Belajar Peduli Lingkungan dari Masjid Energi Surya di Yogyakarta

2 days ago 9
  •  Masjid Al-Muharram berupaya menerapkan masjid ‘hijau,’ salah satunya lewat penggunaan energi surya atap. PLTS yang beroperasi di masjid ini, menghasilkan lebih 4.800 Watt. Kebutuhannya, tidak sampai 3.000 Watt tiap hari, paling tinggi saat momen bulan puasa ini sekitar 2.900 Watt.
  • Ustad Ananto Isworo, menyadari sumber listrik yang sebelumnya menghidupkan lampu di Masjid Al-Muharram berasal dari batubara. Sedangkan tambang batubara di banyak tempat menghancurkan hutan, menggusur wilayah adat, hingga menyebabkan bencana. “Banyak surat di Al-Quran meminta umat muslim untuk menjaga lingkungan hidup,” katanya.
  • Geliat menumbuhkan masjid ramah energi terjadi di Yogyakarta. Selain Masjid Al-Muharram, semangat sama juga terjadi di masjid Universitas Aisyiyah (Unisa). Desain masjid bahkan menggunakan prinsip ramah energi.
  • Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyebut, tempat ibadah seperti masjid, gereja, atau lainnya punya peran strategis untuk terus mendorong penggunaan energi terbarukan. “Saya melihat inisiatif itu sudah terlihat, tapi perlu ditingkatkan lagi dengan skala lebih besar, terutama dari organisasi yang memayungi kelompok ini seperti NU atau Muhammadiyah.”

Jam di Masjid Al-Muharram, Pedukuhan Brajan, Desa Tamantirto, Bantul, Yogyakarta, menunjukkan pukul 17.31 WIB. Meskipun demikian, penerangan tambahan tidak perlu karena barisan ventilasi yang mengelilingi bangunan masjid jadi pintu masuk  optimal bagi cahaya matahari yang nyaris tenggelam.

Lampu baru nyala seiring tanda buka puasa berbunyi dan matahari seutuhnya lenyap di barat. “Menjaga lingkungan tetap lestari bagian dari ketakwaan seperti disampaikan dalam Surat Al-A’raf ayat 56,” kata Ustad Ananto Isworo, Ketua Takmir, menutup tausiyahnya.

Tak sekadar bahan tausiyah, dia mempraktikkan pesan surat itu dalam mengembangkan Masjid Al-Muharram sejak 2013 hingga sekarang.

Pria lulusan Fakultas Dakwah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini punya tujuh program ramah lingkungan untuk masjid ini. Hingga 2023, enam program sudah berjalan yaitu menjaga pohon sekitar masjid, mengelola sampah, memanen air hujan, memakai piranti listrik ramah energi, desain masjid ramah difabel, hingga inklusif terhadap kelompok marjinal.

Sementara program penggunaan energi terbarukan untuk pemenuhan listrik baru terwujud akhir 2023. “Lewat infaq ribuan orang dari berbagai daerah dalam program sedekah energi,” kata  Ananto.

Puluhan juta terkumpul dari sedekah energi itu. Kemudian mereka belanjakan panel surya, inverter, baterai, dan piranti lain untuk menunjang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Kini, seluruh kebutuhan listrik Masjid Al-Muharram lewat energi terbarukan.

PLTS yang beroperasi di masjid ini, katanya, menghasilkan lebih 4.800 Watt. “Kebutuhan listrik kami tidak sampai 3.000 Watt tiap hari, paling tinggi saat momen bulan puasa ini sekitar 2.900 Watt,” kata pria yang mendapat julukan Crazy Ustad ini.

Suasana buka puasa di Masjid Al-Muharram yang diikuti puluhan jamaahnya. Saat Ramadan masjid ini lebih ramai dari bulan biasanya, kebutuhan listrik juga meningkat tapi terpenuhi dengan PLTS. Foto: Triyo Handoko / Mongabay Indonesia

Dosa ekologis 

Ananto menyadari sumber listrik yang sebelumnya menghidupkan lampu di Masjid Al-Muharram berasal dari batubara. Sedangkan tambang batubara di banyak tempat menghancurkan hutan, menggusur wilayah adat, hingga menyebabkan bencana.

