Refleksi Pengakuan Masyarakat Adat di Papua

4 days ago 13
Situs Buletin Live Petang Akurat Terpercaya

Era Presiden Joko Widodo menunjukkan kecenderungan mengejar pertumbuhan ekonomi dalam kebijakan pembangunannya. Fenomena politik ini menempatkan Jokowi pada orientasi pembangunan baru yang disebut ilmuan politik Australia, Eve Warbutron (2016), the new developmentalism. Ia punya tiga mantra utama pembangunan: deregulasi, infrastruktur dan debirokratisasi.

Relevansi pengakuan masyarakat hukum adat (masyarakat adat) di Indonesia dan Papua cukup penting karena di Nawacita Jokowi ada program tanah objek reforma agraria (tora) dan perhutanan sosial dengan hutan adat dan program pembangunan masuk dalam salah satu skemanya.

Pengakuan masyarakat adat sebagai kebijakan yang terabaikan berangkat dari analisis dari studi hukum kritis yang banyak para sarjana kemukanan.  Balakrishnan Rajagopal, 2004; Brabazon, 2017; Helena Alviar Garcia, 2021 menyatakan, hukum sesungguhnya tercipta sengaja untuk menyediakan pengaturan yang mengakomodasi berbagai kelompok kepentingan melalui Undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan menteri.

Hukum di sini mempunyai fungsi distribusi dan redistribusi kepentingan, namun saat bersamaan juga medan perjuangan yang terkontestasikan. Wajah hukum yang demikian itu seringkali tertutupi oleh dominasi pendekatan doktrinal yang mengklaim hukum harus netral dari anasir kepentingan sosial, politik dan ekonomi, juga keharusan berlaku umum.

Hasilnya, kondisi itu mampu menciptakan arena kontestasi tak setara, karena pilihan kebijakan rezim akan mengikuti watak pembangunannya. Dengan kata lain,  rational choice bagi rezim adalah mengutamakan kebijakan pembangunan yang teknokratis tercantum di RPJMN.

Pada keadaan ini,  kerapkali hukum menjadi instrumen pengingkaran atas hak asasi karena kebijakan yang tersedia untuk masyarakat mudah sekali terabaikan. Alasan pengabaian ini juga pengaruh dari kecenderungan kebijakan yang mengadopsi rasionalitas pasar seperti efisiensi. Lalu,  untung dan rugi sangat ekonomistik (cost and benefit analysis) dari pemerintah dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan termasuk pengakuan masyarakat adat.

Asumsinya,  beberapa proyek pembangunan akan lebih prioritas berdasarkan pertimbangan lebih efektif mengejar pertumbuhan ekonomi. Ibarat di meja perjamuan banyak pilihan jajanan, ada kue jagung (PSN food & energy estate, izin kehutanan, perkebunan sawit, dan lain-lain) lebih jadi pilihan daripada kue sagu (pengakuan hutan adat).

Data tutupan hutan Indonesia hingga 2023, terluas ada di Papua sekitar 34,13 juta hektar. Dalam 34 juta hektar tutupan hutan itu jadi rumah bagi masyarakat adat dan keanekaragaman hayati di Papua.

Kini dan ke depan,  keamanan tutupan hutan ini terancam karena pengakuan wilayah adat dan hutan adat di Papua “berjalan di tempat” dalam 10 tahun rezim Jokowi.

Mengapa pengabaian atas pengakuan masyarakat adat itu bisa terjadi?

Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

Masalahnya?

Situasi itu,  juga andil dari endapan banyak masalah, salah satunya putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-IX/2012 (MK 35). Signifikasi MK 35 sebenarnya hanya mengoreksi kesalahan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menegaraisasi hutan adat sejak Orde Baru ke dalam kawasan yang disebut ‘hutan negara’ (Eko Cahyono, Tempo, 8/2022). Ungkapan lain, hutan adat bukan bagian hutan negara yang sebelumnya diatur Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan.

Penegasan lain, segala produk hukum pengakuan bersyarat yang menafsir Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tetap dibenarkan sepanjang menjamin kepastian dan keadilan hukum. Serta,  sepanjang UU khusus tentang masyarakat adat belum ada (MK 35, hlm.183-184).

Dengan kata lain, argumen MK ini menguatkan pengakuan bersyarat menjadi mekanisme utama pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan menjadi acuan umum kebijakan pengakuan masyarakat adat secara nasional. Hal itu berkonsekuensi pada pembentukan Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di level pemerintah daerah.

Masalahnya, tak semua pemerintah daerah mengerti kewajiban konstitusional dan memahami peran krusialnya dalam pemenuhan hak asasi manusia, meskipun sudah ada Permendagri No.52/2014.

