Upaya Konservasi Lewat Pustaka Cahaya Malako Kociak

2 weeks ago 34
  • Pembukaan Pustaka Cahaya Malako Kociak, di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau, 20 Desember 2024 disambut antusias. Anak-anak masyarakat adat Malako Kociak antre memilih buku di rak yang terletak di satu sudut ruangan bekas warung itu dan membacanya dengan nyaring. 
  • Nasrun, pemuda adat sekaligus Ketua Pustaka Cahaya Malako Kociak menyebut ruangan ini sekadar rumah baca ketika diinisiasi 21 September 2023. Koleksi buku mula-mula didominasi buku agama untuk orang dewasa. 
  • Kunni Masrohanti, Pendiri Rumah Sunting, mengatakan, kegiatan literasi konservasi menargetkan anak-anak masyarakat adat. Tujuannya, memutus mata rantai aktivitas pembalakan hutan yang tidak hanya melibatkan para orangtua.
  • Agustinus Wijayanto, Direktur Integrated Tiger Habitat Conservation Program (ITHCP), bilang, pendidikan lingkungan melalui literasi konservasi, seni, dan budaya, mampu memotivasi masyarakat, terutama generasi muda dan anak-anak, menjaga sumber daya alam. Secara khusus, tradisi dan kearifan lokal dalam kawasan konservasi.

Masyarakat Adat Malako Kociak antusias atas pembukaan Pustaka Cahaya Malako Kociak, di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau, 20 Desember 2024. Anak-anak adat memilih buku di satu sudut ruangan bekas warung dan membacanya dengan nyaring. 

Mereka berdiri, telentang, maupun duduk berkelompok dalam ruangan 4X4 meter itu. Buku-buku pun berserakan menutupi lantai coran ruangan itu selama mereka berkegiatan.

Bukan hanya jadi rumah baca, Pustaka Cahaya Malako Kociak juga ruang komunitas masyarakat adat. Ruangan berdinding kayu itu menyimpan sejumlah peralatan musik tradisional seperti calempong, tambur dan gendang. Tempat berkarya dan menyalurkan bakat.

Nasrun, pemuda adat sekaligus Ketua Pustaka Cahaya Malako Kociak menyebut, ruangan ini sekadar rumah baca ketika dari inisiasi 21 September 2023. Koleksi buku mula-mula dominan bertema agama untuk orang dewasa. 

Barulah pada 10 Februari 2024, Nasrun menerima pesan dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kampar untuk menyiapkan berkas syarat pendaftaran Pustaka. 

Dengan tengat waktu cuma dua hari, Nasrun memusyawarahkan informasi itu bersama pemuda adat lain untuk membentuk struktur pengurus dengan tiga orang. Selanjutnya, Kepala Desa Tanjung Beringin mengeluarkan surat keputusan. Mereka sepakat nama Pustaka, dan lampirkan foto-foto kondisi tempat baca, lalu kirim ke dinas.

“Cahaya menggambarkan ilmu. Malako Kociak itu melekat sebagai kejayaan masyarakat adat,” katanya, menjelaskan pemilihan nama itu.

Kemudian, Pustaka Cahaya Malako Kociak terima perangkat pendukung aktivitas literasi dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Komputer, mesin cetak, termasuk seribu buku kirim bertahap.

Saat ini, Pustaka mengoleksi sekitar 1.500 judul, dominan buku anak-anak. Tambahan juga datang dari aktivis literasi hingga mahasiswa yang melakukan tugas pengabdian di desa.

Nasrun juga telah mengikuti empat kali pelatihan dari Perpusnas. Dua diantaranya diikuti secara daring.

Pelatihan ini lah yang menginisiasinya membuat Pustaka sebagai ruang komunitas. “Tahunya selama ini tempat baca saja. Ternyata semua bisa dilakukan di Pustaka. Kegiatan budaya, seni, bahkan memasak bisa dilakukan. Ada kegiatan di pustaka, otomatis orang yang datang pasti pegang buku,” ucapnya. 

Nasrun bilang, sudah buat kesepakatan dengan kepala sekolah dan para guru di UPT SDN 017 Tanjung Beringin agar menyelipkan kegiatan sekolah di Pustaka, termasuk belajar menggunakan komputer.

Namun, katanya, masih ada kendala listrik dan jaringan telekomunikasi. Saat ini, Tanjung Beringin memiliki pembangkit listrik tenaga surya. Tiap rumah dapat daya 500-900 ampere. Untuk internet, mesti beli voucher wireless fidelity (WiFi) Rp10.000, durasi 10 jam.

