- Konflik agraria antara warga Desa Rakawatu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, dengan perusahaan sawit, PT Merbau Jaya Indah Raya (MJIR), tak kunjung usai.
- Walhi Sultra menemukan bukti bahwa penggusuran didasarkan pada transaksi penjualan tanah yang dilakukan oleh mantan kepala desa tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemilik tanah, yang mengindikasikan adanya perampasan tanah.
- Sarde, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Rakawatu, mengatakan, pemerintah tak kunjung selesaikan konflik penggusuran paksa oleh MJIR yang sudah berlangsung belasan tahun.
- Walhi dan petani menyerukan kepada pemerintah, khususnya Bupati, untuk menghentikan penggusuran, menyelidiki transaksi ilegal, memastikan hak atas tanah penduduk, dan mengambil tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Konflik agraria antara warga Desa Rakawatu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, dengan perusahaan sawit, PT Merbau Jaya Indah Raya (MJIR), tak kunjung usai. Lahan pertanian, seperti kebun merica warga pun terus tergerus.
Hari itu, Sutiem, perempuan tani Desa Rakawatu, terlihat murung. Penyebabnya, eskavator perusahaan sawit MJIR menggaruk kebun merica perempuan 58 tahun itu.
“Siapa yang salah, kami tidak tahu. Yang jelas kami rakyat jelata. Tolong berhenti dulu, tolong berhenti dulu!” katanya gemetar, ketakutan.
Dia kehausan, tenaga habis ketika berusaha menghentikan alat berat itu. Terlihat frustasi karena satu persatu tanaman merica berusia puluhan tahun di lahan sekitar satu hektar, warisan mendiang suaminya, tumbang.
Keesokan harinya, alat berat MJIR melanjutkan penggusuran, mengacuhkan teriakan Sutiem dan kawan-kawannya yang sudah tidak punya sumber penghasilan lain dari hasil berkebun.
Sarde, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Rakawatu, mengatakan, pemerintah tak kunjung selesaikan konflik penggusuran paksa oleh MJIR yang sudah berlangsung belasan tahun.
Warga melapor ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), DPRD, hingga kepolisian dan aparat TNI terdekat. Mereka heran, mengapa mantan kepala desa sepihak menjual lahan mereka ke perusahaan tetapi tidak pernah menjalani proses hukum.
“Seolah olah kami pemilik lahan sudah tidak ada hak diatas tanah tersebut,” ujar Sarde.
MJIR sempat berjanji menghentikan alat berat yang beroperasi menggusur lahan warga dalam pertemuan antar pihak di Balai Desa Rakawatu, 17 Maret 2025.
“Kalau ada surat tertulis dari kepala desa sekaligus warga pemilik lahan yang sudah tergusur untuk meminta alat berat berhenti beroperasi sementara waktu,” katanya menirukan permintaan sepihak dari utusan MJIR.
Andi Rahman, Direktur Walhi Sultra, menilai, tindakan perusahaan sebagai bentuk perampasan tanah yang melanggar hak asasi manusia dan prinsip reforma agraria. Masyarakat pun merugi.
“Seharusnya, masyarakat adat dan petani dilindungi dari kehilangan akses terhadap tanah mereka.”
Walhi Sultra mengumpulkan berbagai bukti, mendapati penggusuran MJIR dipicu transaksi penjualan tanah oleh mantan kepala desa, Iskandar Marhab, tahun 2010. Pemilik tanah tidak mengetahui atau sepenuhnya setuju.
Perusahaan membeli lahan seluas 62,5 hektar, termasuk lahan yang digunakan untuk pertanian warga. Menggusur 68 hektar lahan, termasuk kebun lada produktif.
Mongabay coba mengonfirmasi hal ini ke MJIR secara tertulis dan dengan mendatangi alamat kantor di Jalan Jati Raya Nomor 25, Kendari, tetapi alamat tidak bertuan. Pun demikian dengan alamat Jalan Budi Utomo nomor 34, hanya ruko, tidak ada kantor.
Upaya konfirmasi juga coba ke Mursalim dan Sumardin, Humas dan Asisten Manager MJIF, tetapi, tidak ada respons dari keduanya hingga 25 Maret, sekalipun surat sudah kirim melalui aplikasi WhatsApp.
MJIR sejak lama menggusur lahan warga desa di Konawe Selatan. Perusahaan mengantongi hak guna usaha (HGU) yang terbit 2010 berdasarkan Keputusan Bupati Konawe Selatan, Imran, lewat surat keputusan Nomor 1390/2010 dengan tujuan pemberian perpanjangan izin lokasi perkebunan sawit.

Rakawatu habis
Penduduk Desa Rakawatu merupakan transmigran dari Pulau Jawa. Datang tahun 1992, mereka mendapat modal lahan satu hektar dari pemerintah melalui Desa Wuura.
Lahan terdiri dari 0,25 hektar untuk perumahan dan 75 hektar untuk ladang. Sejak dulu mereka membudidayakan merica, kelapa, dan rambutan di lahan itu.
Tahun 1998, Desa Rakawatu pisah dari Desa Wuura. Lahan Sarde dan warga desa lain BPN ukur pada 2002. Sertifikat lahan perumahan keluar 2002-2003, tetapi sertifikat perladangan tidak pernah keluar.
MJIR masuk ke Rakawatu pada 2010. Kepala desa yang menjabat kala itu menjual lahan seluas 62,5 hektar kepada perusahaan tanpa sepengetahuan warga. Ini akar konflik warga dengan MJIR.
Untuk menghentikan persoalan lahan ini, Walhi menyerukan pemerintah menghentikan penggusuran, menyelidiki penjualan tanah, memastikan hak atas tanah penduduk, dan mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang terlibat dalam transaksi ilegal itu.
“Kami minta pemerintah khusus bupati memberhentikan sementara dan pelaku penjualan tanah kami sepihak diproses secara hukum,” ucap Sarde.
Hingga 26 Maret, kiriman video dari warga masih memperlihatkan aktivitas penggusuran. Kalau tidak ada yang bisa membendung aksi ini, maka lahan Rakawatu akan habis.

*****
Pelantikan Prabowo-Gibran, 5 Fakta Konflik Agraria Satu Dekade