- Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sudah mengidentifikasi lahan yang akan digunakan dalam proyek 20 juta hektar hutan cadangan pangan, energi, dan air. Jumlahnya bahkan lebih banyak, mencapai 20,6 juta hektar. Transparansinya pun menimbulkan tanda tanya.
- Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan (Menhut), dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Kemenhut, 27 Februari, menyebut pihaknya melakukan analisis spasial yang melibatkan tumpang susun 9 peta tematik. Meliputi kawasan hutan, elevasi lahan, daya dukung, daya tampung, serta peta sawit nasional.
- Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menyatakan, deforestasi akan terjadi karena seluruh lahan proyek berada dalam kawasan hutan. Tetap rakus lahan walau menggunakan agroforestri. “Padahal, Indonesia sangat membutuhkan hutan untuk membangun sistem pangan dan energi nasional yang berdaulat, yang didukung sumber daya hutan yang berkelanjutan.”
- Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN, meyakini, kemungkinan adanya wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal yang masuk wilayah yang direncanakan dalam proyek tersebut. Namun, pihaknya belum mengkaji lebih lanjut, karena Kemenhut sendiri belum membuka datanya ke publik.
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sudah mengidentifikasi kawasan hutan dalam proyek 20 juta hektar hutan cadangan pangan, energi, dan air. Jumlahnya, lebih banyak, mencapai 20,6 juta hektar. Transparansi prosesnya pun menimbulkan tanda tanya.
Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan (Menhut), dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Kemenhut, 27 Februari, menyebut program ini berlandaskan Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Serta Permen LHK Nomor 7/2021.
Regulasi itu memungkikan penggunaan kawasan hutan untuk pertanian tertentu, tanpa membuka kawasan baru atau menyebabkan deforestasi. Sebaliknya, program ini justru mendukung reforestasi atau reboisasi.
Kemenhut menganalisis spasial yang melibatkan tumpang susun sembilan peta tematik meliputi kawasan hutan, elevasi lahan, daya dukung, daya tampung, serta peta sawit nasional.
Analisis menghasilkan tiga tipe kawasan yang dapat dimanfaatkan. Pertama, kawasan hutan yang mencakup semak belukar, rawa pertanian lahan kering atau campuran, serta sawah dengan ketinggi di bawah 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), dan bukan kawasan gambut. Luas 10,75 juta hektar.
Kedua, kawasan hutan terdiri dari perkebunan non-sawit, bukan kawasan gambut. Luas 1,09 juta hektar. Ketiga, kawasan hutan sekunder dengan kerapatan rendah, ketinggian kurang dari 1.000 mdpl, bukan kawasan gambut. Luas 8,82 juta hektar. Hingga total luas 20,6 juta hektar.
Menurut Raja, kawasan hutan ini terbagi jadi dua kategori utama, hutan lindung (HL) 975.000 hektar dan kawasan hutan produksi (HP) 19,6 juta hektar.
“Jika diperlukan, data tersebut akan ditampilkan melalui platform yang memungkinkan untuk memasukkan nama provinsi atau kabupaten, hingga data spasial yang lebih terperinci bisa diakses,” katanya.
Kemenhut, katanya, telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Kementerian Pertanian, 14 Februari 2025. Tujuannya, meningkatkan sinergi antara keduanya dalam mendukung program pangan.
Nota kesepahaman ini akan ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama operasional antara Ditjen Perhutanan Sosial dan Ditjen Perkebunan. Harapannya, memperkuat bisa implementasi program-program ini.
Deforestasi terencana
Ambisi pemerintah ini masih tidak mendengarkan masukan dan kritik masyarakat sipil. Padahal, jelas terlihat ada deforestasi terencana dari program ini.
Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menyatakan, deforestasi akan terjadi karena seluruh lahan proyek berada dalam kawasan hutan. Terlebih, penetapan kawasan di balik meja, top-down, tak menutup kemungkinan salah identifikasi.
“Padahal, Indonesia sangat membutuhkan hutan untuk membangun sistem pangan dan energi nasional yang berdaulat, yang didukung sumber daya hutan yang berkelanjutan,” katanya kepada Mongabay.
Proyek ini, katanya, bukan mengembalikan atau memaksimalkan fungsi hutan. Sebaliknya, menjadi jalan korporasi besar meraup keuntungan tanpa mengeluarkan modal besar.

