Tanaman Labu Air dan Koteka, Apa Kaitannya?

2 days ago 8
  • Di beberapa tempat di Indonesia, tanaman labu air biasanya diolah sebagai sayuran untuk dihidangkan dengan kudapan lainnya.
  • Namun, tidak banyak orang yang tahu bahwa labu air juga dapat digunakan sebagai bahan dasar koteka.
  • Proses pembuatan koteka dimulai ketika kulit buah labu air telah kering, mengeras, dan warnanya telah berubah menjadi cokelat muda.
  • Koteka tidak hanya sekadar penutup kelamin. Bentuk dan ukuran koteka dapat bervariasi antar suku dan memiliki makna sosial tertentu. Bagi Suku Dani, koteka yang melengkung ke depan dikenakan oleh pemimpin, sedangkan yang melengkung ke samping dipakai oleh panglima perang atau tokoh adat. Masyarakat biasa, umumnya mengenakan koteka yang lurus.

Apakah kaitannya tanaman labu air dengan koteka?

Di beberapa tempat di Indonesia, labu air biasanya diolah sebagai sayuran untuk dihidangkan dengan kudapan lainnya.

Sementara bagi masyarakat di Papua, koteka merupakan pakaian tradisional unik dan ikonik. Koteka dikenakan oleh penduduk asli laki-laki di beberapa kelompok etnis di dataran tinggi pegunungan Papua, seperti Suku Dani, Lani, Yali, Mee, Amungme, Kamoro, Damal, atau suku Moni. Fungsi utama koteka adalah untuk menutupi kemaluan yang bahan dasarnya terbuat dari tumbuhan labu air (Lagenaria siceraria).

Hari Suroto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, menjelaskan labu air adalah bahan utama yang digunakan untuk membuat koteka dan telah dibudidayakan di Papua sejak zaman prasejarah. Suku Dani di Lembah Baliem percaya bahwa bibit labu air untuk koteka pertama kali dibawa oleh seekor anjing.

“Masyarakat Dani menyebut koteka sebagai holim dan bahannya dari labu air yang dibudidayakan. Awalnya, labu air hanya dikonsumsi, namun dalam perkembangannya  dijadikan sebagai koteka, dan menjadi identitas suku-suku di pegunungan tengah Papua,” ungkap Hari, dikutip dari Tempo.co 

Proses pembuatan koteka dimulai sejak labu masih tumbuh. Untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan, labu dibentuk dengan cara mengikatkan batu di bagian bawahnya agar tumbuh lurus ke atas, atau menggunakan tali untuk menciptakan bentuk melengkung.

Setelah beberapa bulan, labu yang matang dipanen dan dikeringkan, biasanya di atas perapian. Proses pengeringan ini bisa memakan waktu hingga satu atau dua minggu. Setelah kering, bagian dalam labu dikeluarkan hingga hanya tersisa kulit keras.

“Paling lama adalah proses pengeringan,” ujar Ibiroma Wamla, pegiat kebudayaan Papua, dikutip dari Historia.id.

Menurut dia, koteka tidak hanya sekadar penutup tubuh. Bentuk dan ukuran yang bervariasi antarsuku, memiliki makna sosial tertentu. Misalnya, di kalangan Suku Dani, bentuk horim (sebutan lain untuk koteka) dapat menunjukkan status sosial pemakainya. Koteka yang melengkung ke depan (kolo) dikenakan oleh pemimpin, sedangkan yang melengkung ke samping (haliag) dipakai panglima perang atau tokoh adat. Masyarakat biasa, umumnya mengenakan koteka yang lurus.

Meskipun sempat ada upaya untuk mengganti koteka dengan pakaian moderen, terutama pada masa lalu, namun koteka tetap digunakan dalam upacara adat, festival, dan acara budaya, sebagai simbol identitas yang vital. Dalam konteks simbolis ini, koteka merupakan penanda warisan budaya dan identitas. Selain itu, koteka juga diproduksi dan dijual sebagai suvenir untuk wisatawan.

