- Lima dekade sudah masyarakat pesisir Kampung Baru Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, berjuang memperoleh hak tanah. Selama itu pula, berbagai upaya legal mereka lakukan, namun hasil masih nihil.
- LBH Jakarta dampingi warga Dadap dengan mengadukan ke Komnas HAM dan Ombudsman. Ombudsman dengan Ketua Amzulian Rifai mendapati ada dugaan maladministrasi dalam proses penataan permukiman Kampung Baru Dadap.
- Suja’i, tokoh masyarakat Dadap mengatakan, awalnya Kampung Baru Dadap hanya dihuni masyarakat lokal dengan keluarga tak begitu banyak. Pada 1975, kampung ini para nelayan datang, seperti dari Muara Angke, Muara Karang, Cilincing hingga Muara Baru. Transmigrasi lokal itu terjadi karena ada penggusuran untuk pembangunan properti, fasilitas perkotaan hingga PLTU.
- Para nelayan Dadap akan tetap bertahan. Mereka akan terus berjuang mempertahankan ruang hidupnya demi memperoleh hak atas tanah. Meskipun demikian, belum ada upaya lagi dari pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman ini.
Lima dekade sudah masyarakat pesisir Kampung Baru Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, berjuang memperoleh hak tanah. Selama itu pula, berbagai upaya legal mereka lakukan, namun hasil masih nihil.
Rekomendasi Ombudsman pada 2016 untuk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang memproses permohonan pendaftaran surat keterangan tanah (SKT) atau sertifikat tanah masyarakat Kampung Baru Dadap tak terlaksana. Nasib masyarakat Dadap pun terombang-ambing, hidup tanpa kepastian tanah.
“Selama 50 tahun bukan waktu sebentar, perjalanan panjang, tiga generasi. Jangan pernah takut melindungi hak yang benar,” kata Dahlia, perempuan Kampung Baru Dadap, Maret lalu.
Perempuan 48 tahun ini mengatakan, masyarakat bersusah payah gotong-royong membangun peradaban di kawasan pesisir itu yang sebelumnya semak belukar. Mereka juga membangkitkan perekonomian pesisir lewat komoditas laut.
Para lelaki sebagai nelayan, sedangkan perempuan rata-rata ibu rumah tangga. Banyak pula perempuan jadi buruh pengupas kerang hijau di sela mengurus rumah tangga.
Dia heran dengan pemerintah yang tak memberikan hak atas tanah kepada masyarakat. Padahal mereka telah bermukim di kampung itu selama 50 tahun, terhitung sejak 1975.
Artinya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.
Apalagi, di Kampung Baru Dadap terdapat delapan sertifikat hak milik (SHM) warga yang Pemkab Tangerang terbitkan.
“Kalo Dadap gak bisa disertifikatkan saya merasa aneh. Negara ini sebenarnya untuk siapa? Pemilik negara ini kan rakyat, mereka (pemerintah) hanya alat, alat untuk melayani masyarakatnya,” katanya.
Dahlia pun berkomitmen terus memperjuangkan haknya. Dia ingin tetap tinggal di Kampung ini karena dekat dengan mata pencaharian. Menurut dia, masyarakat tak bisa jauh dari laut.
“Gak ada kata menyerah untuk perempuan pesisir khususnya. Kita maunya sertifikat bukan relokasi.”
Dia berharap, pemerintah juga penataan di Kampung Baru Dadap. Selama ini, Pemkab Tangerang terkesan mengabaikan kampung ini yang berdampak pada lingkungan kumuh.
“Kalau perbaikan infrastruktur udah kewajiban pemerintah daerah. Seharusnya pemerintah melihat ini,” katanya.

Sejarah kependudukan nelayan dan konflik agraria
Suja’i, tokoh masyarakat Dadap mengatakan, awalnya Kampung Baru Dadap hanya dihuni masyarakat lokal dengan keluarga tak begitu banyak. Pada 1975, kampung ini para nelayan datang, seperti dari Muara Angke, Muara Karang, Cilincing hingga Muara Baru.
Transmigrasi lokal itu terjadi karena ada penggusuran untuk pembangunan properti, fasilitas perkotaan hingga PLTU di Muara Kara era Ali Sadikin, Gubernur Jakarta. Saat itu, ada sekitar 70-90 keluarga bertransmigrasi dari pesisir Jakarta Utara ke Kampung Baru Dadap. Ada pula sebagian nelayan dari luar Jakarta.
