Nipah yang Mulai Menghilang di Lahan Basah Sumatera Selatan

2 months ago 58
  • Nipah [Nypa fruticans] merupakan salah satu tanaman yang hidup di sekitar hutan mangrove yang selama ratusan tahun memberikan manfaat bagi masyarakat yang hidup di lahan basah Sungai Musi, Sumatera Selatan.
  • Nipah dimanfaatkan sejumlah masyarakat di Sumatera Selatan sebagai sumber ekonomi dan pangan. Seperti dijadikan anyaman atap, tikar, keranjang, piring makan, sapu lidi, serta gula dan minuman.
  • Sejalan perubahaan lahan basah Sungai Musi, hutan nipah terus berkurang di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan.
  • Pengetahuan mengenai manfaat nipah, bukan hanya dimiliki masyarakat lahan basah Sungai Musi, juga hampir semua masyarakat pesisir di Indonesia atau Asia Tenggara. Warisan dari bangsa Austronesia.

Nipah [Nypa fruticans], merupakan jenis tanaman yang tumbuh di hutan mangrove, yang selama ratusan tahun memberikan manfaat bagi masyarakat yang hidup di lahan basah Sungai Musi, Sumatera Selatan. Selain sebagai penahan intrusi air laut, penyaring air laut, pelindung tebing sungai dari erosi, juga sebagai sumber pangan dan papan.

Besarnya peranan nipah, tentunya turut membangun peradaban masyarakat di Sumatera Selatan, dari masa Kedatuan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, hingga saat ini.

Rita Widagdo, maestro seni patung Indonesia dan mantan pendidik di Institut Teknologi Bandung [ITB], memahami pentingnya peranan nipah tersebut. Patung Parameswara di kompleks olahraga dan perkantoran Jakabaring, Palembang, menggunakan simbol daun nipah yang dianyam.

Patung yang dibuat saat penyelenggaraan PON 2004 di Palembang itu, menggambarkan sosok karakter sosok Parameswara, tokoh penting dalam sejarah Melayu di Nusantara.

Sebagai sumber ekonomi, daun nipah dianyam menjadi atap rumah atau kajang, tikar, piring makanan, ketupat, tas keranjang, sapu lidi, dan lainnya. Sementara air nira dari tandan bunga buahnya dijadikan gula nira, cuka, dan tuak. Buahnya pun dikonsumsi sebagai kolang-kaling.

Pucuk daun nipah digunakan untuk membungkus tembakau atau rokok yang disebut “rokok pucuk”.

Baca: Peran Hebat Perempuan di Lahan Basah Sungai Musi

Pohon nipah tersisa yang tumbuh di tepi kanal transmigran di Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Di masa lalu, sebelum adanya genteng dan seng, sebagian besar rumah di wilayah lahan basah Sungai Musi menggunakan atap nipah. Bahkan, perahu yang digunakan masyarakat untuk berdagang yang melakukan perjalanan jauh menggunakan atap nipah. Perahu ini disebut “perahu kajang”.

“Tidak ada yang tidak bermanfaat dari nipah. Bahkan dapat dijadikan obat, seperti buahnya untuk menurunkan panas dalam,” kata Syarif [56], warga Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, beberapa waktu lalu.

Syarif merupakan warga pencari daun nipah di Sungsang, Kabupaten Banyuasin. Daun nipah itu dikumpulkan dan dijual ke perajin daun nipah, baik di Sungsang, Tanjung Lago, hingga di Palembang. Satu ikat daun nipah dihargai lima ribu Rupiah.

“Ini gawe [pekerjaan] sampingan, saya juga nelayan di sungai,” katanya.

Di Sungsang dan Tanjung Lago, nipah dibuat menjadi atap, caping, tikar, sapu lidi, keranjang, dan pembungkus rokok tembakau.

Sedangkan perajin daun nipah di Palembang, tepatnya di Kampung 3-4 Ulu, mengolahnya menjadi rokok pucuk. Sementara lidinya, dijadikan anyaman piring untuk makan, anyaman keranjang, tempat tahu, hiasan dinding, dan lainnya. Hasil kerajinan ini dijual ke sejumlah pasar tradisional di Palembang, seperti Pasar Jakabaring.

