- Selama ratusan tahun, masyarakat Melayu di Sumatera, termasuk di Sumatera Selatan, melakukan tradisi membakar lahan. Tapi tradisi ini diatur secara adat, sehingga tidak menimbulkan bencana.
- Larangan membakar lahan oleh pemerintah yang ditujukan kepada setiap individu, termasuk masyarakat di pedesaan, justru membuat adanya aksi sembunyi-sembunyi membakar lahan, sehingga sering menimbulkan kebakaran yang luas.
- Sejak 1997, hampir setiap tahun terjadi kebakaran lahan yang luas di Sumatera Selatan, meskipun berbagai upaya dilakukan, termasuk menerapkan aturan yang melarang setiap orang atau badan hukum melakukan pembakaran lahan.
- Pemerintah diharapkan melakukan pendekatan co-governance yang mengintegrasikan lembaga adat ke dalam sistem pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.
Membakar lahan untuk pertanian, seperti menanam padi talang (hume) adalah tradisi masyarakat Melayu di Pulau Sumatera. Tradisi ini berlangsung selama ratusan tahun. Benarkah tradisi ini menjadi penyebab bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang saat ini terjadi hampir setiap tahun?
“Mungkin ya untuk saat ini. Sebab tradisi membakar lahan secara adat tidak lagi dipergunakan. Warga membakar lahan sudah sembunyi-sembunyi, dan tidak lagi membakar lahan dengan aturan adat, sebab membakar lahan dilarang pemerintah. Pelakunya dapat ditangkap dan dihukum,” kata Cik Maning (65), warga Desa Tempirai, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, awal April 2025.
“Membakar lahan secara adat tidak dapat sembunyi. Harus dilakukan siang hari dan harus dipantau,” lanjut Cik Maning, yang dikenal sebagai “dukun api” atau pawang api.
Dukun api adalah orang yang bertanggung jawab melaksanakan pembakaran lahan yang digunakan untuk pertanian atau perkebunan. Dukun api mencegah kebakaran meluas atau tidak terkendali.
Dalam melakukan pembakaran, seorang dukun api menjalankannya melalui sebuah ritual, menggunakan sejumlah tumbuhan, buah, air dan mantra, serta melihat kondisi angin.
Dukun api dikenal masyarakat Suku Musi yang tersebar di Kabupaten PALI, Kabupaten Musi Banyuasin, dan Kabupaten Musi Rawas. Di Kabupaten PALI, masyarakat Suku Musi tersebar di sekitar Sungai Penukal.
Dijelaskan Cik Maning, sebuah lahan yang dibakar luasnya tidak lebih dari 600 meter persegi. Jika lahan pertanian atau perkebunan mencapai ribuan meter, pembakaran dilakukan bertahap.
Sebelum dibakar, dilakukan ritual dengan membaca doa dan mantra, kemudian menyiramkan air limau (jeruk) di batas lahan yang dibakar. Batas lahan yang akan dibakar ditancapkan potongan kayu yang ditanam terbalik ruasnya.
“Nah, saat dibakar, api tidak meluas, api akan berhenti atau tidak melewati batas yang ditandai dengan siraman air limau,” kata Cik Maning, yang 10 tahun terakhir tidak lagi praktik sebagai dukun api.
Praktik yang dilakukan selama ratusan tahun ini tidak pernah menimbulkan kebakaran lahan yang luas, yang terkadang turut membakar kebun dan hutan.
“Tidak pernah terjadi di Tempirai, saat cara adat itu dilakukan. Tapi setelah cara adat tidak lagi digunakan, dan membakar dilakukan sembunyi-sembunyi karena takut ditangkap dan dihukum, kebakaran luas justru sering terjadi setiap kali musim kemarau,” terangnya.
Cik Maning menyadari, sejak 1997 terjadi kebakaran di Sumatera Selatan yang menimbulkan bencana kabut asap. Tapi di Tempirai atau wilayah lainnya di Penukal, pada awalnya kebakaran yang tidak terkendali tersebut, bukan terjadi di lahan pertanian dan perkebunan milik masyarakat.
“Kebakaran yang luas itu sangat merugikan kami. Tapi, kenapa untuk mencegahnya, kami yang selama ini dapat mengendalikan pembakaran lahan, juga turut dilarang. Akibatnya, justru banyak yang membakar sembunyi-sembunyi, sehingga pembakaran lahan tidak terkendali,” ujarnya.
Baca: Sumatera Selatan Belum Bebas Karhutla, ini Buktinya

