Tuai Kritik, Bagaimana Perkembangan PLTN di Pulau Gelasa? 

2 weeks ago 30
  • Pemerintah bersikukuh mendorong pembangunan proyek  Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di tengah banyak kritik atas rencana itu. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) bahkan telah menerima permohonan persetujuan evaluasi Tapak untuk PLTN TMSR500 yang berlokasi di Pulau Gelasa, Bangka Belitung (Babel). Berbagai kalangan mengingatkan risiko proyek ini.  
  • Haendra Subekti, Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir Bapeten, katakan, evaluasi tapak bertujuan untuk memastikan kelayakan lokasi (tapak) dalam menghadapi potensi dampak bahaya eksternal bagi PLTN dengan didasarkan pada enam aspek.Yakni, kegempaan, kegunungapian, hidrologi, meteorologi, kejadian akibat ulah manusia, dan juga aspek dispersi. 
  • Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESSR)  mengatakan,  sejatinya,  Indonesia tidak memerlukan  PLTN. Potensi sumber energi terbarukan  cukup untuk mewujudkan kemandirian energi, tanpa harus harus mengambil pilihan yang lebih riskan.
  • Abdul Haris, Juru Kampanye TUK Indonesia rencana pembangunan PLTN oleh PT Thorcon Power Indonesia (TPI) tidak sejalan dengan visi misi pemerintah. Pasalnya, ‘Asta Nawa’ Presiden Prabowo tidak pernah memasukkan PLTN sebagai jalan menuju kemandirian energi.

Pemerintah  tampaknya mendorong pembangunan proyek  Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di tengah banyak kritik dan kekhawatiran atas rencana itu. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) bahkan telah menerima permohonan persetujuan evaluasi Tapak untuk PLTN TMSR500 yang berlokasi di Pulau Gelasa, Bangka Belitung (Babel). 

Serah terima dokumen persetujuan permohonan evaluasi tapak itu  pada 13 Februari lalu. Sebelumnya, PT Thorcon Power Indonesia (TPI) mengajukan permohonan evaluasi tapak kepada Bapeten dengan Nomor Registrasi 1200001.25 pada 21 Januari 2025. Persetujuan evaluasi tapak ini merupakan syarat sebelum pemohon melakukan evaluasi tapak. 

“Persetujuan evaluasi tapak ini  langkah awal dalam proses perizinan pembangunan PLTN (reaktor nuklir),” kata Haendra Subekti, Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir Bapeten, dalam keterangan tertulisnya yang Mongabay terima. Dia  bilang, evaluasi tapak untuk  memastikan  perencanaan evaluasi tapak telah sesuai ketentuan.

Dia  mengatakan, tapak calon PLTN merupakan faktor penting yang mempengaruhi keselamatan PLTN. Karena itu, evaluasi tapak bertujuan memastikan kelayakan lokasi (tapak) dalam menghadapi potensi dampak bahaya eksternal bagi PLTN. 

Ada enam aspek  dasar evaluasi lokasi tapak, yakni,  kegempaan, kegunungapian, hidrologi, meteorologi, kejadian akibat ulah manusia, dan  dispersi. 

 Dia bilang, ada sejumlah regulasi atur pembangunan reaktor nuklir di Indonesia, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 /2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Peraturan Bapeten Nomor 3/ 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Ketenaganukliran. Juga,  Peraturan Bapeten Nomor 1/ 2022 tentang Penatalaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Ketenaganukliran. 

Selain tapak, izin wajib lain adalah izin konstruksi,  komisioning, dan  operasi. “Proses evaluasi, penilaian dan verifikasi oleh evaluator Bapeten dan pakar atau praktisi kompeten untuk memastikan terjaminnya keselamatan dalam pembangunan PLTN.”

Masih tunggu hasil evaluasi

Abdul Qohhar, Humas Bapeten mengatakan, sebelumnya TPI mengajukan Pulau Gelasa di Bangka Belitung (Babel) sebagai lokasi tapak  pembangunan PLTN di Indonesia. Perusahaan mengklaim  sudah  studi kelayakan dan menilai pulau seluas 210 hektar itu memenuhi kriteria sebagai lokasi PLTN. 

Menyusul permohonan itu, perusahaan yang berdiri pada  2021 itu wajib melakukan evaluasi tapak. “Rencana evaluasi tapak itu harus diajukan dulu ke Bapeten. Jangan sampai setelah evaluasi, ternyata proses atau hasil  tidak sesuai yang  akhirnya ditolak,” katanya. 

