Pemulihan Mangrove Kuala Selat, Kepiting Bakau Mulai Datang

1 day ago 8
  • Pesisir Desa Kuala Selat terdampak abrasi dan intrusi air laut cukup parah. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melalui program Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) mulai lakukan pemulihan.  Mereka mulai tanam mangrove pada areal bekas kebun kelapa masyarakat yang mati terendam air laut lewat dana dari Bank Dunia. Kini, kepiting bakau mulai datang dan berkembang biak.
  • Target pemulihan ekosistem mangrove di Kuala Selat dalam program M4CR secara keseluruhan ditetapkan seluas 1.200 hektar. Semua tersebar pada arel bekas kebun kelapa masyarakat. Hanya saja baru 429 hektar disetujui si pemilik kebun. Setelah capaian penanaman 2024, tahun ini akan diteruskan penanaman 305 hektar tersisa.
  • Kilas balik ke belakang, Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Indragiri Hilir, Riau, mulai alami bencana ekologis, abrasi dan intrusi sejak 1987,  melihat hasil tangkapan foto udara dengan citra satelit resolusi tinggi. BRGM memperkirakan 2.500 hektar daratan hilang.
  • ‘Setelah rehabilitasi mangrove mulai berjalan, kepiting pun mulai kembali datang dan berkembang biak. Januari lalu, masyarakat Kuala Selat mulai menebar pento atau perangkap kepiting pada rumpun-rumpun tempat mangrove tumbuh. Kepiting bakau itu, mengejar bibit mangrove atau bahan-bahan organik yang dihasilkan dari tanaman bakau.

Pesisir Desa Kuala Selat terdampak abrasi dan intrusi air laut cukup parah. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melalui program Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) mulai lakukan pemulihan.  Mereka mulai tanam mangrove pada areal bekas kebun kelapa masyarakat yang mati terendam air laut lewat dana dari Bank Dunia. Kini, kepiting bakau mulai datang dan berkembang biak.

Sejak September 2024, Provincial Project Implementation Unit (PPIU) M4CR Riau, fasilitasi penanaman 124 hektar kawasan mangrove. Ia melibatkan partisipasi lima kelompok masyarakat (pokmas), masing-masing 20-30 anggota.

Pelibatan masyarakat tercapai setelah sosialisasi, pra kondisi dan ada kesepakatan dengan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (padiatapa), satu bulan sebelumnya. Jauh sebelum itu, Hartono, Kepala BRGM, sudah berulangkali mengunjungi desa yang berhadapan dengan Kepulauan Riau itu.

BRGM pun beri ruang bagi perempuan untuk partisipasi langsung dalam pemulihan ekosistem mangrove di Kuala Selat. Syarat pendirian pokmas harus memenuhi kuota minimal 30% perempuan. Beberapa pokmas perempuan sebagai ketua kelompok.

“Ibu-ibu kader pecinta mangrove desa itu tangguh terutama dalam pembibitan. Sekarang, di Kuala Selat sudah ada pembibitan dan terus berlanjut. Dikelola pokmas bersangkutan juga untuk penyulaman,” kata Muhammad Arif Fachrurozi, PPIU Manager M4CR Riau, 11 Februari lalu.

Sebagian besar bibit yang ditanam di Kuala Selat tersedia dari berbagai lapak pembibitan lokal. Kalau kurang, mereka ambil dari Desa Bente, Kecamatan Mandah, paling dekat dari Kuala Selat. PPIU M4CR Riau memastikan suplai bibit tidak jauh dari lokasi penanaman.

M4CR, katanya,  tak hanya berkutat pada penanaman bibit mangrove semata.

Setelah penetapan pelaksana pokmas, mereka dapat fasilitas penunjang berupa sekolah lapang. Ada pelatihan pembibitan hingga pemeliharaan setelah penanaman.

“Sekolah lapang itu sebelum menanam. Termasuk, pemuliaan bibit, memperlakukan bibit sebagai barang hidup sesuai standar. Kegiatan difasiltasi melalui 31 penyuluh untuk mengajar kelompok masyarakat,” kata Arif.

BRGM beri ruang pada perempuan terlibat langsung dalam pemulihan ekosistem mangrove dengan M4CR. Foto BRGM.