Hal ini tidak sejalan dengan pesan Surat Al-A’raf. “Tidak hanya dalam surat itu di surat lain di Al-Quran juga banyak meminta umat muslim untuk menjaga lingkungan hidup,” katanya.

Mengabaikan pesan jaga lingkungan dalam Al-Quran, katanya, berarti dosa, karena menunjukkan sikap yang tak bertakwa. Keyakinan itu membuatnya mendakwahkan sekaligus mempraktikkan ibadah ramah lingkungan.

Menurut dia, dosa ekologis dari merusak lingkungan sama berbahaya dengan dosa lain. “Tema dakwah ini memang jarang dibawakan, kadang saya sering mendapat respon yang mengabaikan bahayanya dosa ekologis ini, tapi terus saya lakukan pelan-pelan sekaligus dipraktikan.”

Pedukuhan Brajan kena bencana beberapa tahun silam, terutama kekeringan saat kemarau dan banjir saat penghujan. Akibatnya, warga terganggu, terutama saat beribadah di Masjid Al-Muharram. Kesulitan wudhu saat kekeringan, sedangkan kalau penghujan tempat ibadah itu tergenang air tinggi.

Baginya, bencana itu tidak lepas dari makin padatnya kawasan di sekitar masjid. “Dulu, di sini rindang banyak pohon, jadi kalau hujan air terserap baik saat kemarau cadangan air tanah juga mencukupi.”

Inisiasi masjid ramah lingkungan mulai pada 2013. Jamaah mereka minta menjaga pohon tersisa, bahkan menanam lebih banyak pohon. Pohon-pohon ini, katanya, selain mengantisipasi banjir dan kekeringan, juga untuk memastikan oksigen cukup supaya menambah kenyamanan ibadah.

Tak hanya itu, jamaah juga membuat sumur resapan. “Seluruh jamaah kami sudah bikin sumur resapan ini, tiap rumah juga minimal ada satu pohon. Hasilnya,  sekarang tidak ada kekeringan dan banjir lagi.” 

Sampah juga sempat menjadi masalah. Bau menyengat kerap tercium di sekitar masjid. Lalu munculah sedekah sampah yang dilakukan takmir Masjid Al-Muharram yang kini masih terus berjalan dengan hasil ekonomi yang menambah pemasukan.

Ananto menyebut,  seluruh upaya itu bagian dari menghindari dosa ekologis sekaligus praktik ibadah langsung. “Jamaah masjid sekarang punya kesadaran lebih terkait permasalahan lingkungan, termasuk panel surya ini mereka paham itu mengurangi dampak kerusakan lingkungan sehingga saat beribadah di sini jadi lebih khusuk dan nyaman.”

Pangkas pengeluaran

Masjid Al-Muharram menggunakan delapan panel surya atas atap. Ujung kabel dari panel-panel surya itu tersambung ke dua inverter dan baterai. Selain untuk kebutuhan masjid, PLTS ini juga buat operasional PAUD dan penerangan jalan.

Sejak pakai PLTS, Masjid Al-Muharram menghemat biaya pengeluaran listrik hingga 90%. Sebelumnya, bayar Rp400.000 per bulan, kini hanya Rp40.000. 

Saat Ramadan, pengeluaran listrik bahkan bisa sampai Rp600.000, kini hanya sekitar Rp50.000. 

“Kami masih pasang instalasi PLN untuk jaga-jaga saja. Terutama saat musim penghujan begini kadang listrik yang dihasilkan kurang maksimal,” kata Ananto.

Menurut dia, wilayah mereka kerap mati listrik. Membuat kegiatan banyak masjid terhenti tetapi tidak berlaku di Masjid Al-Muharram.

“Takmir masjid lain sampai bingung, pernah saat pengajian akbar semua wilayah mati listrik tapi kami tetap jalan karena panel surya ini,” katanya.

