“Pembawa Pesan Para Leluhur”, Inilah Jenis Burung yang Dilindungi Adat Iban Sungai Utik

1 month ago 100
  • Bagi warga adat Dayak Iban di Sungai Utik, beberapa jenis burung dianggap sebagai pembawa pesan yang menyampaikan pertanda serta peringatan dari para leluhur, karenanya harus dilindungi secara adat.
  • Demi memastikan kearifan tradisional diwariskan kepada generasi muda, para tetua Dayak Iban mengajarkan berbagai praktik adat di sekolah adat.
  • Kynan Tegar, pemuda adat dan seorang pembuat film muda merekam kearifan adat itu di dalam film dokumenter yang dibuatnya.
  • Pakar burung Panji Gusti Akbar, menyebut komunitas Dayak Iban yang hidup dekat dengan alam telah menawarkan pendekatan holistik untuk konservasi tanah dan hutan.

Bagi orang Dayak Iban, burung adalah pertanda penting alam dan sang pembawa pesan, yang sering disebut sebagai “burung pertanda“. Spesies ini termasuk burung-burung kicau seperti kucica hutan (Copsychus malabarincus), luntur putri (Harpactes duvaucelii), dan luntur diardi (Harpactes diardii).

Meski demikian, kearifan lokal itu semakin jarang ditemukan. Hanya di beberapa lokasi saja hal itu masih dipraktikkan. Salah satunya di komunitas adat Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

“Budaya mendengarkan burung pertanda kini sudah mulai langka, tetapi kami masih menganggap burung sebagai pembawa pesan di Sungai Utik,” kata Hermanus Husin (66) seorang tetua Dayak menjelaskan.

“Untuk melindungi burung-burung ini, kami tahu bahwa kami harus melindungi rumah mereka, yaitu hutan.”

Selama empat dekade, atau sejak tahun 1980-an, Suku Dayak Iban Sungai Utik telah berhasil mempertahankan ribuan lahan hutan dan tanah mereka dari berbagai upaya penebangan liar, perkebunan sawit, dan perusahaan kayu yang ingin masuk.

Atas komitmen pelestarian alam tersebut, mereka mendapat penghargaan Equator Prize dari United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 2019.

Adalah Kynan Tegar (18), generasi muda asal Sungai Utik yang mendokumentasikan kembali perjalanan para tetua untuk melindungi rumah dan warisan mereka dalam film dokumenter terbarunya, Indai Apai Darah (“Darah Ibu dan Ayah”).

Kynan mengatakan bahwa dia terinspirasi oleh hubungan mendalam yang dimiliki para tetua dengan tanah, hutan, dan sungai mereka. Salah satunya tentang melindungi satwa liar, termasuk keberadaan burung-burung di hutan.

Luntur putri (Harpactes duvaucelii). Foto: Panji G. Akbar.
Burung tukik tikus (Sasia abnormis). Foto: Panji G. Akbar.

Melindungi Burung-Burung Hutan Kalimantan lewat Adat

Di antara sekian banyak burung pertanda yang ditemukan di Sungai Utik, elang bondol (Haliastur indus) dan tukik tikus (Sasia abnormis) adalah burung yang diwaspadai orang sebagai pembawa peringatan.  Konon, jika muncul, keberadaan burung-burung itu adalah pertanda ada pesan baik dan buruk.

“Membunuh mereka berarti mendatangkan nasib buruk, jadi warga tidak ada yang memburu burung-burung itu,” kata Husin kepada Mongabay.

Agar burung-burung itu tetap eksis, hutan harus tetap dijaga dan utuh. Sungai Utik memiliki kawasan hutan alam yang membentang seluas 9.450 hektar, -atau hampir seukuran kota Pontianak, Ibukota Kalimantan Barat, yang sekitar 6.000 hektarnya dicadangkan sebagai kawasan lindung oleh masyarakat.

Hutan Adat Sungai Utik sendiri mendapat pengakuan dari Negara sejak tahun 2019.

“Setiap tahun, -berdasarkan hukum adat, kami menentukan berapa banyak pohon yang boleh di tebang. Untuk saat ini, tiga pohon untuk setiap rumah setiap tahun, dan itu berlaku sama untuk semua orang di komunitas,” kata Husin. “Orang dapat didenda jika melanggar hukum adat.”