Nasrun sudah mengajukan permohonan kepada kepala desa saat musyawarah tahunan untuk mengatasi hal ini, termasuk anggarkan honor, setidaknya buat satu orang pengelola pustaka.

“Saya terkadang jarang ada di desa. Sehingga Pustaka sering tutup. Kalau pemerintah desa setuju, saya mau menunjuk satu orang tamatan SMA yang tak melanjutkan kuliah, untuk mengaktifkan Pustaka setiap hari.” 

Menurut Nasrun, anak-anak akan lebih antusias berkegiatan di pustaka kalau sarana pendukung lengkap. Sejalan dengan kebijakan UPT SDN 017 Tanjung Beringin, melarang para murid menyentuh telepon seluler selama hari sekolah, termasuk di rumah, kecuali Sabtu dan Minggu.

Kalau mereka melanggar dapat hukuman. Kebijakan ini didukung orangtua murid. Sebagai gantinya, anak lebih dekat dengan permainan tradisional, seperti belajar musik lokal hingga dapat diarahkan ke pustaka di luar jam belajar.

“Motivasi saya, biar tinggal jauh di dalam (kawasan hutan konservasi), tapi ilmu jangan tertinggal. Walau banyak masyarakat tidak sekolah,” kata Nasrun.

Buku-buku dari Perpustkaan Nasional yang memenuhi Pustaka Malako Kociak. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia

Literasi konservasi

Komunitas Seni Rumah Sunting, di Pekanbaru,  yang memprakarsai   literasi Masyarakat Adat Malako Kociak ini. Selain mendirikan Pustaka, literasi dengan konsep konservasi bergerak lewat sanggar seni yang mereka bentuk lebih awal.

Kunni Masrohanti, Pendiri Rumah Sunting, mengatakan, literasi konservasi menargetkan anak-anak masyarakat adat. Tujuannya, memutus mata rantai aktivitas pembalakan hutan yang tidak hanya melibatkan para orangtua.

Desa-desa adat dalam kawasan Rimbang Baling  fasilitas pendidikannya terbatas.

Hanya ada sekolah dasar. Beberapa  sekadar melayani kelas jauh atau kelas bantu di dusun. Murid pun seadanya. Beberapa kelas bahkan tak ada peserta didik. Sekolah menengah pertama cuma ada di desa induk. Sementara sekolah menengah atas mesti ke pusat kecamatan.

Kondisi ini membuat proses belajar mengajar tak beraturan. Murid bisa sehari sekolah, seminggu libur atau baru muncul saat ujian. “Ternyata dari SMP (sekolah menenagah pertama) sudah ikut bapak mereka ke hutan seminggu sampai sepuluh hari mencari kayu,” cerita Presiden Penyair Perempuan Indonesia itu.

Kunni mengajar anak-anak di luar jam sekolah, menulis dan membaca buku di tepi sungai, di bawah pohon bahkan dalam hutan. Mendekatkan anak-anak dengan alam sebagai sumber inspirasi. Sekaligus berbagi pengetahun tentang fungsi hutan dan sungai.

Hasilnya, anak-anak mampu menuangkan pikiran di dalam sebuah puisi. Bahkan berani menyampaikan kritik dalam panggung teater yang ditampilkan di tengah-tengah masyarakat adat. 

Pohon-pohon di rimba yang ditebang orang-orang dewasa,” katanya, membacakan penggalan puisi yang dibacakan anak-anak pada satu malam di Terusan, pada 2018.

Masih terang dalam ingatannya kala orangtua yang menyaksikan panggung seni di lorong rumah perkampungan itu terdiam. Anak-anak mereka sudah mulai menyayangi pohon. Beberapa diantaranya melanjutkan sekolah kejuruan bidang kehutanan, karena ingin menjaga hutan setelah menerima pengajaran berarti.

Menurut Kunni, konservasi harus diawali dari literasi dan jangan berhenti. Sebab, tantangan dan bentuk kerusakan lingkungan terus berganti. 

Misal, setelah hutan ditebang, lokasi tersebut kemudian berubah jadi sawit. Pemandangan ini tak asing lagi di mata ketika menyusuri Sungai Subayang.