Masjid tidak pernah kekurangan daya sekalipun banyak pakai piranti listrik. Termasuk, saat menggunakan pengeras suara berkapasitas listrik tinggi saat pengajian akbar dengan ribuan jamaah.

Puluhan lampu yang terpasang di masjid pun sudah menggunakan teknologi ramah energi. “Sekarang, mulai banyak tertarik dengan program-program ramah energi kami, harapannya bisa ditiru karena upaya menjaga lingkungan ini strategis dilakukan masjid dengan jamaahnya.”

Ustad Ananto Isworo saat menunjukan boks kontroler PLTS di Masjid Al-Muharram yang dapat mendeteksi kapasitas listrik yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan listrik. Foto: Triyo Handoko / Mongabay Indonesia

Tumbuhkan tren

Geliat menumbuhkan masjid ramah energi terjadi di Yogyakarta. Selain Masjid Al-Muharram, semangat sama juga terjadi di masjid Universitas Aisyiyah (Unisa). Desain masjid bahkan menggunakan prinsip ramah energi.

Masjid Walidah Dahlan yang luasnya 11.200 meter persegi ini menggunakan kaca peredam panas untuk meminimalisasi penggunaan pendingin ruangan. Ventilasinya juga didesain untuk memaksimalkan sirkulasi udara yang ditopang puluhan pohon di tamannya.

Piranti kelistrikan masjid dengan tujuh lantai ini ramah energi, dari lift, lampu, hingga pendingin ruangan di convention hall. Bahkan ada sistem daur ulang air wudhu untuk dimanfaatkan sebagai penyiram tanaman.

Masjid ini juga rencana pakai panel surya. “Tapi belum direalisasikan, masih dalam proses,” kata Mufdlilah, Penanggungjawab Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Unisa.

Wakil Rektor III Unisa itu menyebut, konsep ramah energi sebagai respons atas kerusakan lingkungan. Desain itu juga bagian dari dakwah ke jamaah untuk hemat energi.

Perempuan pertama yang menyandang profesor kebidanan di Indonesia ini menyebut, Masjid Walidah Dahlan jadi lebih hemat pengeluaran listrik. “Kami juga mendorong kelompok perempuan banyak mengambil peran dalam mengatasi permasalahn lingkungan ini yang sebagian besar takmirnya juga perempuan.” 

Riset Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan, penghematan karena penggunaan energi terbarukan oleh komunitas di Jawa Tengah rata-rata  di atas 20%.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyebut, risetnya tidak menyasar khusus penggunaan energi terbarukan komunitas keagamaan. “Tetapi tempat ibadah seperti masjid, gereja, atau lainnya punya peran strategis untuk terus mendorong penggunaan energi terbarukan,” katanya.

Menurut dia, perlu mendorong inisiatif kelompok keagamaan dalam penggunaan panel surya. “Saya melihat inisiatif itu sudah terlihat, tapi perlu ditingkatkan lagi dengan skala lebih besar, terutama dari organisasi yang memayungi kelompok ini seperti NU atau Muhammadiyah.”

IESR kerap menemui anggapan penggunaan energi terbarukan rumit dan mahal, setiap kali melakukan pendampingan komunitas. Anggapan itu pun patah setelah mempraktikkan.

“tidak serumit dan semahal yang dibayangkan karena penghematan yang dihasilkan.”

Komunitas keagamaan, katanya, perlu dukungan dalam bentuk pendampingan. “Dari berbagai contoh inisiatif yang muncul kami melihat ini bisa disebarluaskan lagi dengan mandiri, apalagi kemampuan ekonomi komunitas keagamaan ini cukup besar.” 

Panel surya yang terpasang di Masjid Al-Muharaam mendapat sinar matahari optimal agar menghasilkan listrik yang memadai. Foto: Triyo Handoko / Mongabay Indonesia.

*****

Belajar Konservasi dari Masyarakat Adat di Rimbang Baling

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|