Para tetua bertugas memastikan agar semua orang mematuhi hukum adat. Ini juga menjadi contoh bagi generasi muda untuk mengikuti jejak mereka dalam melindungi alam.

Suku Dayak Iban di Sungai Utik. Foto: Indai Apai Darah, Kynan Tegar/Wayfinders Circle.

“Jika kita mengikuti pola pikir [merusak hutan], maka menebang setiap pohon atas nama pembangunan, [di masa depan] kita tidak ada cara untuk hidup,” kata Bandi atau yang sering dipanggil Apay Janggut, pemimpin spiritual rumah panjang Sungai Utik, dalam film dokumenter tersebut.

“Itu sama saja dengan merenggut nyawa kita secara perlahan.” Bandi sendiri memperoleh penghargaan internasional Gulbenkian Prize for Humanity pada tahun 2023 lalu.

Di Sungai Utik telah ada sekolah adat, tempat para tetua adat mewariskan pengetahuan dan tradisi tentang berbagai tanaman obat dan burung pertanda bagi generasi berikut.

Meski demikian, banyak pula anak-anak muda yang bercita-cita pergi dan merantau, salah satu alasannya untuk menempuh pendidikan tinggi di kota. Itu pula yang ingin disampaikan oleh Kynan di dalam filmnya.

“Generasi ayah saya malu sebagai orang asli. [Saat itu] mereka harus menutupi tato atau mereka bisa kehilangan pekerjaannya,” kata Kynan.

Tato tradisional bagi pria Dayak Iban memiliki banyak makna berbeda dan menandakan perjalanan yang telah mereka lalui dalam hidup mereka.

“Diskriminasi ini membuat mereka tidak punya kebanggaan pada identitas aslinya. Film ini adalah salah satu cara kami untuk kembali terhubung dengan akar budaya kami.”

Rumah panjang adat di Sungai Utik. Para tetua masyarakat memastikan semua orang mematuhi hukum, karena ini menjadi contoh bagi generasi muda untuk mengikuti jejak mereka. Foto: Indai Apai Darah, Kynan Tegar/Wayfinders Circle.

Konservasi Hutan Holistik Lewat Adat

Panji Gusti Akbar, seorang ahli burung, menyebut kearifan dan pengetahuan para tetua Dayak Iban dalam menjaga tanah dan hutan adalah kunci efektif untuk konservasi burung-burung kicau.

Di banyak daerah di Indonesia, burung-burung kicau sedang menghadapi risiko hilangnya habitat. Itulah sebabnya upaya konservasi hutan seperti yang dilakukan di Sungai Utik, penting untuk melestarikan banyak spesies, kata Panji.

Burung tukik tikus dan kucica hutan, adalah contohnya. Tukik tikus, salah satu burung pelatuk terkecil di dunia, dan kucica adalah termasuk burung-burung kicau yang terancam karena besarnya permintaan pasar karena bulu dan suaranya yang unik.

Perdagangan burung kicau ilegal, termasuk “burung-burung pertanda”, telah meningkat dengan amat drastis. Hutan-hutan habitat alami burung-burung ini, sekarang menjadi sunyi dari kicauan.

Para peneliti sendiri memperkirakan ada sekitar 70 juta burung dipelihara di lebih kurang 12 juta rumah di Jawa saja. “Mungkin ada lebih banyak burung yang di kurung daripada yang ada di alam liar,” kata Panji.

Bagi Panji, kearifan budaya dan strategi lokal amat penting bagi model konservasi yang menyeluruh (holistik).

“Kita harus mengakui bahwa kearifan dan pengetahuan lokal penting untuk memastikan inisiatif konservasi dapat berjalan secara efektif.”

Dia pun menyebut sudah bukan zamannya, orang luar datang ke suatu komunitas untuk mendikte spesies apa yang harus dilestarikan. “Sebagai seorang konservasionis, saya pikir kita harus mengubah pola pikir bahwa kita lebih tahu daripada masyarakat lokal,” tutupnya.

Berita ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 15 November 2024. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

Burung-Burung Kicau yang Masih Terus Diburu dan Diperdagangkan Ilegal

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|