Sebenarnya, sebagian anggota pokmas Kuala Selat tidak asing dengan pemulihan mangrove. Mereka sudah bersentuhan ketika pemerintah menyalurkan program pemulihan ekonomi nasional (PEN), melalui pembibitan dan tanam menanam mangrove. Jadi, sudah terlatih, tinggal melanjutkan kegiatan serupa.

Di Kuala Selat, PPIU M4CR Riau minta pokmas menanam model rumpun berjarak. Mereka mesti bangun pagar persegi empat berbahan bambu terlebih dahulu. Selanjutnya, puluhan hingga ratusan bibit mereka tanam di sana.

Kuala Selat tak ada bambu. Pokmas mesti mendatangkan bahan baku dari Kecamatan Gaung. Praktik penanaman ini mempertimbangkan kuat dan tinggi ombak Kuala Selat, terutama pada penghujung hingga awal tahun. Saat ini, daerah terkena abrasi itu belum memiliki break water atau alat pemecah ombak (APO).

Penanaman ala rumpun berjarak yang tersebar di beberapa titik itu juga agak jauh dari lokasi rawan gelombang.

Sebelumnya, PPIU M4CR Riau sudah merancang permodelan elevasi untuk mendapat titik lokasi dengan tingkat perendaman paling sedikit. Juga,  memperbaiki tanggul mekanik masyarakat petani buat batasi penyebaran air.

“Karena kalau terendam terus mangrove akan mati. Harusnya ada break water lalu bikin rekayasa hidrologi, sehingga air di dalam terkontrol,” ucap Arif.

Dalam peta jalan antisipasi bencana ekologis melalui pemulihan ekosistem mangrove di Kuala Selat, PPIU M4CR Riau merencanakan pembuatan pemecah ombak. Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera III menyusun detail engineering design (DED). Proyek ini segera mereka laksanakan.

Warga Kuala Selat, Inhu, Riau, mulai lakukan rehabilitasi mangrove. Foto: BRGM

Pemulihan hutan mangrove, kepiting bakau mulai datang

Target pemulihan ekosistem mangrove di Kuala Selat dalam program M4CR secara keseluruhan ditetapkan seluas 1.200 hektar. Semua tersebar pada arel bekas kebun kelapa masyarakat. Hanya saja baru 429 hektar disetujui si pemilik kebun. Setelah capaian penanaman 2024, tahun ini akan diteruskan penanaman 305 hektar tersisa.

Arif optimis akan ada potensi penambahan luasan target pemulihan. Apalagi, sebagian masyarakat sudah mulai menikmati dampak baik langsung maupun tidak langsung.

Kepiting bakau pun mulai kembali datang dan berkembang biak. Januari lalu, Arif mengonfirmasi masyarakat Kuala Selat mulai menebar pento atau perangkap kepiting pada rumpun-rumpun tempat mangrove tumbuh. Kepiting bakau itu, mengejar bibit mangrove atau bahan-bahan organik yang dihasilkan dari tanaman bakau.

Penanaman mangrove di Kuala Selat, tiga sampai empat bulan belakangan, telah menunjukkan hasil positif bagi biota laut lain yang bergantung pada ekosistem mangrove. Burung bangau banyak berdatangan di sekitar areal intervensi meski mangrove baru tumbuh dengan daun enam dan delapan.

Nurjaya,  Kepala Desa Kuala Selat, tak pungkiri perekonomian masyarakat terbantu sejak ada pemulihan ekosistem mangrove dengan swakelola itu.

“Masyarakat jadi paham dan lebih mencintai mangrove. Kami berharap program pemulihan mangrove tetap berlanjut dan terbangun alat pemecah ombak untuk menahan laju abrasi di Kuala Selat.”

Keberhasilan kecil itu akan jadi daya tawar PPIU M4CR Riau mengajak masyarakat Kuala Selat lebih banyak terlibat memulihkan ruang hidup mereka. Terutama,  yang belum setuju bekas kebun kelapa mereka untuk rehabilitasi.

“Rata-rata generasi kedua lebih terbuka dan menerima bekas kebun keluarga mereka dipulihkan dengan tanaman mangrove. Sebagian generasi pertama yang membangun kebun kelapa dari awal masih keberatan,” kata Arif.

