- Orang tak dikenal datang memukuli Sulfianto Alias, Direktur Perkumpulan Panah Papua, di Teluk Bintuni, Papua Barat, Jumat (20/12/24), sekitar pukul 00.30 dini hari. Sulfianto pun dilarikan ke rumah sakit karena luka serius di bagian kepala.
- Sulfianto dikenal aktif melakukan pembelaan hak-hak masyarakat adat dan advokasi kejahatan lingkungan hidup di Kabupaten Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana dan sekitar. Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan ratusan aktivis mengecam tindakan brutal para pelaku terhadap Sulfianto. Mereka mengutuk aksi melanggar HAM itu.
- Walhi menyebut kejadian yang menimpa Sulfianto merupakan bagian dari rangkaian kekerasan dan kriminalisasi yang dialami pejuang lingkungan. Walhi mencatat ada 1.131 orang di Indonesia, mengalami kekerasan dan kriminalisasi karena membela lingkungan kurun 2014-2024. Jumlah itu terdiri dari 1.086 laki-laki dan 34 perempuan. Bahkan, 11 orang masih anak-anak. Dari kasus itu, 544 orang berlanjut ke meja hijau.
- Polres Bintuni, Papua Barat, bergerak menangkap para pelaku. Menurut laporan media lokal, sedikitnya lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kejadian itu. Kelima orang itu berinisial LA, LM, FM, BM dan DA. Dari kelima tersangka, satu merupakan anak mantan calon bupati yang kalah pada pilkada 27 November lalu. Sedangkan satu tersangka lain sebagai anggota Polres Bintuni.
Orang tak dikenal datang memukuli Sulfianto Alias, Direktur Perkumpulan Panah Papua, di Teluk Bintuni, Papua Barat, Jumat (20/12/24), sekitar pukul 00.30 dini hari. Sulfianto pun dilarikan ke rumah sakit karena luka serius di bagian kepala.
Sulfianto dikenal vokal mengkritik berbagai kebijakan pemerintah perihal Papua. Kejadian yang menimpa pejuang lingkungan dan HAM ini pun sudah dilaporkan ke kepolisian.
Berdasar informasi yang Mongabay kumpulkan, pengeroyokan itu terjadi saat korban hendak keluar dari kafe di kawasan Kalitubi. Tiba-tiba saja, para pelaku, satu orang anggota polisi mendatanginya.
Dengan dalih akan pemeriksaan, pelaku lantas membawa korban. Bukan ke Mapolres, pelaku membawa korban ke tengah hutan yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi.
“Dia bilang akan ke Polres, jadi saya ikut. Ternyata dibelokkan ke hutan dan memukuli saya, “ kata Sulfianto kepada Mongabay.
Wawancara dilakukan Mongabay melalui telepon koleganya lantaran handphone-nya dirampas para pelaku.
Sulfianto bilang, para pelaku memaksa menyerahkan dan membuka kunci selulernya. Sembari itu, mereka menghajar secara brutal dengan kayu dan batu.
Korban sempat berusaha menyelamatkan diri dan bersembunyi. Para pelaku mengejar dan menyeretnya. Satu dari mereka bahkan mengeluarkan pistol dan mengancam menembak Sulfi.
Para pelaku menuduh dia terlibat politik praktis dengan mendukung pasangan calon di pilkada serentak beberapa waktu lalu. Selain itu, mereka juga meminta korban untuk tidak terlalu vokal.
“Jangan terlalu keras kau bersuara aku bunuh kau,“ ujar Sulfianto, menirukan ancaman para pelaku. Namun, tudingan itu dia bantah.
Dia bilang, “kedekatannya” dengan paslon yang belakangan terpilih sebagai Bupati Bintuni semata bagian dari kerja-kerja advokasi untuk memperjuangkan hak masyarakat adat. “Tidak yang lain,” kata Sulfianto.
Keberadaan masyarakat adat makin tersingkir seiring kampanye investasi oleh pemerintah. Menurut Sulfianto, banyak wilayah adat tergerus demi membuka jalan investasi.
Praktik kekerasan para pelaku ini, katanya, ancaman bagi orang-orang yang menyuarakan HAM dan lingkungan.
Dia mendorong kepolisian mengusut tuntas kasus ini. “Praktik seperti ini tidak boleh dibiarkan. Polisi harus menindak tegas, termasuk pada anggotanya yang terlibat.”
Pernyataan serupa disampaikan anggota DPRD, Roy Masyewi. Aksi pengeroyokan terhadap Sulfianto merupakan preseden buruk terhadap demokrasi dan kemanusiaan di Indonesia.
Undang-undang, kata Roy, menjamin perlindungan terhadap para pejuang HAM dan lingkungan. Maka, praktik-praktik kekerasan yang menyasar para aktivis harus dilawan.
“Ini tidak bisa ditolerir. Apa yang mereka lakukan, menegaskan mereka anti demokrasi, anti kemanusiaan,” kata Roy juga berlatar belakang aktivis itu.
Oknum polisi terlibat
Polres Bintuni, Papua Barat, bergerak menangkap para pelaku. Menurut laporan media lokal, sedikitnya lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kejadian itu.
Kelima orang itu berinisial LA, LM, FM, BM dan DA. Dari kelima tersangka, satu merupakan anak mantan calon bupati yang kalah pada pilkada 27 November lalu. Sedangkan satu tersangka lain sebagai anggota Polres Bintuni. Polisi pun sudah menahan para tersangka.
“Betul, ada satu anggota kepolisian yang terlibat. Kemungkinan dia yang membawa pistol,” kata Roy kepada Mongabay.
Dia pun meminta kepolisian transparan dalam mengusut kasus ini.
