Nasib Masyarakat Adat di Kalteng yang Bertani di Lahan Gambut

17 hours ago 4
  • Gambut yang terbakar dan jadi sawit tidak hanya menunjukkan lemahnya sikap pemerintah terhadap korporasi. Ekosistem dan masyarakat juga tidak kalah rugi. 
  • Sejak larangan berladang dengan metode tebas bakar, masyarakat Dayak di Kecamatan Mantangai kesulitan mencari benih dan mempertahankan tradisi pertanian mereka.
  • Di Mantangai, masyarakat sering dituduhkan sebagai penyebab kebakaran hutan, sementara perusahaan perkebunan besar yang juga berkontribusi terhadap kebakaran, termasuk di lahan gambut, tidak mendapatkan sanksi serupa.
  • Banyak warga kehilangan mata pencaharian akibat larangan berladang, kini Sebagian dari mereka terpaksa menjadi buruh di perkebunan sawit atau merantau untuk bekerja di sektor lain, termasuk pertambangan emas ilegal.

Masih terang dalam ingatan Remie, Masyarakat Adat Mantangai, Kalimantan Tengah, saat rumah berukuran 4X6 meter penuh oleh puluhan karung padi, bertumpuk hingga menyentuh plafon. Tahun 2018,  jadi masa terakhir dia dan keluarga panen padi di ladang.

Setelah. itu, aturan pemerintah membuat mereka sulit. Praktik berladang dengan kearifan lokal yang membakar lahan pemerintah larang.

“Pernah itu sampai hibak (penuh) rumah ini, parak (hampir) seratus karung benih dapatnya,” kenangnya.

Sekarang, jangankan bercocok tanam, mencari benih saja sulit. Kalaupun ada, harga bisa mencapai Rp300.000 per blek (20 liter).

“Kalau ada benihnya, sini! Akan aku tanam lagi, tidak aku takut!” 

Saat ini, hidup Remie dan keluarga makin merana. Tidak ada pilihan selain mencari pendapatan utama di hutan, mengumpulkan kayu galam untuk jual kembali.

Apa yang dialami pria 46 tahun itu merupakan potret dari dampak Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11/2015 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Tak  sedikit masyarakat adat di beberapa desa Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalteng, terpaksa meninggalkan tradisi berladang mereka.

Sanyo, mantir (tetua) adat, kecewa lantaran aktivitas turun-temurun itu sering kena cap biang keladi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di desanya, Mantangai Hulu.

Padahal, dalam praktiknya, petani tradisional hanya mengandalkan dua lahan, termasuk gambut, dengan luas terbatas, diatur sedemikian rupa dalam jangka waktu tertentu. 

Masyarakat juga memanfaatkan bidang tanah itu bergantian. Satu bidang selama tiga musim panen berturut-turut, kemudian pindah ke bidang tanah kedua di tahun keempat. Ketika siklus di ladang bidang tanah kedua selesai, mereka kembali lagi ke ladang pertama.

Orang Dayak, lanjutnya, biasa mengandalkan metode pertanian tradisional, gilir balik, dan tebas-bakar dalam praktik berladang atau ladang berpindah mereka. “Jadi tidak berpindah sembarangan. Kami tidak membakar hutan. Kalau sembarangan, habis sudah hutan Borneo ini,” kata pria 54 tahun itu.

Infografis kegiatan berladang suku Dayak Ngaju yang dihimpun dari berbagai sumber. Di desain oleh Rendy Tisna/ Mongabay Indonesia.

Berpihak pada korporasi

Menurut sang mantir, kebijakan pemerintah itu tidak memberikan solusi terhadap peningkatan hidup masyarakat. Sementara, perkebunan monokultur skala besar masuk secara masif di sekitar desa. 

Dia menduga, perkebunan sawit ini yang turut berkontribusi terhadap karhutla. Bahkan hampir saban tahun, setiap musim kemarau.

“Menurut ulun (saya), nih, selalu masyarakat saja yang ingin ditumbalkan.”

Dia pun mengenang kejadian 2018. Aparat penegak hukum menegur, menggiring, dan menginterogasi warga yang berkeras ingin melakukan aktivitas berladang. Dua tahun berselang, perusahaan sawit melaporkan seorang anak muda desanya ke kantor polisi,

“Delapan saksi ikut dipanggil.” 