Saat ini, PPIU M4CR Riau masih berfokus pada perkebunan masyarakat bagian selatan. Bagian utara mulai terancam setelah tanggul mekanik terkonfirmasi sudah jebol, sekitar 15 Januari lalu.

Saat ini, ada dilema di tengah masyarakat Kuala Selat untuk menerima imbalan atas jasa penanaman mangrove atau jadi buruh di kebun kelapa di desa-desa tetangga. Perbandingannya, upah memanen kelapa Rp250.000 per hari, sedang tanam mangrove cuma Rp120.000.

Memang, harga kelapa tengah melambung tinggi pada kisaran Rp6.000-Rp7.000 per biji. Tertinggi sepanjang sejarah. Namun, katanya,  pasokan kelapa sedang seret.

Bahkan, PT Pulau Sambu, perusahaan pengolahan kelapa sejak 1967 dan terbesar di Indrigiri Hilir banyak mengistirahatkan karyawan. Sebagian adalah masyarakat Kuala Selat.

Sebenarnya, program M4CR tidak berhenti setelah penanaman mangrove. Pendanaan Bank Dunia US$100 juta—mencakup empat provinsi:  Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara termasuk Riau—hingga 2027 juga memfasilitasi peningkatan ekonomi masyarakat.

Hal itu sejalan dengan konsep percepatan rehab mangrove dengan pendekatan teknis dan biofisik melalui kerangka 3M: memulihkan untuk mangrove rusak dan terbuka, meningkatkan mangrove kerapatan sedang dan mempertahankan lanskap mangrove masih bagus. Selain itu, penguatan kelembagaan melalui desa mandiri peduli mangrove.

Pembibitan mangrove di Desa Kuala Selat untuk kegiatan pemulihan pesisir. Foto BRGM.

Sampai tenggat waktu nanti, katanya, PPIU M4CR Riau harus menyelesaikan target pemulihan ekosistem mangrove 7.498 hektar. Sepanjang 2024, terlaksana penanaman 1.683 hektar, semua di Indragiri Hilir. Selain Kuala Selat, juga menyasar 19 desa pada tujuh kecamatan dengan partisipasi 56 kelompok masyarakat.

“Kenapa baru di Indragiri Hilir? Karena secara kelembagaan dan ketersediaan bibit baru siap di sana.”

Tahun ini, PPIU M4CR Riau akan memperluas intervensi di Kepulauan Meranti, Pelalawan, Bengkalis, Rokan Hilir dan sedikit lagi di Indragiri Hilir.

Program ini, katanya,  diperkuat dengan pemeliharaan dan pengembangan usaha masyarakat. Ia semacam stimulus bagi kelompok yang berhasil dan konsisten memulihkan ekosistem mangrove.

Pemberian modal usaha lengkap dan terarah, katanya,  mempertimbangkan potensi di desa target intervensi pemulihan ekosistem mangrove. Misal, pembesaran kepiting atau produk turunan lain dari mangrove itu sendiri. Catatannya, pokmas terkait berkomitmen melanjutkan rehabilitasi mangrove setelah pemeliharaan tahun kedua.

PPIU M4CR Riau juga membentuk komite investasi tingkat provinsi. Ia melibatkan Dinas Peternakan, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Perkebunan dan dua akademisi Universitas Riau.

Tim ini, katanya,  akan menilai kelayakan proposal dan beri rekomendasi pelatihan terhadap pokmas pemohon.

Selain bantuan usaha, PPIU M4CR Riau fasilitasi pokmas binaan melengkapi administrasi usaha, seperti sertifikasi halal maupun izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Mengingat, hampir seluruh daerah pesisir Indragiri Hilir, termasuk Kuala Selat, mampu menghasilkan kerupuk amplang berbahan baku ikan dan udang.

“Ini strategi pemberdayaan ekonomi. M4CR ingin ciptakan sebuah gerakan sosial. Merehabilitasi mangrove, menjaga, menanam dan melestarikan. Menjadi sebuah adaptasi atau kebiasaan baru masyarakat pesisir,” kata Arif.

Kebun kelapa mati di Kuala Selat. Saban hari ancaman kian bertambah luas. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia.