Nelayan kemudian menempati lahan-lahan kosong dan mendirikan rumah di Kampung Baru Dadap setelah mendapat restu dari pemerintah desa.
“Kami tempati sebagai tempat tinggal. Tetapi sebagian lahan juga masih ada yang berupa lahan kosong, yaitu tambak-tambak, tambak tradisional, yang memang saat itu juga memang pembuatan tambak itu terjadi dari hasil tanah timbul,” jelas Suja’i.
Tak ada konflik antar nelayan lokal dan pendatang, mereka hidup berdampingan dengan damai. Suja’i bilang, para nelayan justru saling bergotong-royong membangun kampung pesisir. Mereka swadaya membangun jalan, musala hingga koperasi mina bahari.
“Interaksi harmonis. Nelayan setempat dan warga memberikan pekerjaan untuk nelayan pendatang. Saling bekerja sama,” katanya.
Suja’i bilang, nelayan pendatang merasa cocok tinggal di Desa Baru Dadap karena lokasi strategis untuk menunjang perekonomian. Terdapat aliran sungai yang bermuara ke laut, cocok untuk memarkirkan perahu nelayan selepas melaut.
Kampung Baru Dadap yang saat itu bernama Muara Dadap mengalami perkembangan. Hingga 1980, keluarga mencapai 500.
“Sekitar tahun 1978-1979 kami mulai melakukan administrasi kependudukan. Setelah itu kami diakui sebagai penduduk Kampung Dadap,” ucap Suja’i.
Para nelayan lokal dan pendatang itu kemudian mulai melakukan upaya pengakuan hak atas tanah. Awalnya, nelayan mendatangi lurah yang kemudian Camat untuk mengusulkan hak atas tanah.
Kala itu, sebelum ada pemekaran, Dadap masuk dalam Kecamatan Teluknaga. Hasil pertemuan dengan camat, wilayah yang nelayan tempati belum pernah ada yang menguasai.
“Artinya, nelayan sebagai pemilik pertama, untuk terdaftar di Agraria,” jelas Suja’i.
Kala itu, Camat Teluknaga merekomendasikan nelayan ke Badan Pertanahan Kabupaten Tangerang. Tak sampai di sana. Untuk memenuhi persyaratan, Badan Pertanahan Kabupaten Tangerang meminta nelayan melengkapi pemberkasan, administrasi tentang keberadaan kampung itu. Mereka diminta ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tangerang.
Syarat lain, bukti penyetoran pajak. Setelah sah menjadi warga Kampung Baru Dadap, nelayan pun menyetorkan sebagian pendapatan dari hasil laut untuk membayar Iuran Rehabilitasi Daerah (IREDA) dan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), kini bernama Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
“Kami dicatat dalam satu buku induk, yang kemudian keluar kami terima sebagai pelaku retribusi daerah. Jadi pendapatan asli daerah,” kata Suja’i.
Upaya pengakuan hak atas tanah masyarakat Kampung Baru Dadap mulai mengalami masalah pada 1980. Saat itu, pemerintah berencana membangun Jakarta International Airport Cengkareng (JIAC), kini bernama Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta). Kampung Baru Dadap menjadi masuk dalam kawasan pembangunan proyek itu dan terancam penggusuran.
Terjadi kemelut antara pengembang dengan para nelayan. Nelayan, kata Suja’i, meminta ganti rugi. Meskipun belum memiliki sertifikat tanah, nelayan mempertimbangkan ganti rugi itu karena sudah menyetorkan IPEDA dan IREDA.
Negosiasi berlangsung alot. Selagi proses transaksi ganti rugi berlangsung, nelayan juga meminta pindah di tempat yang berdekatan dengan mata pencaharian mereka, di pesisir. Tak ada titik terang, pengembang pun membatalkan negosiasi dengan para nelayan.
“Kemudian kami tidak menemukan titik temu untuk pembebasan lahan atau pelepasan hak,” kata Suja’i.
Nelayan Kampung Baru Dadap pun tidak jadi tergusur ketika pengembang mengubah site plan proyek bandara dan menggusur kawasan di sebelah barat dan utara Kampung Baru Dadap untuk jadi saluran pembuangan air Bandara.
“Yang kemudian mereka bangun Kali Sodetan. Fungsinya, untuk saluran banjir dari Bandara Soekarno-Hatta, kali Sodetan dan Jalan Perancis,” ucap Suja’i.

Tak sampai disana, PT Angkasa Pura (AP) II tiba-tiba mengklaim tanah Kampung Baru Dadap dengan pembuktian surat pelepasan hak atas tanah. Lahan yang mereka klaim hanya berupa empang dan sawah tak produktif. Namun, ini justru menjadi petaka bagi warga, mereka tak bisa mendaftarkan tanah untuk sertifikat karena dianggap bersengketa dengan AP II.
Pada 1986, Pemkab Tangerang melayangkan surat peringatan kepada nelayan untuk mengosongkan lahan tempat tinggalnya. Total ada 480 bangunan minta dikosongkan tanpa terkecuali. Dalihnya, lahan itu untuk pembangunan landasan pacu Indonesia Air Show.
“Harus mengosongkan rumah 2×24 jam dengan kerohiman Rp250.000 per rumah. Kami dengan berbagai pertimbangan dan alasan menolak itu,” kata Suja’i.
Nelayan menghadap BJ Habibie yang kala itu sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi untuk rencana pembangunan proyek landasan pacu Indonesia Air Show. Ternyata, proyek itu fiktif.
“Terungkaplah kebohongan itu. Kemudian kembali sampai ke tahun 1996, kami pun diberikan peringatan untuk mengosongkan lahan dengan alasan tidak jelas juga. Kami pun melakukan perlawanan,” ucapnya.
Dua dekade hidup tenang, pada 2016 Bupati Tangerang, saat itu Zaki Iskandar meminta nelayan mengosongkan lahan. Dalihnya, Pemkab Tangerang hendak melakukan penataan kawasan kumuh dan prostitusi di Kampung Baru Dadap yang juga dikenal dengan nama Kampung Chang in ini.
“Dalam tempo satu bulan, Bupati Tangerang melalui Satpol PP mengeluarkan surat peringatan untuk penggusuran lokalisasi,” ucap Suja’i.
Perhitungan warga ada 50 bangunan sebagai tempat prostitusi. Namun, Pemkab Tangerang justru dalam surat peringatan ada 347 bangunan yang akan tergusur. Sebagian warga memilih meninggalkan rumah, sebagian tetap bertahan.
“Sekitar 30 meter lebar lahan harus kosong sepanjang 1,5 kilometer hingga ke muara. Ternyata ini bukan lokalisasi, tapi rumah warga, jadi dengan dalih prostitusi, pengen menggusur semuanya.”
Warga menolak penggusuran itu karena tidak sesuai prosedur. Kerusuhan antara warga dengan aparat keamanan pun tak terhindarkan. Sejumlah warga mengalami luka-luka dan sebagian ditangkap.
Pemkab Tangerang kembali berdalih penggusuran untuk penataan kawasan kumuh. Warga pun sepakat dengan syarat ganti rugi dan relokasi di tempat yang dekat dengan laut.
Negosiasi gagal, karena lahan yang Pemkab Tangerang janjikan untuk relokasi tidak jelas dan kejauhan dari pesisir. Meski demikian, bangunan yang diduga jadi tempat prostitusi tetap tergusur.

Ombudsman temukan maladministrasi
Warga Dadap merasa janggal dengan proyek Pemkab Tangerang itu. LBH Jakarta dampingi warga Dadap dengan mengadukan ke Komnas HAM dan Ombudsman. Ombudsman dengan Ketua Amzulian Rifai mendapati ada dugaan maladministrasi dalam proses penataan permukiman Kampung Baru Dadap.
Berdasarkan surat rekomendasi Ombudsman Nomor: 0004/ REK/ 0461.2016/ VII/2016, menyatakan, terjadi perbuatan melawan hukum, dengan mengambil langkah-langkah penataan sebelum menyelesaikan peraturan daerah yang mengatur mengenai penataan permukiman.
Pemerintah Tangerang juga melampaui wewenang, dengan melakukan penataan terhadap kawasan permukiman kumuh dengan luas 10 hektar-15 hektar tanpa terlebih dahulu memperoleh penugasan dari provinsi hingga tidak sesuai ketentuan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang seharusnya menjadi kewenangan Pemerintah Banten.
Melampaui wewenang, dengan melakukan tindakan-tindakan pembongkaran sebelum terlebih dahulu membentuk instrumen hukum pendukung yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan. Penyimpangan prosedur, dengan melakukan tindakan-tindakan penataan permukiman Kampung Baru Dadap secara tidak taat pada prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Ombudsman berpendapat bahwa konsep penanganan permukiman Kampung Baru Dadap belum sepenuhnya memperhatikan kelangsungan perlindungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat sebagai nelayan, sehingga perlu kiranya direview dan disempurnakan,” tulis Ombudsman.
Kemudian, melakukan kelalaian dan pengabaian kewajiban hukum serta tindakan diskriminatif dengan tidak melayani permohonan warga untuk memperoleh SKT atas tanah negara yang telah tergarap lebih 20 tahun. Hal ini sebagai persyaratan untuk mengajukan permohonan hak atas tanah kepada pihak terkait. Padahal, sudah ada beberapa warga sudah dapat pelayanan serupa dan telah terbit SHM oleh Kantor Pertanahan.
Ombudsman kemudian mengeluarkan rekomendasi terkait polemik ini. Intinya, penataan permukiman boleh asal memenuhi peraturan berlaku, tidak boleh membangun jembatan yang menghubungkan PIK 1 dan PIK 2 Kampung Baru Dadap.
Pemkab Tangerang juga memberikan kompensasi, ganti rugi, menyiapkan hunian sementara untuk warga hingga memberikan pelayanan terhadap warga yang mengajukan SKT sebagai salah satu syarat mengajukan permohonan pendaftaran tanah.
Alih-alih menjalankan rekomendasi Ombudsman, Pemkab Tangerang justru menghentikan rencana penataan itu. Sedang sertifikat tanah para nelayan hingga kini tak bisa terbit. Pemkab Tangerang berdalih, sertifikat tak bisa terbit karena lahan nelayan bersengketa dengan AP II.
“Saat rapat dengan Ombudsman dihadiri AP II, Pemkab Tangerang, Kantor Pertanahan Kabupaten dan pihak-pihak terkait, termasuk warga sepakat penentuan batas. Pemkab Tangerang dan Kantah Kabupaten Tangerang tidak ada aksinya,” kata Suja’i.

Tetap bertahan
Para nelayan akan tetap bertahan. Mereka akan terus berjuang mempertahankan ruang hidupnya demi memperoleh hak atas tanah. Meskipun demikian, belum ada upaya lagi dari pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman ini.
Satu sisi, mereka harus hidup dengan kondisi lingkungan rusak. Banjir rob kerap melanda, membuat kawasan Kampung Baru Dadap menjadi kumuh.
Berdasarkan penuturan warga, banjir parah terjadi ketika air laut pasang dan hujan lebat bisa sampai 1,5 meter. Tanggul sepanjang 1.664 meter dengan tinggi sekitar empat meter di pesisir Dadap tak mampu menahan banjir.
Pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat dari Pemkab Tangerang juga minim. Jalan utama, dari gerbang atau gapura kampung tersebut hingga muara sepanjang sekitar 1,5 kilometer rusak parah, terjadi pula sedimentasi saluran air. Banyak bangunan kosong yang ditinggal penghuninya.
Ekosistem hutan mangrove juga kian rusak karena ditebang untuk kepentingan pembangunan. Kini, hanya tersisa sedikit.
Terlihat pembangunan jalan tol Kamal-Teluknaga-Balaraja (Kataraja) Seksi 1 sepanjang 6,7 kilometer yang menghubungkan Tol Bandara Soekarno Hatta-Kosambi, PIK 2 masih berlangsung, membuat pemandangan di kampung itu kian semrawut. Pemandangan kontras terlihat di balik tanggul di ujung Muara, yakni kawasan elit PIK.
Waisul Kurnia, nelayan Lampung Baru Dadap mengatakan, nelayan akan tetap bertahan di Kampung Baru Dadap.
Mereka tak mau relokasi di tempat yang jauh dari laut. Saat ini, saja nelayan sudah banyak mengalami kendala yang membuat tangkapan ikan sulit.
“Nelayan itu gak bisa hidup sembarang tempat, harus dekat dengan laut, karena itu sumber mata pencaharian kita.”
********