-
Penemuan Ular Bertaring Tiga: Seekor ular death adder (Acanthophis) dengan tiga taring berbisa ditemukan di Australian Reptile Park, yang berpotensi menjadikannya salah satu ular paling mematikan di dunia karena peningkatan produksi racun.
-
Peningkatan Produksi Racun: Taring tambahan ini membuat ular menghasilkan dua kali lipat racun per gigitan dibandingkan dengan death adder bertaring dua, menjadikannya lebih mematikan dalam berburu dan bertahan diri.
-
Mutasi Genetik dan Penelitian: Mutasi langka ini diyakini genetik, namun para peneliti masih mempelajari penyebab dan dampaknya terhadap potensi racun dan perilaku ular tersebut.
Penemuan langka baru-baru ini di Australian Reptile Park, Australia, mengungkapkan adanya seekor ular death adder (Acanthophis) dengan tiga taring berbisa. Ular mutan ini berpotensi menjadi salah satu ular paling berbahaya di dunia. Taring tambahan ini meningkatkan jumlah racun yang dihasilkan, menjadikannya jauh lebih mematikan dibandingkan dengan ular death adder pada umumnya. Ular death adder sendiri sudah dikenal sebagai salah satu spesies ular berbisa yang paling mematikan, dan penemuan ini membuka wawasan baru tentang potensi bahaya yang lebih besar dari ular berbisa yang belum pernah tercatat sebelumnya.
Karakteristik Ular Death Adder dan Kecepatan Gigitan
Ular death adder (Acanthophis) adalah kelompok ular berbisa yang tersebar di seluruh Australia dan Papua Nugini. Mereka dikenal dengan kecepatan serangan yang luar biasa, yang menjadikannya salah satu predator paling mematikan di dunia. Dalam waktu kurang dari 0,15 detik, ular ini dapat menggigit dan menyuntikkan racun melalui taring mereka, suatu kemampuan yang hampir tak tertandingi oleh ular lain. Racun yang dihasilkan oleh ular death adder mengandung neurotoksin yang bekerja dengan sangat cepat untuk melumpuhkan mangsanya. Neurotoksin ini menyerang sistem saraf pusat, menyebabkan kelumpuhan otot yang pada akhirnya dapat mengarah pada kegagalan pernapasan dan kematian, jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Sebelum ditemukannya antivenom yang efektif, sekitar 50% gigitan death adder berujung fatal.
Baca juga: Ular Ternyata Bisa Mendengar Teriakan Manusia
Selain kecepatannya yang luar biasa, ular death adder juga dikenal dengan taktik berburu yang sangat efektif. Mereka menyembunyikan diri di dalam dedaunan atau pasir dan menunggu mangsa mendekat, kemudian melepaskan gigitan mematikan mereka dengan kecepatan luar biasa. Dengan tubuh yang pendek dan kepala yang terendam, ular ini mengandalkan teknik kamuflase yang sangat baik untuk mendekati mangsa tanpa terlihat. Kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan berbagai habitat di Australia dan Papua Nugini menjadikan mereka salah satu ular paling berbahaya dan efisien dalam berburu.
Penemuan Taring Ketiga dan Dampaknya
Billy Collett, manajer taman satwa di Australian Reptile Park, menjelaskan bahwa ular death adder ini telah berada dalam program pengumpulan racun taman tersebut selama sekitar tujuh tahun. Namun, taring ketiga baru ditemukan belakangan ini. “Saya kira taring ketiga itu akan hilang seiring waktu, tetapi satu tahun kemudian, taring tersebut masih ada!” kata Collett dalam sebuah pernyataan. Taring ketiga ular ini terletak di sisi kiri mulutnya, berdekatan dengan salah satu taring normalnya, dan juga memproduksi racun. Dengan tiga taring, ular ini menghasilkan racun kira-kira dua kali lipat lebih banyak dibandingkan ular death adder yang hanya memiliki dua taring.