Dia bilang, perlu  waktu satu tahun sebelum memutuskan apakah hasil evaluasi tapak nanti dapat persetujuan  atau tidak. “Kalau pun dari hasil evaluasi perlu perbaikan, ya nanti kami kembalian. Pokoknya proses evaluasi tapak sampai selesai itu satu tahun. Ini memang masih awal banget.”  

Karena masih dalam tahap awal, Bapeten pun belum bisa memastikan apakah Pulau Gelasa sebagai lokasi PLTN pertama ini layak atau tidak.  Kepastian itu,  baru bisa  setelah evaluasi tapak selesai. 

Menurut Qohhar, studi kelayakan oleh internal perusahaan memang membuka peluang  pembangunan PLTN di Gelasa. Meski begitu, kajian  masih bersifat umum, misal,  informasi kalau di Geasa tak ada  gunung api atau gempa.

Pada evaluasi tapak, informasi ini  harus lebih detail. “Soal kegempaaan, misal evaluasi tapak harus menjelaskan lebih detail mengenai tidak ada gempa hingga ribuan tahun ke belakang. Jadi tidak mudah,”  katanya.

Beberapa tahun ini, wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir muncul di Kalimantan Barat. Beberapa wilayah di Kalbar disebutkan potensial untuk bangun PLTN. Berbagai kalangan dari organisasi seperti Walhi Kalbar, maupun pegiat lingkungan dan masyarakat, tergabung dalam Aliansi Kalimantan Barat Tolak PLTN, protes wacana ini. Foto: Walhi Kalbar

Meragukan, pertanyakan transparansi

Sebelumnya, Masyarakat di Bangka Belitung pun  menolak dan khawatir atas rencana ini.  Warga khawatir, energi nuklir berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan.  Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) mendorong, pemerintah  transparan di tengah kekhawatiran publik terkait rencana pembangunan pembangkit listrik berbasis tenaga nuklir itu. “Kenapa, karena ini menyangkut keselamatan banyak orang,” katanya saat dihubungi Mongabay melalui telepon, Rabu (19/2/25). 

Pemerintah, katanya, harus membuka semua dokumen berkaitan dengan rencana pembangunan PLTN ini. Termasuk, konsep dan  proposal yang  TPI ajukan. Dari sana, masyarakat akan mengetahui desain dan operasionalisasi pembangkit ini, terutama jenis teknologi  mereka. 

Sepanjang yang dia tahu, TPI belum memiliki pengalaman cukup untuk mengerjakan proyek dengan klasifikasi berisiko tinggi ini. Hasil penelusurannya juga tidak menemukan rekam jejak cukup mengenai proyek sejenis di tempat lain. Kesimpulannya, TPI sebagai perusahaan startup yang mencoba menjadikan Indonesia sebagai lokasi pilot project teknologi barunya melalui proyek PLTN di Gelasa.

“Belum pernah ada pilot project. Karena itu, rencana pembangunan PLTN ini tak ubahnya menjadikan Indonesia sebagai project pertama perusahaan. Inilah pentingnya supaya semua dokumen itu dibuka, biar publik juga bisa melihat secara kritis dan memberi masukan.” 

Fabby pun mempertanyakan, langkah Bapeten yang begitu saja menyetujui permohonan evaluasi tapak  perusahaan. Pasalnya, teknologi yang  akan perusahaan gunakan, tergolong baru dan belum banyak dikenal, bahkan pada tingkat global. 

“Ini bukan sangsi dengan kapasitas Bapeten. Lebih pada siapa tim evaluator yang terlibat, siapa saja konsultannya, siapa mereka, bagaimana pembiayaan konsultannya itu. Kan kami semua berhak tahu itu. Apalagi, teknologi  ini masih bersifat eksperimental.”  

PLTN Cattenom di Kota Lorraine, Perancis. Foto : Wikipedia

Mahal dan berisiko tinggi

Pada berbagai kesempatan, pemerintah kerap menyampaikan,  PLTN sebagai teknologi aman dan murah. Selain itu, keluaran emisi PLTN juga lebih rendah hingga bisa jadi solusi tepat mengejar target net zero emission di 2060. 