Irjen Sandi Nugroho, Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho tidak membalas permintaan wawancara yang Mongabay sampaikan lewat aplikasi pesan instan, sampai Minggu (22/12/24).
Banjir kecaman, usut tuntas
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan ratusan aktivis mengecam tindakan brutal para pelaku terhadap Sulfianto. Mereka mengutuk aksi kekerasan dan mendesak usut tuntas.
Sulfianto dikenal aktif melakukan pembelaan hak-hak masyarakat adat dan advokasi kejahatan lingkungan hidup di Kabupaten Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana dan sekitar.
Sebelumnya, Sulfi juga mengadvokasi kasus kejahatan lingkungan yang diduga melibatkan sejumlah perusahaan perkebunan sawit dan perusahaan berskala besar.
“Kami pemimpin organisasi masyarakat sipil dan pembela HAM lingkungan hidup mengecam keras tindakan kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan orang-orang secara melawan hukum dan brutal terhadap korban, “ tulis pernyataan bersama mereka.
Mereka mendesak, Kapolres Teluk Bintuni segera mengungkap berbagai motif dan mengadili pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan ini, serta memberikan sanksi seadil-adilnya.
M Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) saat dihubungi Mongabay menyebut, kerja Sulfianto dilindungi UU dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sampai UU Hak Asasi Manusia. Juga, perangkat aturan dari Perserikatan Bangsa-bangsa tentang deklarasi pembela HAM.
“Indonesia dan seluruh dunia sangat memperhatikan dan menaruh perhatian serius pada orang-orang seperti beliau,” katanya.
Apa yang menimpa Sulfianto, merupakan keteledoran dari negara yang seharusnya memberikan perlindungan. Di tengah banyaknya instrumen perlindungan, katanya, serangan brutal ini menunjukkan bagaimana negara kecolongan melindungi warga.
“Sesegera mungkin. Polisi harus menangkap (pelakunya).”
Kalau tidak, pemerintah dan kepolisian turut andil dalam mendiamkan kekerasan ini. Bukan tidak mungkin, kejadian serupa bisa terjadi, tak hanya menimpa pejuang lingkungan dan HAM, juga pada jurnalis dan elemen masyarakat lain.
LBH, kata Isnur, akan mengawal dan mengawasi proses kasus ini. “Karena ini bisa jadi ancaman buat semua orang. Termasuk polisi-polisi yang masih bersih. Ini bahaya kalau didiamkan.”
Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM, menyesalkan peristiwa ini. Para pejuang HAM dan lingkungan, katanya, memiliki kerentanan ketika melakukan advokasi. “Semestinya ini bisa dicegah, karena sudah ada instrumen hukumnya, termasuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup.”
Kasus penganiayaan terhadap Sulfianto ini, katanya, sudah masuk ke mereka. “Pengakuannya sudah masuk. Pasti akan ditindaklanjuti sesuai kewenangan kami,” katanya melalui aplikasi percakapan.
Fenomena gunung es
Walhi lewat siaran pers menyebut kejadian yang menimpa Sulfianto merupakan bagian dari rangkaian kekerasan dan kriminalisasi yang dialami pejuang lingkungan.
Walhi mencatat ada 1.131 orang di Indonesia, mengalami kekerasan dan kriminalisasi karena membela lingkungan kurun 2014-2024, atau di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Jumlah itu terdiri dari 1.086 laki-laki dan 34 perempuan. Bahkan, 11 orang masih anak-anak. Dari kasus itu, 544 orang berlanjut ke meja hijau.
Kekerasan dan kriminalisasi paling banyak terjadi di wilayah masyarakat yang bersinggungan dengan industri perkebunan, 548 kasus, pertambangan (243), kawasan strategis pariwisata nasional (KPSN) atau proyek strategis nasional (PSN) ada 292 kasus. Kemudian, perhutanan (15), infrastruktur (10) dan lain-lain 23 kasus.
Atas kejadian-kejadian ini, Walhi menyebut negara tidak pernah serius melindungi warganya.
Sisi lain, keberanian memperjuangkan hak atas lingkungan harus berhadapan dengan ancaman, intimidasi, hingga kehilangan nyawa.
Sosiolog Eko Cahyono menyebut, kasus Sulfianto sebagai fenomena gunung es dari kasus-kasus kekerasan yang masyrakat alami.
Anggapan ketidakhadiran negara dalam kasus kekerasan di berbagai tempat bukan tidak mungkin justru sebaliknya, itulah wujud kehadiran negara.
“Bahwa jangan-jangan negara memang hadir. Tapi dalam topeng lain. Dalam wujud antagonis, bukan lagi protagonis,” katanya.
Situasi seperti itu, kata peneliti Sajogyo Institut ini, menunjukkan ada restu negara dalam kekerasan terhadap pada pejuang lingkungan dan HAM, masyarakat adat, petani, dan mereka yang mempertahankan ruang hidupnya. Semua itu, katanya, karena keinginan pemerintah mengejar investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sementara, pertumbuhan ekonomi sendiri tidak tepat lagi digunakan lantaran tidak berdampak signifikan dalam kebahagiaan masyarakat.
Fokus pertumbuhan ekonomi hanya bisa dirasakan dan menguntungkan segelintir orang, pemodal atau investor yang juga memiliki peran dalam kekuasaan.
Untuk mencapai ini, tidak segan menggunakan kekerasan, membungkam elemen penting demokrasi, termasuk jurnalis dan masyarakat sipil.
“Kalau kondisinya seperti itu. Jurnalis dibuat diam, masyarakat sipil dibungkam, ini tandanya negara kita menuju otoritarianisme.”
********