Ular dengan tiga taring ini pertama kali ditemukan ketika diperah untuk diambil racunnya, sebuah proses yang dilakukan secara hati-hati di Australian Reptile Park untuk menghasilkan antivenom yang digunakan untuk menangani gigitan ular berbisa lainnya. Ketika taring ketiga ditemukan, para peneliti sangat terkejut karena mereka tidak pernah melihat mutasi seperti ini sebelumnya pada spesies Acanthophis. Taring tambahan ini kemungkinan besar merupakan hasil dari mutasi genetik yang sangat langka, yang berpotensi meningkatkan keefektifan ular dalam berburu mangsa. Keberadaan taring ketiga ini tidak hanya meningkatkan jumlah racun yang dihasilkan, tetapi juga memperbesar potensi bahaya dari gigitan ular ini, yang bisa jadi membuatnya menjadi yang paling mematikan di dunia.
Baca juga: Tidak Ada Ular yang Hidup di Alam Liar di Negara-Negara Ini. Inilah Sebabnya
Peningkatan Produksi Racun Akibat Taring Ketiga
Taring tambahan pada ular death adder ini memberikan hasil yang lebih banyak, dengan “produksi yang sangat besar” dari ketiga taring tersebut. Racun yang dihasilkan bisa mencapai dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan ular death adder bertaring dua. Dengan setiap gigitan, lebih banyak neurotoksin yang dilepaskan, yang dapat memperburuk dampak racun pada mangsa, menyebabkan kelumpuhan yang lebih cepat dan potensi kematian yang lebih tinggi. Racun yang lebih banyak juga berarti bahwa ular ini lebih efektif dalam berburu, karena bisa melumpuhkan mangsa lebih cepat dan lebih efisien, bahkan dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan.

Peningkatan jumlah racun ini juga mempengaruhi cara antivenom dikembangkan. Sebelumnya, death adder dengan dua taring menjadi fokus utama dalam produksi antivenom. Namun, dengan penemuan ular bertaring tiga ini, tantangan baru muncul dalam upaya pengembangan obat penawar yang lebih efektif. Para ilmuwan kini perlu mengevaluasi apakah taring ketiga ini membutuhkan penanganan khusus dalam produksi antivenom untuk mengatasi racun yang lebih besar ini.
Proses Mutasi Genetik yang Mungkin Terjadi pada Ular Bertaring Tiga
Penyebab pasti mengapa ular ini memiliki tiga taring alih-alih dua masih belum diketahui. Namun, hal ini kemungkinan berhubungan dengan proses penggantian taring alami pada ular. Seperti pada gigi manusia, ular death adder memiliki taring cadangan yang tumbuh di belakang taring yang aktif. Ketika taring utama hilang atau rusak, taring baru akan tumbuh menggantikannya. Proses ini memastikan bahwa ular memiliki taring yang tajam dan fungsional untuk menyuntikkan racun. Biasanya, ular berbisa akan mengganti taring mereka setiap beberapa bulan sekali untuk memastikan efektivitas berburu mereka.

Namun, dalam kasus ular ini, taring ketiga tumbuh secara permanen dan bertahan meskipun taring lainnya tetap berfungsi normal. Proses ini mungkin disebabkan oleh mutasi genetik langka yang mempengaruhi cara tubuh ular menghasilkan dan mengganti taringnya. Peneliti masih belum dapat memverifikasi penyebab pasti dari mutasi ini karena keterbatasan fasilitas penelitian di taman reptil tersebut. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa ular death adder ini memiliki kemampuan biologis yang sangat unik dan berpotensi berbahaya.
Implikasi Penemuan Taring Ketiga pada Penelitian Herpetologi
Penemuan ini menambah daftar kejadian langka yang menarik perhatian para ahli herpetologi dan pencinta satwa liar di seluruh dunia. Meskipun ada beberapa ular bertaring tiga yang ditemukan di Australia, penemuan ular death adder bertaring tiga ini adalah yang pertama kalinya tercatat di Australian Reptile Park, yang telah beroperasi selama 20 tahun dan memerah racun dari ratusan ribu ular. Temuan ini menjadi penting karena dapat membuka pintu bagi penelitian lebih lanjut mengenai adaptasi ular berbisa dan dampaknya terhadap ekosistem serta upaya konservasi.
Para peneliti percaya bahwa mutasi ini dapat memberikan wawasan baru tentang bagaimana ular berkembang biak dan beradaptasi untuk bertahan hidup. Penemuan ular death adder bertaring tiga ini juga membuka peluang bagi para ilmuwan untuk mengkaji lebih dalam tentang evolusi spesies ular berbisa dan bagaimana mutasi genetik dapat meningkatkan kemampuan berburu dan mempertahankan kehidupan.
Penemuan ular death adder dengan tiga taring ini tidak hanya memberikan wawasan baru mengenai adaptasi ular berbisa, tetapi juga meningkatkan kesadaran akan betapa berbahayanya spesies ini. Dengan jumlah racun yang lebih besar, ular ini bisa jadi salah satu yang paling mematikan di dunia. Para peneliti masih perlu mempelajari lebih lanjut untuk memahami lebih dalam tentang mutasi genetik yang menyebabkan taring ketiga ini muncul dan apa dampaknya terhadap racun serta pola berburu ular berbisa di alam liar.