Harga jual kerajinan tersebut kisaran Rp4.000-Rp10.000 per buah. Misalnya, piring untuk makan dijual seharga Rp4.000 per buah, sementara anyaman keranjang seharga Rp10 ribu per buah.

Baca: Mangrove yang Dekat dengan Kehidupan Masyarakat Sungsang

Tergerusnya hutan nipah di Sungsang, Banyuasin, Sumatera Selatan, akibat alih fungsi lahan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Nipah yang Tersisa

Meskipun masyarakat masih membutuhkan nipah, tapi keberadaan hutan nipah di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan terus berkurang. Tahun 2020, hutan nipah di Sungsang tercatat luasnya mencapai 400 hektar.

Namun, berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia pada September 2024 lalu, banyak hutan nipah di Sungsang yang dibuka untuk dijadikan perkebunan sawit dan pertambakan ikan.

“Dulu, semua hutan di Sungsang dipenuhi nipah. Tapi terus berkurang, dibuka untuk kampung, jalan, kebun sawit, juga tambak ikan,” kata Syarif.

“Kalau ini terus berkurang, besar kemungkinan kami tidak dapat lagi mencari daun nipah. Kami tidak dapat mencegah mereka membuka atau merusak hutan nipah, sebab lahannya bukan milik kami. Kami hanya pencari daun nipah,” ujarnya.

Kondisi yang sama dirasakan di wilayah Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Air Sugihan, dan Tulung Selapan di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI]. Perubahan lahan basah Sungai Musi, turut berdampak pada keberadaan nipah di wilayah pesisir timur Sumatera Selatan.

Sulit diketahui pasti, luasan nipah yang masih bertahan atau yang rusak, dikarenakan tidak ditemukan data menyeluruh mengenai hutan nipah di Sumatera Selatan. Dikutip dari artikel “Nipa (Nypa fruticans) sap as a potential feedstock for ethanol production” yang dimuat sciencedirect.com, luasan hutan nipah di Indonesia mencapai 700 ribu hektar.

Baca: LIPI : Jejak Peradaban Nusantara Ternyata Terkait Erat dengan Mangrove

Hutan nipah di Sungsang, Banyuasin, Sumatera Selatan, yang dibuka untuk perkebunan. Foto: drone Ariadi Damara/Mongabay Indonesia

Bangsa Austronesia

Pengetahuan mengenai manfaat tanaman nipah, bukan hanya dimiliki masyarakat lahan basah Sungai Musi, juga hampir semua masyarakat pesisir di Indonesia atau Asia Tenggara.

Ini dibuktikan banyaknya penamaan nipah di Indonesia dan Asia Tenggara, seperti bobo atau boho [Menado, Ternate dan Tidore], buyuk [Jawa dan Bali], boboro [Halmahera], palean, palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga, parena [Seram, Ambon dan sekitarnya]. Sementara di Filipina disebut losa dan di Singapura disebut attap.

Pengetahuan masyarakat pesisir di Indonesia terhadap nipah, diperkirakan merupakan warisan dari bangsa Austronesia, leluhur bangsa Indonesia.

Ary Prihardyanto Keim, etnobiologi dari BRIN, empat tahun lalu dalam sebuah diskusi, menggambarkan keberadaan mangrove adalah bagian penting dari peradaban bangsa Austronesia.

Pengetahuan bangsa Austronesia atas beragam tanaman mangrove [termasuk juga nipah], membuat bangsa Austronesia mampu menjelajah banyak wilayah. Membentang dari Pulau Madagaskar [Afrika Barat] hingga Pulau Paskah [Samudera Pasifik di bagian timur], termasuk Jepang di utara, dan Selandia Baru di selatan.

Beragam tanaman mangrove itu dipahami sebagai sumber pangan, obat-obatan, dan papan seperti dijadikan bahan pembuatan kapal dan rumah.

Saat ini, nipah bukan hanya sebagai sumber pangan dan ekonomi. Nipah juga dijadikan bahan bakar nabati, yakni etanol. Misalnya di Malaysia, sekitar 11.000 liter etanol dihasilkan dari satu hectar tanaman nipah setiap tahunnya. Angka ini jauh lebih unggul dibandingkan sawit sekitar 5.000 liter per hektar per tahun.

Ketangguhan Mangrove Menjaga Pesisir Bumi

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|