Selain itu,  beban anggaran pembentukan perda tidak murah. Tak sedikit masyarakat adat terpaksa harus berjuang tak henti mendorong pemerintah daerah melakukan kewajibannya.

Di samping masalah normatif dan implikasinya, lembaga pemerintah juga mengalami kendala institusional. Satu contoh,  institusi pemerintah yang mempunyai tugas besar dalam pengurusan hutan adat adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—saat ini, terpisah jadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.

Dalam beberapa laporan media, keterangan pejabat kementerian, mengatakan,  tugasnya terhambat karena sedikitnya anggaran tahunan untuk verifikasi teknis hutan adat, sementara pengusulan hutan adat jauh lebih banyak (Mongabay, 27/3/2022 dan Mongabay, 21/3/2024).

Kementerian Kehutanan mempunyai tugas penting dalam pengadministrasian area ke dalam kawasan hutan negara, termasuk mengeluarkan hutan adat yang masuk dalam hutan negara sebagai konsekuensi PMK 35. Mahalnya biaya verifikasi teknis hutan adat ini tak pernah terpikirkan dalam PMK35 dan jadi hambatan dalam proses panjang pengakuan pasca ada Perda Masyarakat Adat.

Imbasnya, peran pembiayaan ini jadi beban pihak luar. Terlebih dalam kebijakan perhutanan sosial, khusus hutan adat, tak menjadi prioritas pembangunan Presiden Jokowi.

Dalam kondisi demikian itu, sebenarnya juga tak bisa disebut ketiadaan norma hukum (vacum of norm) pengakuan terhadap masyarakat adat yang hukum negara sediakan. Sebab, pasca PMK No.35 pemerintah pun menerbitkan aturan tingkat kementerian yang sangat sektoral dan terkadang saling kontradiksi. Misal, aturan KLHK, Kementerian Dalam Negeri,  Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan KemenATR/BPN.

Harus diakui, percikan masalah itu merupakan satu dampak mendasar dari kelemahan MK35. Yance Arizona dalam Rethinking Adat Strategies; the Politics of State Recognition of Customary Land Rights in Indonesia, 2022, menyebut,  efek negatif dari ‘pengakuan bersyarat’ yang MK kuatkan turut menghambat (impede) pemenuhan (fulfillment) hak-hak masyarakat adat.

Dalam putusannya, hakim Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan klausul pengakuan bersyarat sebagai persoalan mendasar yang menghambat (impede) pemenuhan hak asasi manusia.

Suarakan penyelamatan hutan Papua. Masyarakat adat di Papua, bergantung hidup[ dari hutan. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

Pengakuan masyarakat adat di Papua terabaikan

Data KLHK Oktober 2024 menunjukkan,  capaian perhutanan sosial hanya 8 juta hektar. Angka ini akumulasi secara nasional sejak perhutanan sosial masuk dalam program prioritas RPJMN 2015-2019 dan 2020-2024 dengan total target 12,7 juta hektar. Di Papua, perhutanan sosial terutama skema hutan adat bisa disebut “diabaikan.” Contoh di Papua Barat, data KLHK menyebut,  hanya ada satu penetapan hutan adat Marga Ogoney, Teluk Bintuni pada 2022.

Sedang persetujuan skema hutan desa sampai  99 SK Persetujuan Hutan Desa/Kampung dan 8 SK Persetujuan Hutan Kemasyarakatan. Data BRWA hingga Agustus 2024, keseluruhan penetapan hutan adat di Papua baru 39.912 hektar dari potensi luasan 12.466.866 hektar.

Secara institusional, situasi ini terbaca karena tidak ada inovasi atau pembaharuan kebijakan hukum nasional yang bisa mengubah kondisi kebekuan ini.

Pertama, kebijakan hukum yang tersedia merupakan tindakan minimum pemerintah belum mengarah pada realisasi progresif penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi. Kebijakan itu seperti PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan Permendagri No.52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Juga, Permen LHK No.9/2021 tentang Perhutanan Sosial. Kondisi itu terjadi karena praktik pengakuan bersyarat masih lebih utama daripada tujuan keadilan substansialnya.

Kedua, konsekuensi dari praktik itu membutuhkan dukungan anggaran besar, faktanya tidak mampu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat penuhi, sekalipun lembaga pendamping.

Sesungguhnya, perkara ini melampaui kendala institusional. Pembentuk kebijakan terkesan tidak menyediakan perubahan terhadap kerumitan pengakuan masyarakat hukum adat.

