Menanti Hak Tenur Masyarakat Pesisir dan Perempuan Nelayan

6 days ago 15
Update Buletin Sore Jitu Terbaik
  • Hari Nelayan Nasional jadi momen untuk merefleksikan hak tenur masyarakat pesisir. Negara disebut harus melindungi hak-hak nelayan kecil dan tradisional, tidak hanya dalam aktivitas penangkapan ikan di laut, tetapi juga menjamin kepastian hak tinggal mereka di pesisir. 
  • Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan, UUD 45 dan Undang-Undang 7 tahun 2016 sebenarnya telah memandatkan negara untuk melindungi nelayan kecil dan tradisional secara optimal. Sayang, mandat itu belum dijalankan sepenuhnya.
  • Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menilai, Hari Nelayan Nasional mesti jadi momentum untuk dorong penguatan hak tenurial masyarakat pesisir. Soalnya, dia khawatir, kebijakan pembangunan akan semakin menggusur ruang hidup mereka.
  • Bagi perempuan nelayan, Hari Nelayan Nasional, adalah momentum untuk menuntut negara untuk mengakui keberadaan mereka. Tanpa pengakuan itu, hidup perempuan nelayan akan semakin rentan seiring pemiskinan masyarakat pesisir hingga ancaman krisis iklim.

Setiap 6 April merupakan Hari Nelayan Nasional. Ia jadi momen untuk merefleksikan penguatan hak tenur masyarakat pesisir dan perempuan nelayan. Negara harus melindungi hak-hak nelayan kecil dan tradisional, tidak hanya dalam aktivitas penangkapan ikan di laut, juga menjamin kepastian hak tinggal mereka di pesisir. 

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai, Hari Nelayan Nasional mesti jadi momentum untuk dorong penguatan hak tenurial masyarakat pesisir. Dia  khawatir, kebijakan pembangunan yang cenderung mengabaikan masyarakat kecil akan makin menggusur ruang hidup mereka.

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sistem tenurial adalah sistem kepemilikan untuk menentukan siapa yang dapat menggunakan sumber daya yang mana, untuk berapa lama dan dalam kondisi apa.

Bagi Susan, sistem itu tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/ 2010, yang menjelaskan hak nelayan tradisional. Antara lain, hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan bersih dan sehat, hak memanfaatkan sumber daya, serta hak mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai kaidah budaya dan kearifan tradisional yang diyakini dan berjalan turun temurun.

“Hak tenur itu masyarakat pesisir punya hak akses, kontrol, jalankan tradisi di darat dan laut. Ini intervensi terhadap konsep reforma agraria yang tidak selesai omongin laut,” katanya kepada Mongabay.

 Pada kenyataan, hak-hak itu  tidak tercermin dalam kebijakan-kebijakan negara. 

Berdasarkan catatan Kiara, terdapat beberapa kebijakan berisiko merampas ruang hidup dan memarjinalkan nelayan antara lain, pertama, liberalisasi pertambangan pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi laut. Kedua, legalisasi perampasan ruang kelola nelayan melalui kebijakan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

Ketiga,  penimbunan laut atau reklamasi, keempat, integrasi penataan ruang yang tidak melibatkan dan mengakomodir ruang kelola nelayan dan masyarakat pesisir. Kelima,  penangkapan ikan terukur. Keenam, legalisasi industri pertambangan nikel dengan dalih hilirisasi. Ketujuh,  proyek strategis nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden Nomor 12/ 2025.

Menurut Susan, situasi masyarakat pesisir makin sulit setelah pemerintah mengesahkan UU Tentara Nasional Indonesia. Mereka khawatir, negara akan lakukan proteksi secara ketat pada area-area PSN, tanpa pedulikan masyarakat yang hidup turun temurun.

“Apalagi dengan UU TNI, potensi konflik tinggi dan tidak berikan keuntungan buat nelayan.” 

Pemerintah, katanya,  seharusnya membalik konsep pembangunan yang selama ini mereka jalankan jadi menjamin hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Bagi negara kepulauan dan bahari, Indonesia mesti jadikan nelayan sebagai pusat pembangunan, bukan bisnis dan industri ekstraktif.

“Selama negara tidak paham, maka berat UU Perlindungan Nelayan dijalankan. Tidak ada kesejahteraan kalau nelayan tidak berdaulat. Karena mereka semakin tergusur dari ruang hidupnya. Hak atas tenur yang mendasar, tidak lagi dimiliki nelayan.”

Hingga kini, nelayan masih menghadapi ketidakpastian hukum dan kebijakan. Nelayan tidak mendapat perlindungan atas perubahan dan dampak krisis iklim yang terjadi, tidak ada kepastian hukum yang menjamin keberlangsungan ruang kelola dan ruang penghidupan nelayan.

Selain itu, negara juga belum memberi pengakuan dan perlindungan yang sebabkan hilangnya kesempatan perempuan nelayan untuk akses berbagai program perlindungan nelayan. Situasi itu makin parah dengan tidak efektifnya UU 7/2016 serta ego sektoral antar kementerian dan lembaga, termasuk sikap pemerintah yang tak kunjung  meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang pekerja penangkapan ikan.

Seorang nelayan tradisional memeriksa alat tangkapnya di muara sungai di Rembang, Jawa Tengah. Foto: Asad Asnawi/Mongabay Indonesia.

Berbagai persoalan

Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)  mengatakan, UU Dasar 1945 dan Undang-Undang 7/2016 sebenarnya telah memandatkan negara  melindungi nelayan kecil dan tradisional secara optimal.

