Ironi Penguatan Pangan Kala Lahan Petani Terus Tergusur [2]

5 days ago 17
Web Buletin Petang Akurat Terbaru
  • Para petani Desa Iwul, Banten, terancam kehilangan lahan pangan–tempat bertani, berkebun dan area resapan—karena bakal jadi perumahan di tengah pemerintah gencar dengan program penguatan pangan. Ruang-ruang petani sebagai produsen pangan  di Banten malah terganggu.  Ini hanya satu contoh dari banyak kasus supermarket pangan masyarakat adat/lokal maupun petani yang tergusur berubah untuk kepentingan pemodal di berbagai daerah.
  • Data Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menunjukkan, penyusutan luas sawah akibat alih fungsi lahan terus terjadi. Sepanjang 2013-2019, luas lahan baku sawah (LBS) nasional berkurang 287.000 hektar: dari 7,75 juta hektar pada 2013 menjadi 7,46 juta hektar pada 2019. Dari 7,46 juta hektar LBS pada 2019, sentra sawah nasional terkonsentrasi di Jawa (46,5%), Sumatera (23,5%), Sulawesi (13,0%), dan Kalimantan (9,7%).
  • Eko Cahyono,  peneliti agraria dari Sajogyo Institute, menilai, pemerintah salah kaprah dalam paradigma pangan. Semestinya,  pemerintah tidak menganut mazhab atau aliran “ketahanan pangan.”
  • Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun katakan, program ‘ketahanan pangan Prabowo’ bertolak belakang dengan praktik di lapangan. Alih-alih melindungi petani sebagai produsen pangan, pemerintah malah menggusur lahan pertanian. Kalau pemerintah serius dengan program swasembada pangan, mestinya mendorong pertanian-pertanian rakyat agar terkelola secara baik. Bukan sebaliknya, malah menurunkan personel tentara untuk ikut mengurusi food estate.

Para petani Desa Iwul, Banten, terancam kehilangan lahan pangan–tempat bertani, berkebun dan area resapan—karena bakal jadi perumahan di tengah pemerintah gencar dengan program penguatan pangan. Ruang-ruang petani sebagai produsen pangan  di Banten malah terganggu.  Ini hanya satu contoh dari banyak kasus supermarket pangan masyarakat adat/lokal maupun petani yang tergusur berubah untuk kepentingan pemodal di berbagai daerah.

Jarkasih, tokoh masyarakat Iwul mengkritik program ‘ketahanan pangan’ Prabowo. Menurut dia, program yang kerap Prabowo kampanyekan tidak sejalan dengan praktik di lapangan.

Satu bukti, lahan hijau sekitar 143 hektar Desa Iwul, yang selama ini petani garap sebagai perkebunan malah mau beralih menjadi perumahan.

“Makanya kan omong kosong pemerintah itu ketahanan pangan-ketahanan pangan. Lahannya jadi perumahan.”

Prabowo gencar mengkampanyekan ‘ketahanan pangan’. Dia bahkan mencanangkan swasembada pangan dengan mencetak sawah baru (food estate) di luar Jawa hingga 3 juta hektar dalam kurun waktu empat tahun ke depan.

Ketua Umum Partai Gerindra ini menargetkan Indonesia swasembada beras pada 2027, menjadi eksportir beras pada 2028, dan menjadi lumbung pangan dunia pada 2029.

Benni Wijaya, Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun katakan, program ‘ketahanan pangan Prabowo’ bertolak belakang dengan praktik di lapangan. Alih-alih melindungi petani sebagai produsen pangan, pemerintah malah menggusur lahan pertanian.

“Kontradiksi sebenarnya, ketahanan pangan justru menggusur lahan pertanian dan menggusur petaninya juga.”

Mbah Inen berada di lahan garapnya, yang telah dipatok PT Kahuripan Jaya. Foto: Achmad Rizki Muazam/Mongabay Indonesia

Berbagai masukan

Kalau pemerintah serius dengan program swasembada pangan, mestinya mendorong pertanian-pertanian rakyat agar terkelola secara baik. Bukan sebaliknya, malah menurunkan personel tentara untuk ikut mengurusi food estate.

Pada akhirnya, menurut Benni, program ‘food estate dan ketahanan pangan’ era Prabowo hanya menjadi “bancakan” aparat saja. Dia meyakini, kedaulatan pangan tidak akan terwujud melalui food estate dengan pendekatan militeristik.

Jalan satu-satunya menuju kedaulatan pangan, dengan reforma agraria. “Presiden harus menjalankan reforma agraria dulu, bagaimana redistribusi tanah itu berjalan. Tanah-tanah petani yang kepemilikannya di bawah setengah hektar itu ditambah. Ada dukungan pertanian segala macam.”

Eko Cahyono,  peneliti agraria dari Sajogyo Institute, menilai, pemerintah salah kaprah dalam paradigma pangan. Semestinya,  pemerintah tidak menganut mazhab atau aliran “ketahanan pangan.”

Dalam akademis terdapat tiga mazhab teori pangan. Pertama, ketahanan pangan atau food security. “Kalau ketahanan pangan yang penting ada pangannya. Mau dari industri skala besar, mau dari impor, mau dari korporasi, mau dari oligarki, nggak masalah, yang penting ada pangannya,” ujar Eko.

Kedua, kemandirian pangan atau food independen. Teori ini mengutamakan pengelolaan pangan bersumber dari dalam negeri, yang terpenting bukan dari asing atau impor.