Setop alih fungsi, 2.5o0 hektar daratan Inhu hilang

Kilas balik ke belakang, Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Indragiri Hilir, Riau, mulai alami bencana ekologis, abrasi dan intrusi sejak 1987,  melihat hasil tangkapan foto udara dengan citra satelit resolusi tinggi. BRGM memperkirakan 2.500 hektar daratan hilang.

Kerusakan terdorong alih fungsi kawasan mangrove menjadi perkebunan kelapa. Dampak pertama, rumah penduduk tak mampu melawan besarnya ombak Selat Malaka hingga terpaksa beralih ke tempat lebih aman. Pergeseran pemukiman itu sudah terjadi berulang kali.

Dampak lanjutan paling dahsyat,  katanya, air laut perlahan namun pasti menyentuh perkebunan masyarakat dan mematikan sumber ekonomi utama mereka. Setidaknya,  2.000 hektar perkebunan kelapa terdampak dengan berbagai macam skala. Mayoritas tak lagi produktif dan tinggal tegakan pohon gundul, tanpa daun apa lagi buah.

“Setiap hari, ada penambahan luasan dampak masuknya air laut. Semakin banyak kebun kelapa terendam,” kata Arif.

Tanggul mekanik buatan masyarakat petani pun tak mampu membendung air laut karena terus-terusan jebol.

Sigit Sutikno,  Ketua Pusat Unggulan Iptek Gambut dan Kebencanaan Universitas Riau, prihatin dengan keadaan Kuala Selat. Risiko kerusakan pesisir dan perkebunan kelapa akan terjadi lebih banyak lagi. Saat ini, kebun kelapa yang mati sekitar empat kilometer dari garis pantai ke daratan, selebar sekitar 4,5 kilometer.

“Jauh sekali. Itu kondisi September, tahun lalu. Sekarang, mungkin lebih jauh lagi sebab kebun kelapa terkena air laut bertambah terus,” katanya, Februari lalu.

Kondisi kawasan pesisir Kuala Selat yang sebagian besar mangrove-nya telah hancur diterjang arus laut dan tidak mampu lagi menahan abrasi. Dok: Imam Taufik

Pemantauan Sigit, setelah beberapa kali ke Kuala Selat, setidaknya satu kilometer dari laut ke daratan semula adalah kawasan mangrove beralih fungsi jadi perkebunan kelapa. Tanggul untuk mencegah air laut masuk pun tidak memperhitungkan pasang tertinggi. Biasanya terjadi setiap 18 tahun sekali, seperti 6-8 Desember 2022.

“Tanggul terbuat dari tanah tidak boleh terlewati air. Pasti jebol karena semakin hari terus terkikis ombak. Setelah terkena air asin, satu bulan kemudian, kelapa pasti akan mati. Kejadian itu terus mengekspansi areal perkebunan tersisa,” kata Sigit.

Penyebab lain kerusakan ekosistem mangrove di Kuala Selat juga penebangan liar. Di Indragiri Hilir, lazim pakai kayu bakau sebagai bahan baku cerocok pembuatan pondasi bangunan.

Sigit mendorong,  rehabilitasi mangrove harus dengan regulasi atau kebijakan pemerintah daerah mencegah kerusakannya. Minimal 500 meter tutupan mangrove harus tersedia membentengi daratan dari laut.

Pemerintah Indragiri Hilir, harus berani menetapkan keputusan berhenti pakai kayu bakau pada tiap proyek pembangunan gedung. Termasuk,  mendirikan ruko (rumah toko) dan gedung walet yang menjamur di Tembilahan, pusat pemerintahan Inhi.

Dia menawarkan pemerintah dapat beralih pakai tiang pancang dari beton (paku bumi).

“Rehab mangrove itu biayanya besar, keberhasilan rendah namun degradiasi cepat. Pendanaan dari Bank Dunia harusnya juga mendorong penerapan kebijakan dan penegakan hukum.”

Pemukiman di Kuala Selat langsung berhadapan dengan laut. Sudah berulangkali terjadi pergeseran. Foto Suryadi, Mongabay Indonesia.Pemukiman di Kuala Selat langsung berhadapan dengan laut. Sudah berulangkali terjadi pergeseran. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia.

***

Kala Desa Kuala Selat Terancam Hilang, Bagaimana Upaya Penyelamatan?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|