Namun, katanya, belum ada kebijakan jelas untuk selesaikan berbagai persoalan nelayan, mulai dari tahap pra hingga pasca produksi. Pada tahap pra produksi, katanya, nelayan sulit akses bahan bakar minyak untuk melaut. Dalam proses penangkapan ikan, mereka harus berhadapan dengan kapal trawl dan alat tangkap merusak lainnya.

“Pasca melaut, berkaitan dengan infrastruktur, TPI tidak aktif, harga ikan fluktuatif, rantai dingin yang jadi masalah klasik di daerah kepulauan, Indonesia Timur dan sebagainya. Banyak kasus kita dengar nelayan harus buang kembali ikannya yang terlanjur busuk karena tidak punya cold storage,”  katanya, kepada Mongabay, Sabtu (5/4/25).

Di luar aktivitas perikanan, katanya, persoalan  nelayan kecil dan tradisional adalah soal kepastian hak tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat. KNTI mendata, di beberapa wilayah seperti Tarakan hanya 0,97% nelayan yang memiliki sertifikat hak  tanah. Sementara, 99,03% lainnya hidup tanpa kepastian hukum atas tempat tinggal mereka.

Kepastian ruang tinggal nelayan juga terancam dengan berbagai proyek pembangunan di pesisir. Dani contohkan, konflik masyarakat menolak PSN Rempang Eco City, serta rencana reklamasi lewat proyek Water Front Land di Surabaya.

“Setiap waktu, nelayan dihadapkan dengan ancaman baru, apakah berkaitan dengan praktik non perikanan seperti pertambangan, infrastruktur, reklamasi dan sebagainya. Dan dalam banyak hal, itu merugikan nelayan dan meminggirkan mereka,” ujarnya. 

Dia menambahkan, ruang tinggal nelayan juga masih berhadapan dengan masalah kebersihan lingkungan hidup. Survei pendataan keluarga nelayan tradisional 2024,  yang dilakukan Koalisi Masyarakat untuk Air dan Sanitasi Berkeadilan menemukan, bahwa wilayah desa pesisir tidak memiliki infrastruktur saluran air limbah domestik yang memadai, termasuk septictank (tangki limbah).

Mereka mencatat, lebih dari 90% rumah tangga nelayan di Kota Medan, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bangkalan tidak memiliki saluran pembuangan limbah rumah tangga dan saluran pembuangan air kotor. Juga, membuang limbah domestik langsung ke daratan terbuka, saluran drainase, sungai, pantai atau laut.

“Ini masalah menahun dan terus terjadi. Saya harap ada kebijakan progresif untuk atasi hal ini. Pemerintah harus punya energi, kalau tidak kita juga tidak akan punya peluang baru untuk sumber daya keuangan yang dimobilisasi ke sana,” kata Dani.

Aktivitas nelayan perempuan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasikagung Kabupaten Rembang, Jateng. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Tak punya data

Bagi perempuan nelayan, Hari Nelayan Nasional, adalah momentum untuk menuntut negara mengakui keberadaan mereka. Sebab, tanpa pengakuan itu, hidup perempuan nelayan akan semakin rentan seiring pemiskinan masyarakat pesisir hingga ancaman krisis iklim.

Masnuah, Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) mengatakan, hingga saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum punya data perempuan nelayan. Dampaknya, perempuan nelayan tidak tersentuh perlindungan dan bantuan di sektor itu. Padahal, mereka juga lakukan aktivitas perikanan seperti nelayan laki-laki.

“Sangat diskriminatif. Risikonya juga lebih tinggi yang dialami perempuan. Bahkan, ketika alami cuaca ekstrem, suami tidak bisa melaut, yang cari uang itu perempuan. Kebijakan ini sangat rugikan perempuan kalau tidak diakui.” 

Persoalan makin pelik ketika sebagian wilayah pesisir terdampak krisis iklim yang timbulkan beban berlapis bagi perempuan nelayan, dampak kesehatan mental, reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga tidak adanya pertolongan ketika hamil.

Berdasarkan laporan Komnas Perempuan yang terbit 2024, masalah ekonomi di Desa Timbulsloko, Demak, karena banjir rob berdampak berdampak kekerasan berbasis gender pada perempuan pesisir. Mereka alami penelantaran ekonomi, kekerasan fisik seperti dipukul, dan kekerasan psikis seperti dibentak dan dimarahi suaminya.

Sejumlah nelayan perempuan mengumpulkan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Masnuah,  juga  penulis laporan itu mengatakan, meski terapit situasi sulit, perempuan nelayan punya daya lenting untuk memastikan keberlanjutan hidup keluarga. Selain aktivitas menangkap ikan, mereka juga dirikan atau bergabung dengan koperasi simpan-pinjam.

“Itu sangat berguna. Dengan cara masing-masing perempuan bangun kehidupan sendiri meski tanpa jangkauan perlindungan pemerintah,” katanya. “Tapi kalau ditanya, pasti mau yang seperti dulu, lingkungannya tidak rusak.”

Dia berharap, pemerintah atasi masalah-masalah itu dengan cabut atau hentikan izin-izin industri yang merusak lingkungan, anggarkan fasilitas kesehatan bagi perempuan, pendidikan anak, hingga anggaran untuk pencegahan dan pendampingan kekerasan berbasis gender.

“Masih banyak ‘PR’ pemerintah untuk melakukan pemulihan, mitigasi dan tidak berikan solusi palsu. Pemerintah juga perlu melakukan refleksi, melibatkan masyarakat, perempuan dalam pengambilan keputusan. Sehingga, usulan perempuan lebih didengar,” kata Masnuah. 

********

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|