumlah negeri adat di Pulau Seram, seperti di Kecamatan Tehoru dan Teluti, protes pematokan hutan adat. Mereka khawatir, ruang hidup hilang kalau negara lakukan pematokan sepihak. Saking kecewa, warga aksi dan protes dengan pengibaran bendera bersimbol RMS di hutan adat mereka. Anthonius Latumutuany, pemuda adat dari Negeri Piliana, terjerat hukum.
  • Pada akhir 2022 hingga awal 2023, Balai Pengelolaan Kawasan Hutan (BPKH) Maluku melakukan pemasangan patok  di hutan adat (pertuanan) sejumlah negeri adat di Pulau Seram,  yang berbatasan dengan Taman Nasional Manusela.
  • Pada September tahun lalu, Pengadilan Negeri Masohi menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Anthonius September tahun lalu. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Ambon, saat tim kuasa hukum yang dipimpin Semuel Waileruny  mengajukan banding.  Kasasi ke Mahkamah Agung pun tak mengubah putusan, meski Anthonius dinyatakan tidak terbukti melakukan tindakan makar.
  • Perjuangan Anthonius Latumutuany dan Masyarakat Adat Tehoru belum berakhir. Mereka akan terus menolak penetapan status hutan produksi konversi (HPK) dan menuntut pengesahan peraturan daerah pengakuan masyarakat adat sebagai payung hukum bagi hak ulayat mereka.

Jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIT pertengahan Maret lalu. Anthonius Latumutuany melangkah keluar dari Lapas Kelas IIB Masohi,,  meninggalkan jeruji besi yang sudah mengurungnya selama dua tahun ini. Wajah menyiratkan kelegaan bercampur haru. Pemuda 29 tahun ini terjerat hukum atas tuduhan makar karena mengibarkan bendera simbol Republik Maluku Selatan (RMS) di Dusun Lukaihata, di Pulau Seram.

Pengibaran bendera sebagai bentuk protes masyarakat karena pemerintah mematok hutan adat di sejumlah negeri di Kecamatan Tehoru, Pulau Seram.

Minggu pagi itu, dia melangkah keluar disambut pelukan hangat istri dan anaknya yang lahir saat dia masih dalam penjara. Keluarganya yang menunggu di luar ini menempuh perjalanan lebih dari 120 kilometer dari Negeri Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, demi menyambutnya pulang.

Pada September tahun lalu, Pengadilan Negeri Masohi menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Anthonius September tahun lalu. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Ambon, saat tim kuasa hukum yang dipimpin Semuel Waileruny  mengajukan banding.

Kasasi ke Mahkamah Agung pun tak mengubah putusan, meski Anton dinyatakan tidak terbukti melakukan tindakan makar. Hukuman tetap dia jalani lantaran mengibarkan simbol yang dianggap terlarang. Anton menjalani hukuman penuh, tanpa remisi atau amnesti.

Aksi dan perlawanan masyarakat termasuk para pemuda Piliana menolak pemasangan patok kawasan hutan di hutan adat mereka. Masyarakat kecewa mendalam terhadap pemerintah yang bertindak sewenang-wenang terhadap wilayah adat mereka.

Pada akhir 2022 hingga awal 2023, Balai Pengelolaan Kawasan Hutan (BPKH) Maluku melakukan pemasangan patok  di hutan adat (pertuanan) sejumlah negeri adat di Pulau Seram,  yang berbatasan dengan Taman Nasional Manusela.

Sebagai bentuk protes, Anton dan beberapa pemuda lain mengibarkan kain berukuran dua kali tiga meter terbentang di tengah hutan Dusun Lukaihata, wilayah Petuanan Negeri Piliyana, Maluku,  28 Februari 2023. Kain itu adalah Bendera Benang Raja, simbol bendera RMS.

Gambar itu dia unggah ke media sosial sebagai simbol perlawanan atas perampasan tanah adat. Aparat menanggapi dengan dakwaan makar. Pengadilan Negeri Masohi menjatuhkan vonis dua tahun penjara.

Kini, Anton sudah bebas dan kembali ke Piliana, ke kebun dan tanah yang lama dia rindukan. “Beta sanang bisa pulang, kumpul dengan keluarga. Tapi perjuangan tetap jalan, beta seng bisa tinggal diam,” katanya, saat dihubungi telepon.

Dua tahun terlewati, namun konflik antara masyarakat dan pemerintah belum usai. Warga Piliana dan sembilan negeri adat lain di Tehoru terus berjuang menolak pemasangan patok oleh balai.