Pemuda itu kena tudingan  membuang puntung rokok yang masih menyala, mengakibatkan kebakaran di perkebunan sawit PT Kalimantan Lestari Mandiri (KLM), hingga meluas 5.000 meter persegi. Keluarga meminta tolong Sanyo, dia tidak tinggal diam dan mengurus kasus itu sampai selesai.

Mulanya, mereka berupaya menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, dengan menggelar hukum adat. Agenda dengan mengundang perusahaan duduk bersama, tetapi, upaya itu tak  pernah berhasil. Korporasi selalu mangkir, KLM lebih memilih membawa kasus ke pengadilan.

Buta hukum negara, sang mantir pontang-panting mencari relasi. Kegiatannya makin sibuk, harus menemui beberapa organisasi lingkungan dan pengacara di Ibu Kota Kalteng, Palangkaraya.

Mereka coba lakukan berbagai upaya tetapi  Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kuala Kapuas berkata lain. Si anak muda kena vonis dengan Pasal 188 KUHP, dengan hukuman lima bulan penjara. Dia dianggap lalai, hingga menyebabkan kebakaran.

Warga yang Sanyo bela, beserta istrinya, tetap memilih jadi pekerja di perusahaan yang melaporkan ke polisi. Bedanya, status mereka berubah jadi pegawai dengan kontrak kerja setelah bebas dari penjara.

Meski berat, dia mengatakan, kehidupan kampung makin sulit jadi alasan utama bekerja di perusahaan. Mereka tidak punya pilihan lain.

“Mata pencaharian masyarakat khususnya di Kecamatan Mantangai ini jatuh, jadi mau nggak mau bekerja di perusahaan.” 

Pria yang tiga periode jadi kepala desa itu menyaksikan langsung perubahan yang terjadi di masyarakat. Dalam bidang pekerjaan, warga yang tidak memiliki keahlian selain menanam padi gunung terpaksa jadi buruh perusahaan sawit. Lainnya, memilih merantau ke luar kampung. Mencari nafkah jadi pekerja tambang, menyedot emas ilegal.

“Dalam berladang itu banyak terkandung adat budaya kami disitu. Disamping benih padi punah, ritual adat kami juga hilang, banyak merasa dirugikan. Padahal sejak leluhur kami itu supermarket kami di ladang itu, sayur ikan, semuanya di situ.”

Alpian, Kepala Desa Kelumpang mengatakan, sekitar 70% penduduk dulu merupakan petani tradisional. Banyak yang pindah dari kampung karena tidak lagi bisa berladang tradisional.

Dia menilai, sia-sia warga yang masih ingin menanam padi gunung karena  kondisi lingkungan berubah, perkebunan sawit sudah mengelilingi kampung.

Sanyo (54) berpose di ruang tamu rumahnya Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Foto: Rendy Tisna/ Mongabay Indonesia.

Muhammad Habibi, Koordinator Save Our Borneo (SOB) menyoroti ketidakadilan yang kerap warga alami dalam kasus karhutla, terutama di Kecamatan Mantangai.

Senada dengan prediksi Sanyo, dia menyebut, kebakaran di area korporasi di Kecamatan Menganti sebenarnya jauh lebih sering terjadi dan memberikan dampak sangat besar dibandingkan kebakaran di lahan masyarakat.

Lelaki rambut bergelombang ini mengetahui ihwal interogasi petani karena berladang. Begitu juga pekerja yang masuk penjara karena buang puntung rokok sembarangan di konsesi perusahaan  perkebunan sawit. 

Masifnya karhutla di Desa Kalumpang dan sekitar, termasuk dalam konsesi KLM terjadi karena berada dalam kawasan kesatuan hidrologi gambut (KHG).

Meski ada kawasan gambut budidaya, dia menilai, ekosistem akan tetap rusak. “Karena ada kanal.”  

Janang Firman Palanungkai, Manajer Kampanye Walhi Kalimantan Tengah, menyoroti makin tertindasnya masyarakat adat di Kalteng sebagai akibat dari ketidakmampuan pemerintah mengontrol ekspansi sawit.

Ekspansi ini, tidak hanya mengancam ruang hidup masyarakat adat,  juga ekosistem yang menjadi sumber kehidupan mereka. “Masyarakat adat seringkali menjadi korban ambisi korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak adat.”