Fabby meragukan klaim  ini.  Pernyataan  PLTN lebih murah seolah mengulang narasi dari para pendukung PLTN yang muncul sejak sekitar 60 tahun lalu. Kala itu, PLTN komersial mulai  Amerika Serikat  dan sejumlah negara maju  mulai kembangkan. 

 Di lapangan menunjukkan fakta lain. Menurut Fabby, dari sisi teknologi PLTN, jelas bukan teknologi  murah. Dari temuannya, eskalasi biaya  sangat tinggi acapkali mewarnai pembangunan PLTN. Angkanya bahkan jauh melebihi dari perkiraan ketika perencanaan pembangunan PLTN. 

“Berdasar informasi dari berbagai proyek PLTN yang sedang dibangun, biaya konstruksi melonjak 2-3 kali lipat dibanding saat direncanakan,” kata Fabby, dalam makalahnya berjudul ‘Menggugat Mitos PLTN Murah’ itu.

 Biaya konstruksi mahal ini akhirnya harga listrik PLTN lebih mahal. 

Ancaman risiko  juga, kata  Fabby,  menambah pelik rencana pembangunan PLTN ini. Untuk  itu, sangat penting  memastikan bahwa masyarakat juga mengetahui risiko dan konsekuensi dari rencana ini. 

Sejatinya,  Indonesia tidak memerlukan  PLTN. Potensi sumber energi terbarukan  cukup untuk mewujudkan kemandirian energi, tanpa harus harus mengambil pilihan yang lebih riskan.

Kritikan serupa Abdul Haris, Juru Kampanye TUK Indonesia, sampaikan. Menurut dia, rencana pembangunan PLTN ini  tidak sejalan  visi misi pemerintah. Pasalnya, hasta karya yang menjadi basis visi-misi Presiden Prabowo tidak pernah memasukkan PLTN sebagai jalan menuju kemandirian energi.

Dalam rencana bauran energi nasional, pemerintah  memasukkan angin, matahari, biofuel, panas bumi atau sumber energi biru lain ke dalam proyeksi bauran energi ke depan. Karena itu, investasi sektor energi  swasta pun, kata Haris, seyogyanya menyesuaikan dengan perencanaan negara. “Itulah yang namanya terintegrasi.”

Dengan banyaknya sumber daya energi  Indonesia,  sejatinya tak memerlukan pembangkit berbasis nuklir. Selain memiliki kerentanan tinggi, rencana pemerintah membangun PLTN makin menjauhkan partisipasi publik dalam mewujudkan kemandirian energi. 

Lemahnya partisipasi publik itu pula yang menjadi satu alasan mengapa usaha membangun kemandirian energi tak berjalan efektif. Pemerintah, kata Haris, cenderung menggunakan pendekatan korporasi besar ketimbang lipatan masyarakat atau komunitas. 

“Ini yang bikin semua gagal. Kekuatan komunitas ini kalau didorong dan didukung dengan serius, hasilnya akan maksimal.”

 Qohhar mengatakan, sebagai lembaga pengawas, Bapeten tak  kapasitas menilai perlu tidaknya Indonesia memiliki PLTN. “Kami netral. Tetapi, siapapun yang ingin mebangun PLTN, tugas kami  memastikan rencana itu harus memenuhi kriteria dan standar yang diterapkan. Karena ini untuk memastikan keselamatan.”

Dia menilai,  kekhawatiran dan berbagai kritik atas rencana ini sebagai hal wajar. Karena itu, tugasnya  memastikan  apa  yang jadi kekhawatiran tidak terjadi. “Kan sesuatu yang berisiko itu bukan berarti tidak boleh dilakukan, tetapi bagaimana risiko itu diminimalisir.” 

Dalam konteks menekan risiko itu pula, dia memastikan kalau hasil evaluasi tapak nanti terdapat hal yang tidak sesuai, mereka akan  menolaknya. Misal, lokasi tapak tidak boleh berada di interval 5 kilometer dari patahan. 

“Kalau ternyata 5 kilometer dari tapak terdapat patahan, pasti kita tolak karena terlalu berisiko. Ini masih awal. Nanti kita lihat hasil evaluasi tapaknya seperti apa, historical bencana seperti apa.” Dia  memastikan proses evaluasi  sesuai  standar internasional.

******

Pembangkit Nuklir, Para Pihak Ingatkan Risiko bagi Manusia dan Alam

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|