- Sulawesi Utara merupakan provinsi penghasil tuna terbesar di Indonesia. Tapi, mulai awal tahun 2025, para nelayan di provinsi ini harus bersiap menghadapi kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), yang mengatur zonasi dan mengendalikan tangkapan ikan lewat sistem kuota.
- Penerapan PIT, bakal mempengaruhi para nelayan tuna di Sulut. Selama ini para nelayan di Sulut mendapat ‘bonus’ geografi melaut pada 2 zonasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP), bakal diatur hanya bisa menangkap hanya pada 1 zona sesuai zonasi PIT.
- Ikatan Pengusaha Perikanan Sulut menilai perlu pemutakhiran beberapa ketentuan dalam PIT sesuai kondisi di lapangan, misalnya perluasan batasan wilayah 12 mil untuk nelayan lokal, dan pembebasan zona bagi kapal-kapal di bawah 20 gros ton (GT).
- Meski cukup ideal, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menilai perlunya perbaikan beberapa hal dalam kebijakan PIT dan perlu tambahan waktu untuk uji coba di beberapa tempat sebelum diterapkan secara nasional
Alanuari Tamengge adalah nelayan sekaligus pengusaha tuna yang terbilang ‘hijau’. Baru setahun belakangan, lelaki asal Desa Tambala, Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara ini, menceburkan diri dalam bisnis tersebut.
Meski demikian, usaha di sektor perikanan bukan hal baru buatnya. Sejak remaja, Alan, sapaan akrabnya, sudah terbiasa ikut orang tuanya melaut maupun menjual hasil tangkapan ke pasar-pasar. Pengalaman inilah yang dia jadikan bekal untuk menjalankan usaha.
Maka, tidak begitu mengherankan jika pengusaha berusia 30 tahun ini ogah sekadar berpangku kaki menunggu hasil tangkapan. Tiap ada kesempatan, dia akan ikut dengan pekerja di kapalnya. “Untuk tangkap tuna, modal sekali melaut antara Rp7-10 juta. Itu sudah terhitung kebutuhan bahan bakar solar, makan dan rokok buat 3-5 pekerja,” terang Alan, awal Desember 2024.
Dengan kapal berukuran 7 gross tonage (GT), mereka biasanya menempuh perjalanan laut sekitar 50-90 mil ke arah Sangihe, Halmahera ataupun Teluk Tomini. Rentang waktu yang dibutuhkan untuk menangkap tuna, katanya, paling cepat seminggu dan paling lama sebulan.
Di atas kapal, Alan telah menyediakan dua coolbox (kotak penyimpanan ikan) yang bisa menampung 15-20 ekor tuna. “(Daya tampung coolbox) tergantung ukuran. Kalau rata-rata tuna 40 kg bisa sampai 20 ekor (tampung di coolbox). Kalau 50 kg ke atas, mungkin bisa 15 ekor masuk coolbox,” ujarnya.
Begitu hasil tangkapan tiba di darat, dia sendiri yang akan mendistribusikan ke pasar atau pengumpul ikan. Tuna yang dia dapat kemudian dijual dengan sistem checker (penilaian kualitas) dengan rentang harga Rp30-40 ribu/kg untuk kategori A dan B, serta Rp20-25 ribu/kg untuk tuna kategori C.
Selain itu, Alan juga menjual tuna dengan cara memisahkan potongan daging dari kepala, kulit, tulang dan organ dalam ikan atau yang disebut loin. Kalau daging tuna masih bagus, yang diidentifikasi dari warna kemerahan, harganya bisa mencapai Rp70 ribu/kg.
“Tapi, kalau warna daging sudah terlihat pucat, harga jualnya turun ke kisaran Rp50-60 ribu/kg,” ungkapnya.
Baca : Budi daya Ikan Tuna: Harapan Baru untuk Perikanan Indonesia
Sektor perikanan, terutama tuna, di Sulawesi Utara masih terbilang menjanjikan. Pada tahun 2022 provinsi ini memproduksi 57.617 ton dengan nilai sebesar Rp2,641 miliar. Angka itu menempatkan Sulawesi Utara sebagai provinsi penghasil tuna terbesar di Indonesia. Ikan-ikan ini kemudian diekspor ke sejumlah negara, di antaranya Thailand, Amerika Serikat, Filipina, Kanada, Jepang dan Singapura.
