- Kecelakaan kerja di kawasan industri nikel, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) terus terjadi. Maret lalu, empat pekerja tertimbun longsor di area fasilitas penyimpanan tailing (FPT) IMIP di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), tiga pekerja tewas.
- Tailing merupakan limbah beracun hasil dari proses pengolahan nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Dalam volume besar, limbah ini bisa menyebabkan longsor, banjir, dan pencemaran lingkungan.
- Peraturan pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengelompokkan tailing sebagai Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) kategori 2 (dua) yang memiliki toksisitas kronis dan berdampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup
- Ariyanto Sangadji, peneliti Aksi Ekologi dan Emansipasi Raktat (AEER) dorong meminta pemerintah menyetop ekspansi industri nikel. Karena jika tidak, bukan tidak mungkin jebolnya kolam tailing seperti yang terjadi di Brazil -hingga tewaskan ratusan orang- akan terjadi di Indonesia.
Kecelakaan kerja di kawasan industri nikel, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) terus terjadi. Maret lalu, empat pekerja tertimbun longsor di area fasilitas penyimpanan tailing (FPT) IMIP di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), tiga pekerja tewas.
Dari informasi yang Mongabay himpun, ketiga korban meninggal itu Irfan Tandi, Akbar, dan Demianus. Satu korban (selamat) belum teridentifikasi. Ini kali kesekian kecelakaan kerja terjadi kawasan IMIP setelah ledakan yang juga menewaskan belasan pekerja pada 2023 dan November tahun lalu.
Hasil identifikasi Yayasan Tanah Merdeka (YTM), lembaga yang fokus pada isu pengelolaan sumber daya alam di Sulteng, menyebut, kecelakaan kerja itu berada di kilometer 8 IMIP – yang PT QMB New Energy Materials dan Huayou Nickel Cobalt, operasikan. Keduanya merupakan penghasil mixed hydroxide precipitate (MHP), yang jadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Richard Labiro, Direktur Pelaksana YTM dalam siaran per mengatakan, tailing merupakan limbah beracun dari proses pengolahan nikel dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) untuk menghasilkan MHP.
Dia memperkirakan, setiap ton logam nikel yang produksi melalui teknologi HPAL akan menghasilkan 100 ton tailing.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengelompokkan tailing sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) dengan kategori bahaya dua. Tailing memiliki toksisitas kronis dan dalam jangka panjang dapat berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Labiro mengatakan, tingginya curah hujan di Morowali meningkatkan kerentanan area FPT yang menampung belasan juta ton tailing rentan terhadap bencana longsor. FPT ini dekat dengan pemukiman padat penduduk.
“Tailing dalam bentuk bubur tanah dengan kandungan air sekitar 30% yang disimpan di FPT akan berubah menjadi lumpur ketika ditimpa curah hujan tinggi, ” katanya.
Kekhawatiran kolam tailing jembol sempat mencuat setelah kawasan industri ini kena banjir parah pada 16 Maret. Air bercampur lumpur yang sarat logam berat mengalir deras dari kolam tailing di area perusahaan dan permukiman sekitar. Tercatat 341 keluarga atau 1.092 jiwa di Desa Labota terdampak kejadian ini. Mereka pun berisiko terpapar racun limbah.
Labiro berpendapat, peristiwa tanah longsor dan banjir baru-baru ini menunjukkan standar keamanan fasilitas rendah, menimbulkan ancaman bagi keselamatan penduduk, pekerja, dan lingkungan. “Jebolnya tailing ini meningkatkan risiko kesehatan warga dan para pekerja karena kandungan logam beratnya.”

Tuntut tanggung jawab
Asri Sonah, Ketua Federasi Pertambangan dan Energi, menyayangkan, rendahnya standar keamanan perusahaan hingga memicu kejadian ini. Dia pun menuntut semua pihak bertanggung jawab. “Saya sangat prihatin dengan kejadian ini dan semua pihak terkait harus bertanggung jawab.”
Asri telah menghubungi IMIP pasca kejadian nahas itu. IMIP menyatakan, tetap memperhatikan hak-hak korban seperti apa, dan direktur perusahaan sub-kontrak bersangkutan menyatakan sikap untuk tetap bertanggung jawab atas kejadian itu.
Federasi mendorong, desain FPT sedemikian rupa untuk mengurangi kecuraman agar kejadian serupa tidak terulang. Misal, memperkuat struktur penahan dengan membuat tiang pancang atau metode lain.
Selain itu, kolam juga harus dilengkapi saluran agar kandungan air bisa keluar. Namun, dia tetap menggaris bawahi pencegahan tetap perlu agar tailing tidak berdampak buruk pada sekitar.
Federasi Pertambangan dan Energi telah memonitoring FPT IMIP di area kilometer 8 dan menemukan berbagai limbah tercampur di situ, seperti, limbah pabrik dan sampah-sampah plastik. Dia mendesak, pemerintah memperketat pengawasan fasilitas penyimpanan tailing ini.