Hingga saat ini, beberapa suku yang ada di pegunungan Papua masih menggunakan koteka, dan ada juga yang menjadikan koteka sebagai simbol perlawanan budaya terhadap pengaruh luar, marginalisasi, dan protes-protes lainnya.

Baca: Spesies Baru: Lobster Hias Papua yang Berkelana ke Eropa

Labu air merupakan tanaman yang banyak dijual di pasar dan dibudidayakan masyarakat. Foto: Wikimedia Commons/Kusabana Photo Studio/CC BY-SA 3.0

Labu air sebagai tanaman budidaya

Penelitian berjudul Identifikasi Tanaman Labu Air (Lagenaria Siceraria) sebagai Bahan Pembuatan Koteka serta Manfaat Ekonomi Bagi Masyarakat di Kampung Duagikotu, Distrik Paniai Utara, Kabupaten Paniai yang dilakukan oleh J.M. Ramandey, mengungkap fakta menarik seputar tradisi pembuatan koteka.

Penelitian tersebut menyoroti bagaimana masyarakat Duagikotu, telah lama membudidayakan labu air sebagai bahan utama pembuatan koteka. Ramandey dalam penelitiannya menjelaskan, proses pembuatan koteka dimulai ketika kulit buah labu air telah kering dan mengeras, serta warnanya telah berubah menjadi cokelat muda.

“Proses selanjutnya adalah mengeluarkan isi buah dengan menggunakan kayu berukuran lebih kecil dari diameter buah, yang dilakukan perlahan agar buah labu tidak pecah,” tulisanya.

Baca juga: Gua Mololo, Resin dan Jejak Migrasi Manusia Purba di Papua

Labu air merupakan tanaman yang banyak dikembangkan masyarakat dan dimanfaatkan sebagai sayur. Foto: Wikimedia Commons/Judgefloro/CC BY-SA 4.0

Penelitian ini menemukan bahwa fungsi koteka di masyarakat Paniai telah bergeser, yaitu pembuatannya tidak hanya untuk keperluan konsumsi (dipakai) tetapi juga untuk aksesoris. Meski dalam konteks kehidupan moderen, koteka dapat dimaknai sebagai pakaian untuk menutup aurat bagi pria, sebanding dengan “paute” bagi wanita dalam bahasa Suku Mee.

Menurutnya, koteka juga memiliki fungsi praktis lain yaitu sebagai wadah menyimpan air minum yang disebut “Uwo awi bobe”, serta sebagai “Wadii komaa pauu” dalam Bahasa Mee, yang berarti alat produksi atau tempat menyimpan barang-barang berharga seperti uang kertas.

Tradisi penggunaan koteka sendiri berakar kuat dalam adat dan budaya Suku Mee. Ramandey mencatat bahwa menurut adat, pembuatan koteka terkait norma dan perilaku Suku Mee, yang menekankan nilai “Ipa dimi mana” atau cinta kasih.

Sementara itu, budidaya labu air terkait dengan filosofi “Oo diho, owaa dihoo, bugi diho dou”, yang berarti menjaga, memelihara, dan merawat manusia, kebun dan rumah.

Penelitian Ramandey menyimpulkan bahwa masyarakat Kampung Duagikotu telah membudidayakan labu air sebagai bahan dasar koteka, dan juga dimanfaatkan sebagai bahan hiasan rumah. Temuan ini membuka peluang untuk mengembangkan kerajinan koteka sebagai potensi ekonomi kreatif, sekaligus melestarikan warisan budaya Papua yang unik ini.

Namun, tantangan pelestarian tradisi ini adalah rendahnya minat anak muda di Kampung Duagikotu untuk membuat kerajinan koteka sebagai budaya masyarakat Suku Mee. Selain itu, pembuatan koteka sekarang didorong sebagai upaya mempertahankan budaya Suku Mee, bukan sebagai sumber penghasilan keluarga.

Mujair, Ikan yang Bukan Asli Indonesia

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|