Selain itu, regulasi yang mengatur praktik berladang tradisional masih belum jelas. Larangan metode berladang dengan cara tebas bakar—yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat adat seperti Suku Dayak—menimbulkan dampak negatif pada kedaulatan pangan dan budaya mereka. 

Kebijakan ini tidak hanya menghapus praktik tradisional juga memperburuk kondisi ekonomi masyarakat adat, yang makin tertekan oleh kehilangan lahan dan akses sumber daya alam.

Belum lagi, proyek-proyek besar seperti food estate kerap jalan tanpa melibatkan masyarakat lokal. Proyek ini, katanya,  cenderung memperkuat dominasi korporasi di kawasan hutan dan lahan gambut, menyebabkan deforestasi, degradasi lingkungan, serta peningkatan emisi gas rumah kaca. 

Jadi, kuat dugaan implementasi proyek acapkali tidak memenuhi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan melanggar berbagai regulasi terkait pengelolaan hutan dan lahan.

Dalam banyak kasus, masyarakat adat menghadapi kriminalisasi ketika berusaha mempertahankan hak atas tanah mereka. Konflik agraria antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan dan tambang terus meningkat, dengan banyaknya kasus pencaplokan lahan adat dan kriminalisasi terhadap anggota komunitas yang mempertahankan tanah mereka.

Walhi Kalteng menyerukan perlu reformasi kebijakan untuk melindungi hak-hak masyarakat adat serta memastikan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah harus segera memperjelas regulasi terkait praktik berladang tradisional dan menghentikan eksploitasi sumber daya alam yang hanya menguntungkan korporasi besar tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal.

Konsesi PT Kalimantan Lestari Mandiri berada diatas tanah gambut dengan seratus persen berfungsi sebagai budidaya. Sumber: Save Our Borneo (SOB) Kalimantan Tengah.

Antara budaya dan kriminalisasi

Perladangan gilir balik merupakan tradisi masyarakat adat di Kalteng,  dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Namun, beberapa tahun terakhir, peladang tradisional seringkali jadi kambing hitam karhutla.

Tahun 2019, misal, “tahun terkelam” peladang tradisional karena kriminalisasi. Di Kalteng, sekitar 35 peladang jadi korban.

Masyarakat adat sejak dahulu memiliki mekanisme pengendalian api, seperti membuat parit dan membersihkan pinggir ladang untuk mencegah api meluas.

Kriminalisasi terhadap peladang tidak hanya menghilangkan akses mereka terhadap sumber pangan juga merusak hubungan sosial serta identitas budaya mereka, memperburuk krisis pangan karena berkurangnya lahan untuk berladang.

Ferdi Kurnianto, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, menyebut, ekspansi perkebunan  sawit menjadi satu penyebab utama konflik agraria di Kalteng. 

Konflik seringkali melibatkan aparat keamanan yang berpihak pada korporasi. Masyarakat adat tidak hanya kehilangan tanah leluhur mereka juga menghadapi intimidasi dan kriminalisasi saat berusaha mempertahankan hak atas wilayah adat mereka. Bahkan, beberapa kasus berujung pada korban jiwa, seperti di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan

Perkebunan sawit hadir tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adat. Sebaliknya, tatanan sosial mereka terganggu karena konflik internal antara kelompok yang mendukung dan menolak perusahaan. Selain itu, akses masyarakat terhadap sumber daya alam seperti hutan untuk berburu, mencari kayu bakar, dan mengambil hasil hutan lain makin sulit karena deforestasi besar-besaran.

“Kami telah mencatat setidaknya 348 konflik agraria selama periode 2020-2023 di wilayah ini.”

Guna meminimalisir konflik, katanya, AMAN terus mendorong pengakuan hukum terhadap wilayah adat melalui pelatihan paralegal untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam menghadapi konflik hukum dengan perusahaan atau aparat keamanan.

Namun, pengakuan hutan adat masih minim. Dari luas Kalteng yang mencapai 15,3 juta hektar, hanya 68.528 hektar hutan adat resmi pemerintah akui. Ketidakadilan ini menunjukkan perlu reformasi kebijakan dalam melindungi hak-hak masyarakat adat serta memastikan keberlanjutan lingkungan.

Kantor utama PT Kalimantan Lestari Mandiri di Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Foto: Rendy Tisna/ Mongabay Indonesia.

*****

Usai Terbakar jadi Sawit, Karut Marut Kelola Gambut Riau dan Kalteng

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|