Memilih korporasi sebagai agen utama untuk program ini merupakan kebijakan keliru. Pasalnya, korporasi hanya mencari keuntungan semata. Meski mengusung agroforestri, korporasi yang masuk dalam program ini hanya ingin memanfaatkan kayu hutan alam gratis.
Menebang kayu hutan alam jadi cara korporasi balik modal setelah izin operasi hingga konflik sosial yang tinggi. Mereka tidak perlu repot menanam kembali kayu-kayu itu.
Padahal, hutan Indonesia makin menyusut. Data Auriga Nusantara, deforestasi 2024 mencapai 261.575 hektar, meningkat 4.191 hektar dari tahun sebelumnya. Sebagian besar hutan alam hilang pada 2024 merupakan habitat spesies langka dan dilindungi di Indonesia.
Sebagian besar terjadi di hutan lindung dan hutan produksi yang terbebani izin, untuk korporasi, maupun program pemerintah seperti proyek strategis nasional (PSN). Sebanyak 97% lenyapnya hutan 2024 itu merupakan deforestasi terencana.
Rawan singkirkan masyarakat adat dan petani
Lokasi proyek yang berada dalam kawasan hutan berisiko menggerus masyarakat adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, sekitar 28 juta hektar wilayah adat tumpang tindih dengan hutan negara.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN, meyakini, kemungkinan ada wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal yang masuk wilayah dalam proyek itu. AMAN belum mengkaji lebih lanjut, karena Kemenhut belum membuka data ke publik.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat 32,6 juta hektar wilayah adat yang sudah teregistrasi. Namun, data per Maret 2025 menunjukkan baru sekitar 5,3 juta hektar wilayah adat pemerintah daerah tetapkan, serta baru 322.000 hektar penetapan hutan adat.
Angka ini menunjukkan proses pengakuan dan perlindungan wilayah adat lambat. Rukka bilang, sudah lebih 26 tahun masyarakat adat terjebak ketidakpastian hak atas wilayah adat mereka, yang sampai sekarang kerap sebagai hutan negara.
Proyek ambisius ini, katanya, akan memperpanjang konflik agraria. Data AMAN, hingga Maret 2025, terdapat 110 kasus, dengan sektor konflik tertinggi berasal dari perkebunan skala besar, lalu pertambangan, infrastruktur dan energi dalam PSN.
Selain itu, perampasan wilayah adat juga terus meningkat. Mencapai 2,8 juta hektar tahun 2024. Prediksinya, wilayah adat yang berkonflik akan meluas dengan proyek ini. Terlebih pemerintah saat ini menggunakan pendekatan militerisme dalam setiap proyek.
“Proyek ini akan memperkuat militerisme di Indonesia, karena proyek dijalankan oleh korporasi dengan menggunakan pendekatan militer.”
Menurut Anggi, program pemerintah ini kerap mengabaikan keterlibatan masyarakat, melanggar prinsip padiatapa (FPIC). Proyek seperti ini bakal gagal.
“Jika orientasi bukan untuk kepentingan rakyat, maka proyek juga akan gagal. Seharusnya, pemerintah belajar dari pengalaman dan kegagalan sebelumnya.”
Mufida, peneliti FIAN Indonesia, menilai proyek ini tidak sepenuhnya untuk kedaulatan pangan. melainkan, memfasilitasi korporasi dalam akumulasi kapital secara primitif. Meminggirkan petani yang seharusnya jadi produsen pangan.
Sederhananya, proyek seluas 20,6 juta hektar ini merupakan proses perampasan aset yang menjadi basis produksi rakyat, termasuk hutan sebagai sumber pangan. Orientasinya hanya untuk meraup keuntungan besar bagi korporasi, bukan kesejahteraan petani, apalagi kepentingan kedaulatan pangan.
Proyek ini, pun hanya mobilisasi tenaga kerja. Memaksa petani yang sebelumnya memproduksi pangan sendiri, masuk ke pasar tenaga kerja.
Contoh, di Humbang Hasundutan dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara, menjebak petani terlibat dalam pertanian kontrak food estate dengan mekanisme perburuhan dan relasi timpang. Ia melibatkan korporasi PISAgro yang terdiri dari Bayer CropScience, Indofood, McKinsey & Company, Nestlé, Sinar Mas, Syngenta, dan Unilever.
“Petani tidak diberikan salinan butir-butir isi kontrak, bahkan buruh tani food estate didikte melalui pemberian pinjaman input pertanian dari perusahaan,” kata Mufida.
Selain itu, pola kontrak menjadikan petani sebagai konsumen tetap produsen pupuk dan pestisida.
Dia bilang, tidak menutup kemungkinan skema serupa untuk rencana hutan untuk pangan, energi, dan air ini.

Menurut dia, dalil agroforestri proyek ini sebenarnya patah oleh beberapa kasus food estate. Misal, di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah gunakan skema hutan adat dan hutan kemasyarakatan, bahkan sebagian wilayah berada dalam hutan lindung.
Food estate ini merupakan cetak sawah. Padahal, sekitar 30% warga desa masih bergantung pada hutan untuk mencari pangan, seperti umbi-umbian, buah liar, dan ikan sungai. Proyek ini berdampak negatif pada ketersediaan pangan warga, gagal total selama dua tahun berturut-turut.
Model agroforestri dan perhutanan sosial, katanya, bukan solusi masalah akses terhadap sumber daya, produksi pangan, dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya. Perhutanan sosial, hanya trik untuk menunjukkan negara memberi akses hutan pada masyarakat.
“Padahal, dalam aspek partisipasi, kontrol, dan pembagian manfaat, masyarakat ditempatkan secara semu. Mereka tetap berada dalam posisi tidak berdaya dan tidak berdaulat atas haknya terhadap sumber daya, khusus sumber daya hutan.”
Seharusnya, pemerintah memfasilitasi petani kecil dengan memberikan akses lahan luas, dan membantu produsen pangan ini meningkatkan produktivitas di lahan yang sudah ada. Bukan membuka lahan lagi, dan memicu masalah serius.
Strategi ini, harus bareng dengan reforma agraria untuk merombak alokasi penguasaan lahan yang selama ini timpang. Ini akan mendorong perubahan tingkat sejahtera yang lebih merata dan berkeadilan, serta mendobrak ketimpangan ekonomi ekstrem dalam jangka panjang.
Kalau jalan bersama reforma agraria akan membawa pada cita-cita kedaulatan pangan. “Mulai dari kedaulatan produsen pangannya.”
Tanpa langkah-langkah itu, petani hanya akan terus tergusur, kehilangan lahan, dan menjadi buruh tani.
“Tanpa itu, hak-hak petani akan tercerabut, dan mereka akan kehilangan peran sebagai produsen pangan. Tidak menutup kemungkinan, ini akan terjadi dalam pelaksanaan proyek ini.”

*****
Koalisi Minta DPD Kawal Proyek 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi