Nelayan Pesisir Jawa Barat Terhimpit Proyek Pelabuhan

1 day ago 4
  • Dibangun untuk membangkitkan perekonomian, Pembangunan Pelabuhan Internasional Patimban (PIP) di Subang justru menghancurkan sumber-sumber ekonomi lokal. Para nelayan kehilangan sumber penghidupan lantaran ruang tangkap terdampak reklamasi proyek pelabuhan. 
  • Banyak nelayan yang putuskan berhenti karena jarak tangkapan yang makin jauh, sementara hasil tak maksimal. Mereka beralih profesi menjadi pedagang, penyewa perahu, atau bahkan bermigrasi ke luar daerah untuk mencari pekerjaan.
  • Pemerintah menyebut, pembangunan PIP untuk mengurangi kepadatan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta yang sudah overload. Proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), dengan anggaran mencapai Rp43,2 triliun melalui skema Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
  • Sarjani, tokoh desa setempat katakan, pembangunan PIP menambah beban petani dan nelayan setempat yang sebelumnya terdampak PLTU Indramayu. Ceceran batubara dari kapal tongkang acapkali membuat nelayan merugi. Kini, nasib mereka makin terhimpit.  

Awan hitam di langit Desa Ujung Gebang, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Jabar), Juli lalu membuat siang itu tampak begitu muram. Para nelayan yang baru  mendaratkan ikan tak henti menggerutu lantaran hasil tangkapan makin sedikit. 

“Sudah melautnya makin jauh, hasilnya juga makin sedikit,” kata Ahmadin, nelayan setempat kepada Mongabay.

Dulu, sebelum ada proyek Pelabuhan Internasional Patimban (PIP), dia cukup melaut di jarak 2-10 mil. Kini, jauh di atas itu dengan biaya operasional lebih besar. 

Sejatinya proyek PIP  tidak berada di Desa Ujung Gebang, melainkan Desa Patimban, tetangga desa yang masuk Kabupaten Subang. Tetapi, dampak proyek ini pun melebar kemana-kemana, termasuk pada nelayan desa di kabupaten tetangga. 

Deretan warung di pesisir juga hilang terhempas ombak yang kian mendera karena perubahan arus laut. Beberapa pemilik warung tersisa terpaksa meletakkan sejumlah karung berisi material untuk menahan ombak.

Pemerintah menyebut, pembangunan PIP untuk mengurangi kepadatan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta yang sudah tak memadai. Juga, untuk membuka lapangan kerja bagi ribuan orang. Proyek ini masuk daftar proyek strategis nasional (PSN), sebagaimana Peraturan Presiden (Perpres) No. 47 /2016.

Mengutip laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KIPP) proyek yang konstruksi mulai 2018 itu bakal menelan anggaran sampai Rp43,2 triliun. Pembiayaan bersumber melalui skema kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU). Interport, bagian dari Indika Energy Group tercatat sebagai pemegang saham pelabuhan ini. 

Dalam deskripsinya, KIPP menyebut, pembangunan pelabuhan ini sebagai strategi pemerintah  mengurangi kelebihan kapasitas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. “Keberadaan PIP diharapkan menjadi stimulator pengembangan wilayah di  Subang dan sekitarnya,” tulis KIPP.

Proyek ini terbagi dalam enam paket pekerjaan. Antara lain, pembangunan dermaga (tambahan) kontainer sepanjang 419 meter, reklamasi untuk terminal kontainer seluas 27 hektar, dan  pengerukan alur pelayaran serta kolam pelabuhan hingga mencapai kedalaman 14 meter. 

Pemerintah menyiapkan infrastruktur pendukung seperti jalur bebas hambatan yang terhubung dengan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) dan pelabuhan. Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) Pemerintah Subang tahun 2022 menyebutkan, panjang ruas tol  sekitar 37,05 kilometer persegi.

Jalur ini melintasi 20 desa di 10 kecamatan. Mulai Desa Sawangan, Kecamatan Cipendeuy dan berakhir di Jalur Pantura masuk Desa Pusakaratu, Kecamatan Pusakanegara, Subang. 

Trase untuk jalan tol memerlukan lahan sekitar 340.116 hektar. Jalur bebas hambatan itu melintasi persawahan, kebun dan pekarangan, bahkan permukiman warga. 

Geliat proyek itu pun terlihat saat saya berkeliling di sejumlah lokasi tengah tahun lalu. 

Lahan-lahan sawah dan tambak yang terbengkalai menunggu giliran pengerjaan. Sebagian  mulai terurug untuk akses ke PIP. 

Pagar beton tinggi membentang sepanjang jalan aspal baru, menggantikan jalan kampung yang sudah ada lebih dulu, lengkap dengan tulisan berwarna merah menyala. “Tanah Milik Negara Dilarang Memasuki Areal Ini Tanpa Izin.”

Dari kejauhan, terlihat deretan dump truck antre aba-aba untuk menumpahkan muatan. Material urug dari pegunungan di Subang untuk pemadatan jalan.

Perkampungan nelayan di muara Ujung Gebang, Indramayu. Foto: Toto Sudiarjo/Mongabay Indonesia.

Kian terhimpit

Keberadaan PIP ini ancam sumber ekonomi lokal yang ada sebelumnya.  Para nelayan tradisional ‘terpaksa mengalah’ membiarkan ruang tangkap terurug untuk reklamasi pelabuhan.

Ajid, pengurus Serikat Nelayan Tradisional (SNT) Ujung Gebang mengatakan, nelayan menjadi kelompok paling terdampak pembangunan proyek ini. Dia bahkan sudah berbulan-bulan tak melaut karena hasil tangkapan  terus menurun. Tak mau merugi, nelayan 47 tahun ini memilih menyewakan perahu ke nelayan lain. 

Dia bilang, dulu, sebelum ada PIP, nelayan bisa mendapat Rp3-Rp4 juta sekali melaut. Saat ini, bisa menutup biaya operasional saja sudah untung, atau jika tidak malah merugi. “Susah sekarang.”

Untuk bertahan hidup, Ajid kini bekerja menjadi pengepul. Dia menampung ikan hasil tangkapan nelayan dan menjual ke pelanggan. “Kalau sawah bisa dijual. Tapi nelayan?” tanyanya, dengan nada protes.

Bersama istrinya, Tiri, Ajid sibuk menyortir ikan sebelum mereka jual.

Dia bilang, ada beberapa jenis ikan biasa menjadi tangkapan para nelayan, seperti  kakap, boso, pe, ngangas, petek, colet, lowang, kawang, sotong, cumi, gurita, udang, rajungan dan masih banyak lagi.

Tempat tinggal Ajid tepat berada di pinggir jalan menuju pantai. Teras belakang rumah menghadap langsung ke muara yang penuh oleh perahu. Terlihat beberapa nelayan yang tengah istirahat, sebagian lain membersihkan alat tangkap sebelum kembali mereka pakai melaut. 

Mayoritas nelayan di Gebang adalah skala kecil dengan jarak tempuh sangat terbatas. Tak pelak, kehadiran PIP membuat ruang tangkap mereka makin sempit akibat reklamasi. “Nelayan merasa terusir, karena area tangkap nelayan kan dikuasai, dibangun, bahkan lebih luas. Akhirnya kan tersisih, semakin menjauh.”  

Saat ini, katanya, para nelayan harus melaut lebih jauh lagi ke barat yang belum terkena dampak pembangunan. Dengan kondisi ini, kebutuhan solar untuk perahu makin membengkak. Padahal, sebelumnya mereka mencari ikan di wilayah sekitar saja. Situasi itu pun pada akhirnya menyebabkan tempat pelelangan ikan (TPI) di sekitar sepi.

Di Ujung Gebang saja, kata Ajid, ada sekitar 130 kapal. Setiap satu kapal berisi rata-rata tiga awak buah kapal (ABK) jadi total sekitar 350-an nelayan di Ujung Gebang yang menggantungkan nasib dari hasil laut. 

Patimban yang menjadi tapak pembangunan pelabuhan, tak jauh berbeda. Desa ini memiliki dua kampung yang menjadi sentra para nelayan, yaitu Dusun Trungtum dan Genteng. 

Pelabuhan Internasional Patimban, Subang saat proses pembangunan. Foto: Interport.

Ahmadin, Ketua Paguyuban Nelayan Patimban, mengatakan, nelayan di Trungtum ada sekitar 115 orang,   Genteng (200-an lebih). Bersama nelayan lain, dia sempat aksi protes. “Nelayan harus melaut lebih jauh,  itu berbahaya karena harus berhadapan dengan kapal-kapal besar yang hilir mudik ke pelabuhan,” katanya.

Dengan kondisi itu, tak sedikit dari mereka terpaksa bermigrasi ke luar daerah. Salah satunya,  berlayar ke Papua. Menurut Ajid, ada sekitar 50 orang  merantau ke Papua. Hal ini juga terjadi di kampung Ahmadin, Trungtum. Bahkan ada yang bekerja di Taiwan dengan modal tak sedikit.  

Meski ada yang bermigrasi ke luar daerah, sebagian besar nelayan masih bertahan. Ada juga  beralih jadi ojek perahu untuk antar jemput pekerja. Mereka biasa mengantarkan para pekerja pelabuhan yang berada agak ke tengah laut. 

Untuk jasa itu, bayaran mereka Rp15.000-Rp20.000 per orang per trip. Bagi mereka yang beruntung bisa masuk kerja di areal pelabuhan. “Anak mudanya ada yang kerja di sana, ya ada yang jadi sekuriti, ada yang jadi (petugas) patroli, ada yang jadi ABK kapal (pelabuhan). Ya tenaga-tenaga kasar yang banyak),” ujar Ahmadin. 

Seperti  Ajid, sudah sebulan ini  tak melaut karena musim angin barat datang dengan intensitas hujan beserta  angin sejak Februari 2025. Dengan kondisi tak menentu, dia pun beralih jadi ojek perahu bersama nelayan lain untuk mengantar para pemancing saat malam hari dengan tarif Rp300.000 perhari. 

Kondisi itu makin parah dengan ada reklamasi baru seluas 10 hektar di sisi timur dan utara pelabuhan untuk zona parkir mobil-mobil baru yang akan ekspor. Padahal, dulu, lokasi itu  wilayah tangkap nelayan yang banyak menghasilkan udang lipan atau cakrek dalam bahasa lokal. 

“Tahun lalu sehari bisa dapat Rp300.000, sekarang paling Rp100.000, itupun kalau dapat.”

Pilihan lain, warga menyewakan perahu dengan tarif Rp300.000 per malam.

Pembangunan Pelabuhan Patimban memicu perubahan arus gelombang di sekitar. Tampak pedagang di Pantai Patimban memasang karung penahan ombak. Foto: Toto Sudiarjo/Mongabay Indonesia.

*****

Kebijakan Negara Dianggap Makin Jauh Dari Kepentingan Nelayan Tradisional. Kenapa?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|