Alih-alih mengupayakan itu, Pemerintah Jokowi justru membentuk UU Cipta Kerja sebagai regulasi penarik investasi di sektor bisnis keruk sumber daya alam.

Di Papua,  aturan wilayah adat menggunakan hukum adat masing-masing suku, marga/keret. Saat bersamaan, wilayah adat juga masuk dalam kawasan hutan—UU Otsus Papua berada pada posisi lemah.

Dengan begitu, kemudahan regulasi otomatis mendorong bisnis keruk sumber daya alam masuk dalam wilayah adat untuk tujuan perkebunan, industri kehutanan, pangan-energi dan tambang.

Kondisi ini, tak lepas dari perubahan UU Kehutanan oleh UU Cipta Kerja yang membuka ruang komodifikasi baru dalam kawasan hutan melalui banyak perubahan, salah satunya,  Pasal 19 UU Kehutanan yang mempermudah perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan tak lagi memerlukan persetujuan DPR.

Perubahan itu berkonsekuensi pada politik hukum kehutanan di bawah UU seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang bertugas secara teknis menyediakan kebutuhan percepatan pengambilalihan tanah di kawasan hutan untuk industri keruk sumber daya alam.

Satu contoh konsekuensi logis dari itu adalah korporasi pertanian melalui food estate yang memberi ruang operasi dalam kawasan hutan untuk ketahanan pangan. Itulah mengapa, UU Cipta Kerja jo UU Kehutanan untuk mempermudah investasi kehutanan menambah kerumitan masalah dan berisiko menghambat pengakuan masyarakat adat di Papua.

Regulasi pembangunan UU Cipta Kerja ini akan membentuk iklim pengakuan masyarakat adat yang dikontestasikan dengan kepentingan bisnis keruk sumber daya alam. Meskipun tak bisa dipungkiri UU Cipta Kerja juga menyediakan peluang kebijakan untuk pengakuan.

Fakta kontestasi itu terjadi. Penggunaan instrumen hukum proyek strategis nasional (PSN) dalam UU Cipta Kerja untuk proyek food estate lebih utama daripada untuk mempercepat perhutanan sosial. Walaupun secara normatif desain regulasi memungkinkan percepatan perhutanan sosial (pengakuan masyarakat adat).

Misal,  Perpres No.56/2018 tentang daftar PSN pernah memuat perhutanan sosial tetapi setelah itu tidak lagi. Contoh lain,  Pasal 16 (4) PP No.23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan terkait percepatan pengukuhan kawasan hutan dapat menteri lakukan untuk keperluan hutan adat dan reforma agraria.

Dengan membaca kebijakan hukum yang mendistribusikan kepentingan dan dominasi pendekatan hukum yang mengadopsi rasionalitas pasar, pilihan kebijakan rezim mengarah pada bisnis keruk sumber daya alam mendapat pembenaran.

Pemberian perizinan keruk sumber daya alam di Papua seperti perkebunan sawit, industri kehutanan dan food estate dalam 10 tahun ini jauh lebih mudah dibandingkan mengurus pengakuan masyarakat adat.

Jumlah penetapan hutan adat 39.912 hektar, bahkan kalah dengan satu HGU perkebunan sawit di Kabupaten Sorong. Di Merauke, lebih tragis, 4 juta hektar daratan, 2 juta untuk PSN pangan dan energi, tak ada satupun pengakuan hutan adat orang Malind.

Padahal,  secara normatif pemerintah bisa menggunakan instrumen hukum PSN untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat dan penetapan hutan adat dengan memasukkan dalam daftar program strategis nasional.

Sayangnya, dengan corak pembangunan dan hukum penopangnya, hal itu mustahil, karena tidak menguntungkan bagi misi pertumbuhan ekonomi yang tergantung bisnis keruk sumber daya alam.

Fakta bahwa UU Cipta Kerja tidak merevisi Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan dan tambah lagi dengan PP No.23/2021, makin menguatkan praktik pengabaian pengakuan ini.

Eksistensi Pasal 67 UU Kehutanan ini menjadi ‘legal shield’ bagi institusi sektoral untuk berlindung di balik hukum formal yakni tetap mempertahankan kawasan hutan negara, kendatipun pengukuhan kawasan hutan masih bermasalah. Sedang bagi masyarakat bak tembok yang menghalangi hak-haknya.

Pengakuan masyarakat adat model ini bertahan bisa berarti kemenangan negara untuk mempertahankan kontrol atas sumberdaya alam Papua.

Penulis: MA Mahruz, Devisi Riset dan Advokasi Kebijakan, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

*******

Hutan dan Terancamnya Sumber Pangan di Tanah Papua

Artikel yang diterbitkan oleh

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|