“Jadi tantangan kita tidak akan berhenti jaga hutan Rimbang Baling. Kita harus literasi kedua, kenapa sawit tidak boleh? Sekarang, masyarakat beranggapan dengan sawit mereka bisa menjaga sungai dan memastikan kehidupan tetap ada di sepanjangnya. Artinya, sawitlah yang bisa menghidupinya, saat ini.” 

Taman Baca Masyarakat (TBM) termasuk fasilitas pendidikan lainnya masih minim di sepanjang Sungai Subayang. Ketiadaan ruang literasi memengaruhi minat baca anak-anak.

Menikmati bacaan di pustaka dekat dari rumah, bisa lebih santai dengan posisi apapun. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia

Generasi muda

Agustinus Wijayanto, Direktur Integrated Tiger Habitat Conservation Program (ITHCP), bilang, pendidikan lingkungan melalui literasi konservasi, seni, dan budaya, mampu memotivasi masyarakat, terutama generasi muda dan anak-anak, menjaga sumber daya alam. Secara khusus, tradisi dan kearifan lokal dalam kawasan konservasi.

Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management Working Group ICCAs Indonesia (WGII), berpendapat, literasi penting bagi generasi muda, karena membantu mereka memahami hak-hak, merawat kearifan lokal, beradaptasi dengan teknologi, maupun perkembangan zaman, tanpa kehilangan nilai identitas budaya.

Literasi bukan hanya baca tulis, tetapi kemampuan berpikir kritis dan mengembangkan pengetahuan. Khususnya, soal nilai-nilai yang ditanamkan dan diturunkan dari generasi ke generasi oleh leluhur mereka.

Nilai masyarakat adat mencerminkan identitas dan keberadaan mereka. Kalau  nilai ini hilang, mungkin akan menghilangkan totalitas kehidupan mereka. Nilai tersebut berkaitan erat dengan hutan, alam dan sungai, sebagai ruang hidup masyarakat adat.

“Nilai-nilai itu mempertahankan model pengelolaan alam tidak eksploitatif. Sebagai generasi penerus, literasi sangat penting untuk keberlanjutan,” kata Lasti Fardilla Noor, lewat pesan tertulis.

Arbi Tanjung, Pegiat Literasi dari Pasaman Boekoe Indonesia, menilai, Pustaka Cahayo Malako Kociak merupakan hal positif bagi desa di tengah kawasan konservasi. Sebab, masyarakat adat yang hidup turun-temurun di dalamnya membutuhkan distribusi kesadaran pengetahuan.

Akses masyarakat adat dalam kawasan Rimbang Baling masih sangat terbatas. Sebab itu, taman baca—entah itu pustaka—dan kegiatan literasi menjadi penting sebagai jembatan atau simpul kesadaran, untuk tetap menjaga kekayaan alam.

Pustaka desa sekaligus jadi simbol meruntuhkan tuduhan sepihak masyarakat tidak gemar membaca. Persoalan sebenarnya, jarak fisik dan buku masih terlalu jauh. Setelah ada pustaka, tinggal mendekatkan masyarakat dengan teks. 

Untuk keberlanjutan, Arbi menyarankan perlunya sumber daya manusia yang semangat dan fokus mengelola pustaka. Orang tersebut harus lebih dulu mendekatkan diri dengan teks bacaan. Sehingga, anak-anak terpancing lebih dekat dengan buku. Generasi penerus masyarakat adat Malako Kociak itu juga jadi banyak waktu mengakses bacaan-bacaan di sana.

Giroh atau semangat dulu, baru pengetahuan pengelolaan pustaka. Bukan managerial normatif. Harus atas dasar kecintaan terhadap persoalan yang ada di kampung. Materi bacaan perlu diisi atau setidaknya dekat dengan mereka,” saran Arbi, di sela-sela residensi seniman di Tanjung Beringin, akhir tahun lalu.

Kumpulan buku di Pustaka Cahaya Malako Kociak sangat bersahabat buat anak-anak. Kelak, mereka dapat bicara tentang harimau, spesies burung, maupun air, setelah memperoleh pengetahuan dari bacaan. Materi itu yang lekat dengan kehidupan, budaya dan adat istiadat mereka sehari-hari. Apa lagi, Rimbang Baling merupakan salah satu pusat ekosistem dan keanekaragaman hayati di Riau.

Anak-anak masyarakat adat Malako Kociak mendapat ruang ilmu pengetahuan baru berupa pustaka desa. Foto Suryadi/Mongabay Indonesia

*****

Pentingnya Literasi Kebencanaan di Negeri Rawan Bencana

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|