Tapi, mulai awal tahun 2025, nelayan di Sulawesi Utara seperti Alan harus bersiap menyesuaikan diri dengan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Kebijakan yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.11 tahun 2023 ini, akan mengatur zona dan mengendalikan tangkapan ikan lewat sistem kuota.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beralasan, kebijakan PIT dibuat untuk menjawab masalah turunnya hasil perikanan tangkap di Indonesia. Kondisi tersebut dianggap ironis karena 13 persen dari 90 juta ton produksi sumber daya ikan laut dunia berasal dari Indonesia.
Terhimpit Zona PIT
Lewat kebijakan PIT, pemerintah mengelompokkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ke dalam 6 zona. Di antaranya, zona 1 (WPP 711), zona 2 (WPP 716 & 717), zona 3 (WPP 715, 718 dan 714), zona 4 (WPP 572 dan 573), zona 5 (WPP 571) dan zona 6 (WPP 712 dan 713).
Menariknya, selama ini nelayan-nelayan di Sulawesi Utara mendapat ‘bonus’ geografi. Alanuari Tamengge mengatakan, biasanya dia menangkap ikan di WPP 716 yang kini masuk zona 2 PIT. Juga, WPP 715 yang masuk zona 3 PIT.
Saat angin kencang bertiup dari utara, dia akan mengarahkan kapal ke perairan Hamlahera ataupun Teluk Tomini (WPP 716). Sementara, ketika angin bertiup dari selatan, penangkapan ikan dilakukan di sekitar perairan Sangihe (WPP 715).
Alan khawatir, PIT akan mengganggu kebiasan itu. Sebab, nantinya, pengusaha atau penangkap ikan hanya boleh melakukan penangkapan di satu zona PIT di atas 12 mil laut, sesuai yang tercantum pada Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).
“Ruang gerak jadi terbatas. Tadinya leluasa mau ke manapun, yang penting surat kapal lengkap, nanti tidak bisa lagi,” katanya. “Kalau cuaca buruk di perairan Sangihe dan tidak boleh menangkap di sekitar Halmahera atau Teluk Tomini. Keluarga saya mau makan apa?”
Baca juga : Masih Besarkah Potensi Perikanan Tuna di Indonesia?
Kekhawatiran Alan mendapat dukungan dari Tasbih, staf lapangan wilayah Bitung Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI). Menurutnya, pembatasan wilayah tangkap itu menimbulkan kendala bagi nelayan di Sulawesi Utara.
Dia contohkan, beberapa kapal nelayan pole and line yang menangkap ikan di WPP 716 kerap mengambil umpan di WPP 715. Selain itu, mereka juga harus mengikuti gerak ikan pancingan yang bisa membawa mereka ke WPP atau zona lain. Ketika zona PIT berlaku, aktivitas itu tidak bisa lagi dilakukan.
“Beda dengan kapal handline, biasa tangkap di rumpon atau rakit. Kalau pole and line, kejar gerombolan ikan. Makanya agak susah kalau ada pembatasan wilayah,” ujar Tasbih, ketika ditemui di Pulau Lembeh, awal September 2024.
Perlu Revisi Aturan PIT
Budi Wahono, Ketua Ikatan Pengusaha Perikanan Sulut menilai, beberapa ketentuan dalam kebijakan PIT harusnya lebih dimutakhirkan. Misal, dengan meningkatkan batasan wilayah 12 mil untuk nelayan lokal, serta pembebasan zona bagi kapal-kapal di bawah 20 GT.
Dalam PP tentang PIT, nelayan lokal didefinisikan sebagai nelayan yang berdomisili pada provinsi di zona PIT sesuai dengan kartu tanda penduduk atau surat keterangan domisili atau domisili usaha, serta melakukan penangkapan ikan sampai dengan 12 mil laut.
Budi menilai, definisi nelayan lokal dalam PIT sudah tidak relevan dengan situasi penangkapan ikan belakangan waktu. Sebab, nelayan disebutnya sulit mendapat tuna di wilayah perairan dengan batasan 12 mil laut.
“Khusus nelayan lokal, definisi ini harus diubah, jangan dipakai terus. Tangkap tuna harus di atas 12 mil. Tidak ada di bawah 12 mil. Kemudian kapal-kapal di bawah 20 GT, dibebaskan saja,” ujarnya.