Perusahaan lalai
Amrin, Ketua Gerakan Revolusi Demokrasi (GRD) di Kabupaten Morowali, menuding perusahaan lalai dalam mengelola FPT yang baru-baru ini merenggut nyawa pekerja. Banjir sepekan sebelumnya mencerminkan tata kelola di kawasan IMIP buruk.
Dia menilai, IMIP terlalu cuek terhadap berbagai dampak akibat aktivitas mereka. Tuntutan GRD agar perusahaan transparan dan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan tak pernah ada tanggapan.
“Akhirnya yang terjadi bentuk pembiaran. Sehingga ketika hujan 1 -2 jam saja itu pasti akan banjir dalam kawasan IMIP. Apalagi tata kelola lingkungan di kawasan itu juga memang amburadul. Tidak jelas penempatannya.”
Dia khawatir, kalau terus begitu akan memperparah risiko kontaminasi limbah berbahaya ke masyarakat. Dia juga kecewa dengan sikap pemerintah yang tak tegas meminta pertanggungjawaban IMIP.
Mongabay berusaha meminta penjelasan terkait kejadian itu kepada Dedy Kurniawan, Head of Media Relations Departement IMIP, melalui WhatsApp 4 Maret 2025. Hingga berita ini terbit, Dedi tidak menanggapi.

Setop ekspansi nikel
Walhi Sulteng menilai, pengelolaan limbah tailing IMIP berisiko tinggi, terutama saat musim hujan. Walhi mencatat, delapan pekerja tewas dalam pengelolaan limbah tailing di IMIP sejauh ini. Sedang pemerintah tidak serius mengambil tindakan dalam memastikan keamanan pekerja.
“Tidak ada proses penutupan, limbah (tailing) hanya dibuang begitu saja,” kata Wandi, devisi kampanye Walhi Sulteng.
Dia khawatir, ancaman limbah tailing tak hanya saat musim hujan, juga masa kemarau. Sewaktu-waktu, saat kemarau, katanya, limbah tailing terbuka bisa menyebabkan polusi udara, mengganggu kesehatan warga, meskipun lokasi FPT agak jauh dari pemukiman.
Labiro mendesak, pemerintah evaluasi menyeluruh mengenai standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di IMIP. Perusahaan banyak mengabaikan standar keselamatan kerja hingga menjadikan korban pekerja terus berjatuhan. Untuk itu, dia mendesak otoritas terkait mengambil tindakan nyata kepada perusahaan.
Ariyanto Sangadji, peneliti Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) katakan, sangat sulit berharap kejadian ini tidak terulang selama pemerintah terus berambisi menggenjot produksi nikel.
“Dari semua aspek, hilirisasi nikel yang didorong pemerintah telah menimbulkan berbagai kerugian di masyarakat dan lingkungan,” katanya Senin (7/4/25) malam.
Sebelumnya, perusahaan sempat berencana membuang limbah nikel ke laut. Karena banyak mendapat pertentangan, rencana itu pun batal . Tailing kemudian mereka ‘tumpuk’ di area seluas 600 hektar, mencakup 20% dari luasan kawasan IMIP ini.
“Bayangkan, itu area yang sangat luas karena memang tailing yang dihasilkan sangat besar.”
Ariyanto mencatat, dengan kapasitas produksi yang mencapai 50.000-60.000 ton per tahun, dia perkirakan limbah tailing QMB dan Huayou mencapai 11 juta ton lebih setiap tahun.
Tingginya timbunan tailing ini jelas menimbulkan persoalan besar. Apalagi, dalam beberapa waktu ke depan, sejumlah perusahaan lain juga segera beroperasi. “Ini jelas masalah besar. Karena teknologi pengolahan yang diterapkan masih buruk, tailing juga banyak mengandung logam berat dan asam sulfat.”
Perusahaan mengklaim mengklaim tailing sudah melalui metode dry stack tailing. Namun, kata Aritanto, Morowali yang memiliki curah hujan tinggi dengan sendirinya akan kembali mengubah material tailing menjadi lumpur. Apalagi, kadar air tailing tersimpan masih mencapai 30%.
Ariyanto pun mengkhawatirkan air limbah tailing ini pada akhirnya meresap ke dalam tanah dan mencemari lingkungan sekitar. Belum lagi zona patahan Matano yang terhubung dengan sesar Palu Koro. Meski gempa dengan skala besar, lebih dari 7 magnitudo terjadi 200 tahun lalu, bukan tidak mungkin peristiwa serupa kembali terjadi.
“Memperhatikan berbagai aspek ini, jelas tanggul tailing ini berada pada kerawanan yang sangat tinggi, bahkan bisa menjadi malapetaka seperti yang terjadi di Brazil hingga menyebabkan ratusan orang tewas.” katanya.
Apalagi, sejauh ini, pengelolaan dan juga pengawasan kolam tailing juga sangat buruk.
Ariyanto mendesak, pemerintah menghentikan ambisi terus menggenjot produksi nikel Kalau tidak, tumpukan limbah tailing akan menjadi persoalan besar di kemudian hari. “Baru dua perusahaan saja sudah seperti ini. Apalagi jika sampai ada 6-7 perusahaan lagi yang beroperasi?”.
*****
Tewas Lagi, Mengapa Kecelakaan Kerja di Pabrik Nikel Terus Berulang?