Antonius Latumutuany. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia

 

Jaga hutan dan wilayah adat

Hutan adat yang mereka jaga turun-temurun terancam terambil alih oleh negara. “Katong cuma punya kebun untuk makan sehari-hari. Kalau diambil, katong mau makan apa?” katanya.

Di kebun, Anton tanam kakao, pala, cengkih, sampai singkong. Secara status negara,  hutan adat itu masuk hutan produksi konversi (HPK). Mereka was-was  pematokan karena di sanalah masyarakat bergantung hidup.

“Dulu,  tanah ini punya leluhur, diwariskan turun-temurun. Sekarang, tiba-tiba pemerintah bilang ini bukan milik katong lagi. Lalu, hak katong di mana?”

Di kampung halamannya, Anton tak hanya ingin kembali berkebun. Dia bertekad terus berdiri di garda depan bersama masyarakat adat mempertahankan tanah mereka.

Katong seng minta banyak, katong hanya ingin hidup damai dengan alam, jangan ambil katong punya hutan dan tanah.”

Perjuangan Anton dan Masyarakat Adat Tehoru belum berakhir. Mereka akan terus menolak penetapan status hutan produksi konversi (HPK) dan menuntut pengesahan peraturan daerah pengakuan masyarakat adat sebagai payung hukum bagi hak ulayat mereka.

“Mari bersatu! Pertahankan ruang hidup, rebut kembali hak petuanan negeri-negeri di Kepulauan Maluku!” serunya.

Aksi penolakan patok PAL HPK oleh Masyarakat Adat Negeri Hatumete. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia

Protes meluas

Protes terhadap tindakan sepihak BPKH Maluku tidak hanya oleh Masyarakat Negeri Piliyana, juga menyebar ke berbagai negeri adat lain di Kecamatan Tehoru dan Teluti, Maluku Tengah.  Seperti Masyarakat Negeri Hatu, mengecam pemasangan patok (pal) batas kawasan hutan di wilayah petuanan adat mereka tanpa izin.

Masyarakat Adat Negeri Hatu merasa tindakan BPKH Maluku mengabaikan tata cara adat dan budaya setempat. Menurut Zein Vano Walalayo, tokoh adat Negeri Hatu, pemasangan pal batas untuk penataan kawasan hutan tanpa ada koordinasi atau sosialisasi terlebih dahulu dengan pemerintah negeri maupun masyarakat adat.

“Penetapan pal batas sama sekali tidak diketahui, karena tidak ada koordinasi dan sosialisasi dari pihak mana pun, termasuk BPKH Maluku,” katanya melalui unggahan di media sosial.

Tindakan ini, katanya,  tidak menghormati adat dan budaya. Setiap aktivitas di wilayah adat seharusnya dengan komunikasi jelas dan penghormatan terhadap pemilik hak ulayat.’

Salah satu Pohon yang ditandai sebagai bagian dari status HPK oleh petugas BPKH. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia

Sasi dan pencabutan pal batas

Sebagai bentuk perlawanan, Masyarakat Adat Negeri Hatu di bawah perintah Raja Negeri Hatu mencabut pal batas yang BPKH pasang. Mereka juga memberlakukan sasi adat, yaitu, larangan adat untuk melindungi tanah dan wilayah yang merupakan warisan leluhur mereka.

“Pencabutan pal batas ini adalah teguran terhadap tindakan yang tidak menghormati adat dan budaya kami. Kami menolak langkah-langkah yang dilakukan secara sepihak oleh pihak BPKH,” kata Walalayo.

Menurut dia, sasi adat merupakan uoaya Masyarakat Negeri Hatu menjaga tanah adat sebagai warisan leluhur. Masyarakat tegas menolak segala upaya tanpa izin dan penghormatan terhadap hak adat mereka.

Penolakan serupa juga muncul dari berbagai negeri adat lain di Kecamatan Tehoru dan Teluti, termasuk Negeri Hatu Mete, Negeri Piliyana, Negeri Tehoru dan beberapa negeri adat lain. Semua menyuarakan keberatan terhadap langkah sepihak BPKH mengabaikan kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada alam dan adat istiadat mereka.

Masyarakat negeri adat di Pulau Seram, seperti di Kecamatan Tehoru dan Teluti, berupaya jaga hutan adat mereka. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia

*****

Cerita Para Perawat Hutan Adat Mekar Raya

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|