Seturut kebijakan PIT, kapal-kapal 5-30 GT dan di atas 30 GT yang melakukan penangkapan ikan di atas 12 mil harus memperoleh perizinan berusaha dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Sedangkan, kapal ukuran 5-30 GT di wilayah sampai dengan 12 mil, perizinan berusahanya diterbitkan oleh gubernur. Sementara, nelayan kecil disebut mendapat sejumlah kelonggaran.
Baca juga : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Parid Ridwanuddin, pengamat kelautan dan perikanan menyebut, PIT akan semakin mempersulit aktivitas nelayan kecil. Sebab, dia contohkon, untuk akses kuota industri dan kuota nelayan lokal, nelayan kecil yang diprioritaskan adalah orang per orang yang tergabung dalam koperasi.
“Sementara bikin koperasi bukan hal sederhana. Yang sudah bikin koperasi saja tidak jalan lagi,” ungkapnya.
Di samping itu, bagi nelayan di daerah kepulauan, keterbatasan teknologi komunikasi membuat mereka harus melakukan pengurusan secara langsung ke kantor pemerintah provinsi, jika ingin memperoleh kuota nelayan lokal. Sementara, untuk menjangkau ibu kota provinsi, nelayan kepulauan harus keluarkan biaya besar.
“Banyak nelayan harus keluar biaya besar urus perizinan. Untuk daerah kepulauan, mau tidak mau, harus naik kapal laut atau pesawat untuk urus izin ke gubernur,” ujar Parid.
Efisiensi Pemasaran
Ukon Ahmad Furkon Direktur Perizinan dan Kenelayanan Dirjen Perikanan Tangkap KKP, dalam acara Dialektika Penangkapan Ikan Terukur mengatakan, nelayan kecil yang kapasitas kapalnya hingga 5 GT tidak dibebankan surat izin penangkapan ikan (SIPI), dibebaskan pungutan, serta boleh menangkap ikan di wilayah mana saja. “Jadi kemudahannya sangat luar biasa,” katanya.
Menurut Ukon, penetapan zona tangkapan dalam kebijakan PIT justru ditujukan untuk meningkatkan efisiensi. Misal, kapal penangkap ikan di zona 3 tidak perlu lagi membawa ikan ke Jawa yang butuh waktu panjang dan biaya mahal. Cukup daratkan di pelabuhan pangkalan terdekat.
Dengan begitu, diharapkan terjadi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di kota-kota perikanan di wilayah timur Indonesia. “Kalau sebagian aktivitas ini bisa kita sebar ke wilayah timur, otomatis bisa menyerap tenaga kerja, UMKM tumbuh, bisa ekspor langsung, pelaku usaha bisnisnya efisien,” katanya.
Perlu dibaca : Penangkapan Ikan Terukur Dijanjikan Mulai Beroperasi Per 1 Januari 2025
Budi Wahono mengakui, kebijakan zonasi PIT bisa menumbuh-kembangkan industri perikanan di zona terkait. Meski demikian, dia memberi catatan, hal itu baru bisa tercapai kalau pemerintah ikut membantu persoalan logistik, akses pembeli, hingga kebijakan khusus bagi daerah yang infrastrukturnya belum mumpuni.
“Harus ada relaksasi di daerah yang belum ada pembelinya. Kemudian, daerah yang infrastrukturnya rendah harus diupgrade atau diizinkan lintas zona,” terang Budi.
Mohammad Abdi, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menilai, kebijakan PIT terbilang ideal dari sisi konsep dan filosofi. Namun, seturut pengamatannya, terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki. Di antaranya, sosialisasi PIT, kesiapan sarana dan prasarana, sistem pendataan, dan sistem kuota.
Dari situ pihaknya menyarankan pentahapan pelaksanaan PIT. Abdi mencontohkan modeling PIT yang diselenggarakan pada pertengahan 2024, perlu direplikasi di tempat-tempat lain juga. “Karena uji coba masih terbatas di zona 3, saya kira ini bisa jadi modal kalau direplikasi ke zona-zona lain. Kalau sistemnya baik, mungkin PIT bisa diterapkan penuh tahun 2026,” pungkasnya. (***)
10 Tahun Kebijakan Perikanan: Realita Perikanan Berkelanjutan Indonesia