Muhammad Husin, warga Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), mengatakan dulu masyarakat memiliki aturan adat saat membakar lahan di rawa (gambut) yang kering untuk dijadikan hume. Pembakaran dilakukan dengan cara dibatasi luasnya, seperti diberi sekat, kemudian dijaga puluhan orang. Gunanya, agar api tidak menyebar dan juga melihat kondisi angin saat mau membakar.
“Seingat saya, cara tersebut tidak pernah terjadi kebakaran yang luas di dusun kami, khususnya di Kecamatan Pampangan. Justru, saat dilarang pemerintah melakukan pembakaran lahan, sering terjadi kebakaran tidak terkendali. Sebab, habis bakar lalu pergi, takut ditangkap,” jelasnya, Minggu (6/4/2025).
Aturan adat membakar lahan di Sumatera Selatan sebenarnya sudah diatur sejak era Kesultanan Palembang. Aturan ini masuk dalam Kitab Simbur Cahaya. Artinya, membakar lahan tetap diperbolehkan tapi dengan tata cara tertentu. Jika membakar lahan kebun tidak terkendali, serta menyebabkan kebun atau rumah milik orang lain terbakar, maka si pembakar harus mengeluarkan ganti rugi yang cukup besar.
Saat ini, orang atau badan hukum dilarang membakar lahan dan hutan. Larangan tersebut tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di Sumatera Selatan, aturan tersebut dikuatkan dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 8 Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Pasal 3 ayat 1 mengenai pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan, disebutkan dalam perda tersebut, “Setiap orang dan atau badan hukum dilarang membakar hutan dan/atau lahan.”
Bagi yang melanggar, mendapat sanksi pidana kurungan paling lama enam bulan dan denda paling banyak sebesar Rp50 juta.
Baca: Lahan Basah di Sumatera Selatan Mengering, Waspada Kebakaran

Sejarah karhutla di Sumatera Selatan
Selama 27 tahun terakhir atau sejak 1997, kebakaran hutan dan lahan yang luas disertai kabut asap hampir terjadi setiap tahun di Sumatera Selatan.
Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, bencana kabut asap yang luas terjadi pada 1997-1998, 2006, 2015, 2019 dan 2023.
Pada periode 2015-2019, Sumatera Selatan merupakan provinsi yang mengalami karhutla terluas di Indonesia, mencapai 1.011.733 hektar. Yakni, seluas 646.298 hektar (2015), 16.226 hektar (2018), dan 336.778 hektar (2019). Sebagian besar kebakaran terjadi di lahan basah, khususnya rawa gambut.
Luasan kebakaran tersebut lebih tinggi dibandingkan Kalimantan Tengah (956.907 hektar), Papua (761.081 hektar), Kalimantan Selatan (443.655 hektar), Kalimantan Barat (329.998 hektar), Riau (250.369 hektar), dan Jambi (182.195 hektar).
Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah karhutla melalui sejumlah program. Dimulai dari proyek South Sumatra Forest Fire Management Project (SSFFMP) yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan dukungan Uni Eropa (2003- 2008), kemudian proyek MRPP (Merang REDD Pilot Project) dan Bioclime-GIZ, hingga berbagai proyek yang dijalankan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), serta KELOLA Sendang [Sembilang-Dangku]. Juga, yang dikerjakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat [LSM] dengan dukungan lembaga donor.
Tapi karhutla tetap terjadi setiap tahun. Pengeboman air, menjadi pemandangan umum setiap musim kemarau datang.
Baca juga: Jejak Kebakaran di Lahan Basah Sungai Musi

Masyarakat sebagai aktor ekologis
Handoyo, peneliti dari Pusat Riset Kependudukan BRIN, yang pernah melakukan penelitian dampak sosial pada masyarakat di wilayah langganan karhutla, menjelaskan praktik membakar lahan oleh masyarakat adat di Sumatera Selatan merupakan bagian dari sistem pengetahuan lokal yang tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial, nilai budaya, dan etika ekologis komunitas.
“Dalam perspektif sosiologi lingkungan, pembakaran lahan secara adat bukanlah bentuk perilaku eksploitatif, melainkan ekspresi dari moral ekonomi dan relasi ekologis yang dijalankan secara kolektif melalui norma, ritus, dan pengawasan sosial yang ketat,” terangnya, Minggu (6/4/2025).
Ketiadaan ruang legal yang jelas bagi praktik ini justru mencerminkan hegemonisasi regulasi formal yang mengabaikan pluralitas hukum dan epistemologi lokal. Meskipun UU No. 32 Tahun 2009 dan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 telah mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan, namun implementasinya masih lemah secara kelembagaan.
Negara cenderung menerapkan logika hukum tunggal (legal centralism), yang mendeligitimasi praktik berbasis komunitas dan mendorong pembakaran dilakukan secara sembunyi-sembunyi, di luar kontrol sosial-komunitas.
“Kondisi ini menunjukkan terjadinya disartikulasi antara negara dan masyarakat lokal. Sistem pengelolaan ekologis yang sebelumnya berbasis kepercayaan, ritus, dan tanggung jawab sosial tergantikan oleh pendekatan represif yang seragam. Akibatnya, kontrol sosial terhadap praktik pembakaran semakin melemah dan risiko kebakaran besar justru meningkat,” ujarnya.
Maka, jelas Handoyo, pendekatan co-governance yang mengintegrasikan lembaga adat ke dalam sistem pengelolaan kebakaran hutan dan lahan menjadi sangat penting. Ini bukan hanya soal rekognisi formal, tetapi juga penguatan kapasitas komunitas sebagai aktor ekologis yang berdaulat.
“Tanpa itu, kita terus mengabaikan potensi lokal dalam membangun ketahanan ekologis dan keadilan lingkungan yang berkelanjutan,” paparnya.
Kemarau Datang, Fokus Kegiatan Jangan Hanya Mengatasi Kebakaran Hutan dan Lahan