- Udang air tawar Caridina clandestine (Secret Sulawesi Shrimp) atau udang rahasia sulawesi merupakan jenis baru yang dipublikasikan secara ilmiah pada 2023.
- Caridina clandestina memiliki dua jenis capit berbeda sebagai strategi makan yang berbeda. Ini merupakan adaptasi yang jarang ditemukan pada krustasea.
- Habitatnya berada di Sungai Lariang, sungai terpanjang di Pulau Sulawesi yang melintasi dua provinsi, yakni Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
- Profil spesies ini disiarkan stasiun radio lokal Berlin, Jerman, bernama ‘Inforadio vom rbb’ dan pendengar diminta untuk mengusulkan nama ilmiah. Nama “clandestina” merupakan usulan dari seorang pendengar bernama Martin Rümmler dari Berlin.
Keanekaragaman hayati Sulawesi kembali menjadi sorotan ilmuwan dengan penemuan spesies udang air tawar baru di Lembah Napu, Sulawesi Tengah. Nama ilmiahnya Caridina clandestine, sedangkan nama umumnya Secret Sulawesi Shrimp atau udang rahasia sulawesi.
Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal The Raffles Bulletin of Zoology pada Februari 2023, dengan judul “Caridina clandestina, new species, an unusual new freshwater shrimp (Crustacea: Decapoda: Atyidae) from the remote high elevation Napu Valley of Sulawesi, Indonesia.”
Riset ini merupakan kolaborasi peneliti Jerman dan Indonesia, yaitu Werner Klotz dari Innsbruck Medical University, Thomas von Rintelen dari Museum für Naturkunde, Annawaty Annawaty dari Universitas Tadulako, dan Daisy Wowor dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Fokusnya, menyoroti keunikan Caridina clandestina yang memiliki dua jenis capit berbeda untuk strategi makan berbeda. Ini merupakan adaptasi yang jarang ditemukan pada krustasea.
Baca: Uniknya Udang Muara, Memijah di Air Payau dan Berkembang di Laut
Capit yang unik
Caridina clandestina memiliki beberapa ciri morfologi unik dibandingkan spesies lain. Sebut saja, ukuran tubuh yang kecil, pola warna khas, dan morfologi spesifik pada bagian tubuh tertentu, seperti rostrum, pereiopoda (kaki berjalan), dan pleopoda (kaki renang).
“Uniknya, dua capitnya digunakan untuk dua cara makan berbeda. Beberapa individu memiliki capit yang dirancang untuk menggaruk makanan dari permukaan, sementara yang lain memiliki capit lebih cocok untuk menyaring partikel makanan dari air,” tulis Werner Klotz dan kolega dalam penelitian tersebut.
Fenomena ini dikenal sebagai dimorfisme chelae, yakni keberadaan dua bentuk capit berbeda dalam satu spesies. Lebih membingungkan lagi, perbedaan tersebut tidak terkait dengan jenis kelamin atau ukuran udang, melainkan diduga kuat berkaitan dengan preferensi makanan dan penggunaan mikrohabitat berbeda.
Biasanya, dimorfisme chelae pada udang dikaitkan dengan perbedaan peran antara jantan dan betina, atau perubahan tubuh seiring pertumbuhan. Namun, pada Caridina clandestina, beberapa individu memiliki capit ramping yang diadaptasi untuk menyaring partikel makanan dari air, mirip dengan spesies Caridina longidigita dari Danau Poso. Sementara individu lain memiliki capit yang lebih kuat dan bergerigi, kemungkinan digunakan untuk menggaruk alga atau detritus dari permukaan.
“Analisis data menunjukkan dua kelompok morfologi capit yang jelas tanpa tumpang tindih,” jelas laporan tersebut.
Baca juga: Mengkhawatirkan: Seperempat Spesies Hewan Air Tawar Berada dalam Ancaman Kepunahan
Sungai Lariang
Habitat Caridina clandestina berada di sungai dengan arus air sedang. Udang ini hidup di ketinggian sekitar 1.100 mdpl, menghuni bagian hulu daerah aliran Sungai Lariang dan anaknya. Sungai Lariang merupakan sungai terpanjang di Sulawesi, yang melintasi dua provinsi, yakni Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Udang-udang ini bersembunyi di antara akar rumput yang arusnya tidak terlalu kuat. Warna tubuhnya bervariasi dari cokelat ke biru dengan beberapa garis putih samar melintang di bagian punggung perutnya.
Penelitian mengenai spesies ini sebenarnya telah dilakukan sejak 2005 lalu. Saat itu, beberapa spesimen udang dari genus Caridina yang belum dideskripsikan berhasil dikumpulkan oleh salah satu peneliti saat melakukan riset lapangan di Lembah Napu. Jantan yang ditemukan, relatif kecil dan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan betina.
Pada 2017, jumlah spesimen yang lebih banyak dikumpulkan dari Lembah Napu sebagai bagian dari proyek IndobioSys Indonesia-Jerman dan kolaborasi penelitian antara Universitas Tadulako, Palu, Indonesia, dan Museum für Naturkunde, Berlin, Jerman.
Asal nama udang
Dari nama belakang yang disematkan pada udang air tawar ini yakni clandestina, ternyata memiliki cerita menarik. Kata tersebut berasal dari bahasa latin “clandestinus” yang artinya “rahasia” atau “tersembunyi”. Kata ini juga telah diserap dalam Bahasa Indonesia yakni klandestin, yang bermakna secara rahasia, gelap, atau diam-diam.
Pemberian nama tersebut bukan tanpa alasan. Selain endemik Sulawesi, udang ini diketahui hanya menghuni bagian hulu daerah aliran Sungai Lariang di Lembah Napu, yang terpencil dan sulit dijangkau.
Namun, ada makna ganda dari kata “tersembunyi” pada nama ini. Selain merujuk lokasinya yang terpencil, juga mengacu pada dua bentuk capitnya yang berbeda.
Menariknya lagi, pemberian nama ini melibatkan partisipasi publik pendengar radio di Jerman. Nama “clandestina” merupakan usulan dari seorang pendengar radio bernama Martin Rümmler dari Berlin, Jerman.
Profil spesies ini disiarkan stasiun radio lokal Berlin ‘Inforadio vom rbb’ dan pendengar diminta untuk mengusulkan nama ilmiah. Usulan Rümmler terpilih yang paling tepat, di antara hampir 100 nama lain yang diberikan.
Mengutip situs BRIN, sepanjang 2023 peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah merilis 49 penemuan taksa baru yang 37 persen ditemukan di Sulawesi, termasuk Caridina clandestine.
Kepala Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN Bayu Adjie menjelaskan, penemuan taksa baru merupakan kerja keras luar biasa.
“Taksonomi merupakan ilmu dasar mengidentifikasi keragaman hayati di sekitar kita dengan landasan ilmiah. Inilah peran penting taksonom menjalankan prosedur identifikasi,” jelasnya.
Taksonomi, tidak hanya tentang spesimen dan herbarium, tapi juga tentang teknologi sequencing DNA, whole genome sequencing, dan teknologi identifikasi lainnya.
“Hasil riset taksonomi merupakan awal penelitian biodiversitas terkait konservasi maupun bioprospeksi,” paparnya.