Menurut Eko, produsen pangan dalam teori ini kerap dalam kuasa pengusaha besar bercorak oligarki. Teori ini mengabaikan apa yang disebut kapitalisme from below atau kapitalisme dari bawah.

“Jadi, anti asing itu harus dicek juga. Memang kalau yang nggak asing, nggak kalah berutalnya? Wah ngeri juga itu!”

Ketiga, kedaulatan pangan atau food sovereignty. Kata Eko, teori ini memberikan otonomi penuh terhadap petani dalam memproduksi pangan dari hulu sampai hilir.

Data Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) menunjukkan, 65% pangan di Indonesia oleh pertanian keluarga. “Kenapa yang dimanjakan korporasi kalau yang memenuhi pangan nasional itu adalah pertanian keluarga?” ujar Eko.

Dia lantas katakan, food estate sebagai politik ketahanan pangan nasional adalah sesat pikir. Argumen utama pemerintah terhadap food estate, pasti karena dunia mengalami krisis pangan hingga Indonesia perlu lumbung pangan.

“Kalau krisis pangan karena apa? Pernah gak kita periksa? Ternyata akar kekurangan pangan kita itu akibat dari konversi lahan besar-besaran, dari lahan produktif pangan menjadi sawit dan tambang,” ucap Eko.

Warga Desa Iwul menolak alih fungsi lahan hijau. Foto: dok.pribadi/Zaqi Ramdani

Sawah malah tergerus

Data Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menunjukkan, penyusutan luas sawah akibat alih fungsi lahan terus terjadi. Sepanjang 2013-2019, luas lahan baku sawah (LBS) nasional berkurang 287.000 hektar: dari 7,75 juta hektar pada 2013 menjadi 7,46 juta hektar pada 2019.

Dari 7,46 juta hektar LBS pada 2019, sentra sawah nasional terkonsentrasi di Jawa (46,5%), Sumatera (23,5%), Sulawesi (13,0%), dan Kalimantan (9,7%).

Sri Mulyani,  peneliti IDEAS, mengatakan,  lahan pertanian pangan sudah lama menghadapi tekanan alih fungsi lahan yang masif. Lahirnya UU  Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) tidak mampu menurunkan tekanan alih fungsi lahan ini.

“Jawa, yang merupakan lumbung pangan nasional dengan intensitas tenaga kerja yang tinggi, makin terdesak lahan pertaniannya oleh industrialisasi dan urbanisasi,” ujar Sri.

Dari LBS 2019, luas lahan sawah di kawasan aglomerasi Jakarta (Jabodetabek plus Cianjur, Karawang, dan Serang) adalah 374.582 hektar, dengan nyaris seluruhnya terkonsentrasi di enam kabupaten, yaitu Karawang (27,2%), Cianjur (18%), Bekasi (15,4%), Serang (13,2%), Bogor (12,3%), dan Tangerang (10,5 persen%).

Pada 2024, IDEAS memperkirakan luas sawah di kawasan aglomerasi Jakarta (Jabodetabek Raya) tersisa 296.871 hektar. Dengan kata lain, antara 2019 dan 2024,  setidaknya 77.711 hektar sawah hilang di Jabodetabek Raya, setara dengan konversi sawah 4,54% per tahun.

Menurut Sri, dari 77.711 hektar sawah, terjadi di enam kabupaten sentra, yaitu, Bekasi (21.027 hektar), Cianjur (13.809 hektar), Bogor (12.956 hektar), Karawang (8.823 hektar), Serang (8.571 hektar), dan Tangerang (6.824 hektar).

Kehilangan sawah ini, katanya,  membuat pangsa luas sawah terhadap wilayah kawasan aglomerasi turun tajam dari 26,3% pada 2019 jadi hanya 20,8% pada 2024.

“Penurunan intensitas luas sawah paling tajam terjadi di Bekasi, dari 46% pada 2019 tersisa 29,2% pada 2024. Sepanjang 2019-2024, Bekasi kehilangan 21.027 hektar sawah, setara tingkat konversi lahan sawah 8,70% per tahun,” kata Sri.

Menurut dia, keputusan pencetakan sawah baru di luar Jawa tampak sebagai solusi instan yang belum tentu efektif. Karakteristik lahan di luar Jawa sangat berbeda dengan di Jawa yang subur dan memiliki sejarah panjang dalam pertanian pangan.

Membangun ekosistem sawah di lahan baru, katanya,  bukanlah perkara mudah. Selain perlu investasi sangat besar untuk infrastruktur seperti irigasi, waduk, dan jaringan pengairan, menciptakan sawah baru juga memerlukan tenaga kerja dengan budaya pertanian yang sudah terlatih.

“Seharusnya, kebijakan pemerintah lebih mempertahankan lahan sawah yang tersisa di Jawa dan meningkatkan kesejahteraan petani. Jika alih fungsi lahan sawah tidak dihentikan, program cetak sawah baru di luar Jawa hanya akan menjadi upaya tambal sulam yang tidak menyelesaikan akar masalah.”  (Selesai)

Warga Desa Iwul menanam pohon di lahan yang sempat diratakan perusahaan untuk perumahan, Senin (24/3/2025). Foto: dok.pribadi/Zaqi Ramdani.

*******

Protes Penggusuran, Warga Desa Iwul Tanam Pohon [1]

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|