- Enam Uskup yang bernaung di Provinsi Gerejawi Ende mengeluarkan Surat Gembala Prapaskah. Surat ini merupakan hasil sidang tahunan para uskup, pada 10-13 Maret 2025.
- Para uskup dengan tegas menolak pembangunan proyek geothermal Flores dan Lembata. Mereka menilai, proyek ini akan merusak ekosistem alam yang ada di sana.
- Mereka menilai, energi geothermal bukanlah pilihan yang tepat untuk konteks Flores dan Lembata. Ini dikarenakan topografinya berupa gunung dan berbukit, serta sumber mata air permukaan yang amat terbatas.
- Melkiades Laka Lena, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), memastikan Pemerintah NTT akan menghentikan sementara atau menunda proses pembangunan proyek PLTP di Flores. Pernyataan tersebut disampaikan Gubernur usai audiensi dengan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, di Istana Keuskupan Agung Ende, Ndona, pada Jumat (4/4/2025).
Enam Uskup yang bernaung di Provinsi Gerejawi Ende mengeluarkan Surat Gembala Prapaskah. Surat ini merupakan hasil sidang tahunan para uskup, pada 10-13 Maret 2025.
Surat tersebut ditandatangani Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, Uskup Denpasar Mgr. Silvester San, Uskup Larantuka Mgr. Frans Kopong Kung, Uskup Maumere Mgr.Edwaldus Martinus Sedu, Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat, dan Uskup Labuan Bajo Mgr.Maksimus Regus.
“Kami dengan tegas menolak pembangunan proyek geothermal Flores dan Lembata. Kami menilai, proyek ini akan merusak ekosistem alam yang ada,” jelas surat tersebut.
Pada poin pertama, Eksploitasi Energi, Memilih Masa Depan Secara Bijaksana, dijelaskan bahwa pembangunan harus berkelanjutan. Namun, eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geothermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan.
“Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya? Pulau-pulau kecil dengan ekosistem rapuh ini berisiko besar.”
Mereka menilai, energi geothermal bukanlah pilihan yang tepat untuk konteks Flores dan Lembata. Ini dikarenakan topografinya berupa gunung dan berbukit, serta sumber mata air permukaan yang amat terbatas.
“Pilihan eksploitatif tersebut bertabrakan dengan arah utama pembangunan yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan, serta kelautan,” ungkap para uskup.
Selain geothermal, ada lima seruan lain yang disampaikan uskup kepada masyarakat. Pertama, menjaga lingkungan dengan menolak eksploitasi sumber daya merusak ekosistem, termasuk geothermal di Flores dan Lembata.
Kedua, menjadi suara bagi yang tak bersuara, dengan berperan aktif memberantas perdagangan manusia. Ketiga, mendukung program kesehatan dan gizi, khususnya pencegahan stunting dan kesejahteraan anak-anak.
Keempat, mengupayakan pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kesejahteraan sosial dan kelestarian alam.
Kelima, terlibat aksi nyata seperti kampanye lingkungan, advokasi kebijakan publik, dan gerakan sosial untuk keadilan.
Baca: Pertahankan Tanah Adat, Masyarakat Poco Leok Tidak Lelah Lawan Proyek Geothermal

Dampak pencemaran lingkungan
Yuvensius Stefanus Nonga, Deputi Walhi NTT, dalam pernyataannya kepada media pertengahan Januari 2025 menegaskan, proses pengeboran panas bumi dapat mencemari air tanah dengan zat-zat berbahaya. Termasuk, menghasilkan gas beracun seperti hidrogen sulfida [H2S].
Contoh kasus terjadi di PLTP Lahendong, Sulawesi Utara. Saat kebocoran, gas beracun berdampak pada kesehatan warga sekitar.
“Tidak ada jaminan limbah panas bumi akan dikelola benar. Selain mencemari lingkungan, proyek ini juga bisa memicu bencana geologis.”
Kejadian di PLTP Sarulla, Sumatera Utara, menunjukkan pengeboran menyebabkan rusaknya tanah, munculnya sulfur hingga dua kilometer dari lokasi eksploitasi, serta ancaman longsor.
“Hal serupa berlangsung di Pohang, Korea Selatan (2017). Aktivitas pengeboran memicu gempa bumi yang merusak ribuan rumah dan memaksa warga mengungsi,” jelasnya.
Baca juga: Warga Tolak Proyek Geothermal Poco Leok, Ini Alasannya

Surya Darma, Ketua Pusat Studi Energi Terbarukan Indonesia atau ICRES (Indonesia Center for Renewable Energy Studies) menjelaskan, PLTP menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Secara umum, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak menghasilkan polutan udara seperti partikel debu, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida, yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Potensi panas bumi sangat erat kaitannya dengan posisi geografis dan geologis di kawasan cincin api (ring of fire), yang memiliki tingkat kegempaan alamiah tinggi.
“Pemanfaatan energi panas bumi melalui ekstraksi fluida panas bumi tidak berhubungan dengan kegempaan. Pemanfaatan panas bumi juga berupaya menghindari daerah yang memiliki tingkat kebencanaan tinggi,” tuturnya, Kamis (27/3/2025).
Menurut Surya, dalam mata rantai kegiatan panas bumi ada potensi gempa, yaitu saat dilakukan reinjeksi fluida ke dalam kerak bumi, di sumur yang telah disiapkan. Injeksi fluida dapat mengubah tekanan dan tegangan batuan, yang berpotensi memicu pergerakan dan menyebabkan gempa bumi mikro.
“Akan tetapi, potensi memicu gempa bumi besar hampir tidak ada. Umumnya, gempa yang dihasilkan itu skala kecil yang tidak dirasakan manusia.”
Dalam beberapa kasus, gempa bumi skala lebih besar dapat terjadi, terutama di area dengan kondisi geologis rentan seperti Flores yang secara alami merupakan jalur tektonik yang berpotensi menghasilkan gempa.
“Sebelum proyek dimulai, perlu dilakukan kajian risiko geologis dan lingkungan mendalam untuk mengidentifikasi dan memitigasi dampak negatif.”
Dengan demikian, risiko gempa bumi dapat diminimalkan melalui kajian risiko geologis yang komprehensif, pemantauan seismik yang ketat, dan penggunaan teknologi injeksi.
“Upaya ini merupakan bagian penting untuk menyeimbangkan manfaat energi panas bumi yang demikian besar untuk kehidupan manusia. Tentunya, dengan memperhatikan potensi risiko pada area rentan,” paparnya.

Hentikan sementara proyek geothermal
Melkiades Laka Lena, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), memastikan Pemerintah NTT akan menghentikan sementara atau menunda proses pembangunan proyek PLTP di Flores.
Pernyataan tersebut disampaikan Gubernur usai audiensi dengan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, di Istana Keuskupan Agung Ende, Ndona, pada Jumat (4/4/2025).
“Pemerintah akan mendengar dan menyesuaikan kebijakan berdasarkan masukan masyarakat yang terdampak langsung,” terangnya, dikutip dari Kupangnews.
Melkiades menyatakan akan memanggil pihak-pihak terkait, seperti kontraktor yang melakukan pemboran serta PLN sebagai pelaksana proyek, guna merespons masukan para uskup dan masyarakat.
“Kami ingin memastikan seluruh aspek yang berkaitan dengan proyek geothermal ditinjau ulang. Proyek yang sedang berjalan akan diperbaiki dan yang belum dibangun akan ditunda. Kami akan duduk bersama dengan para pemangku kepentingan, sebelum mengambil keputusan lebih lanjut,” paparnya.