- Seriuskah Pemerintah Indonesia menjalankan transisi energi untuk mencapai target net zero emission (NZE) sebelum 2050? Pertanyaan ini muncul dari para pihak melihat pelaksanaan di lapangan, alih-alih transisi energi, energi kotor justru kian meningkat. Saat ini, energi terbarukan hanya mencakup 14% dari bauran energi nasional.
- Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat, kapasitas pembangkit listrik terpasang di Indonesia mencapai 107 Gigawatt pada 2023. Bahan bakar pembangkit listrik itu dominan fosil, sekitar 81%, sumber energi terbarukan seperti tenaga air, panas bumi dan bioenergi menyumbang 18,6% dari listrik serta energi terbarukan 0,4%.
- Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR katakan, semua sektor masih bergantung signifikan pada bahan bakar fosil, dengan dominasi penggunaan batubara, liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar minyak (BBM). Pada sektor ketenagalistrikan, 81% energi fosil pada 2023.
- Mendorong Pemerintah Indonesia merancang pendekatan terencana dan bertahap dengan melibatkan seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah dalam mendukung transisi energi. Strateginya, jangka pendek untuk menangani isu mendesak, dan jangka panjang membangun fondasi sistem energi rendah karbon berkelanjutan dan selaras Persetujuan Paris.
Seriuskah Pemerintah Indonesia menjalankan transisi energi untuk mencapai target net zero emission (NZE) sebelum 2050? Pertanyaan ini muncul dari para pihak melihat pelaksanaan di lapangan, alih-alih transisi energi, energi kotor justru kian meningkat. Saat ini, energi terbarukan hanya mencakup 14% dari bauran energi nasional.
DI lapangan, transisi energi gencar dengan ‘hilirisasi’, pemerintah kian mengeruk nikel dengan dalih bahan baku baterai kendaraan listrik. Sebaliknya, tambang maupun kawasan industri nikel justru menambah kerusakan lingkungan berujung pelepasan emisi gas rumah kaca, seperti di Maluku maupun Sulawesi.
Satu sisi pemerintah, berulang kali melontarkan soal transisi energi sejak lama termasuk pemerintahan Prabowo. Katanya, pemerintah berencana mempercepat target pensiun dini PLTU batubara dalam 15 tahuh ke depan. Sisi lain, pemerintah justru membangun PLTU batubara. Seperti PLTU Mulut Tambang Sumsel-8 mulai beroperasi 7 Oktober 2023 dan PLTU Jawa 9-10 di Cilegon peroperasi Agustus 2024. Hingga kini, Indonesia memiliki 254 PLTU batubara total kapasitas 51,56 gigawatt.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat, kapasitas pembangkit listrik terpasang di Indonesia mencapai 107 Gigawatt pada 2023.
Bahan bakar pembangkit listrik itu dominan fosil, sekitar 81%, sumber energi terbarukan seperti tenaga air, panas bumi dan bioenergi menyumbang 18,6% dari listrik serta energi terbarukan 0,4%.
Rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2025-2045 jadikan transisi energi sebagai satu tujuan utama. Sayangnya, seakan terbantahkan kebijakan energi nasional (KEN) baru. KEN justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19% pada 2025 dan target 2045.
Selain itu, rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 yang diklaim sebagai ‘hijau’ nyatanya tidak membawa perubahan berarti. Sebagian besar proyek pembangkit energi terbarukan 2021-2025 belum lelang, konstruksi dan beroperasi.
“Transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon,” katanya dalam peluncuran buku Indonesia Energy Transition Outlook 2025 di Jakarta, Desember lalu.
Fabby bilang, transisi energi 2024 masih tahap konsolidasi sebagai hasil pergantian kepemimpinan nasional dengan target dan prioritas baru serta kondisi ketidakpastian ekonomi global maupun Indonesia.
Berdasarkan pengukuran kesiapan bertransisi (transition readiness framework/TRF) yang IESR kembangkan sejak 2022, konsistensi kebijakan dan kepemimpinan para pelaku bisnis sebagai penghambat terbesar dalam agenda transisi energi di Indonesia.
“Hal sama terpantau di TRF 2024, meskipun terjadi kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon, transisi energi masih terhambat kurangnya komitmen politik, regulasi kurang menarik, dan tata kelola tidak mendukung,” katanya.
Fabby menyebut, pada 2025 menjadi titik kritis untuk merumuskan strategi dan kebijakan reformatif untuk mempercepat transisi energi adil dan efisien.
Dia juga menyinggung, strategi pemerintah cenderung berfokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS) yang belum matang, mahal dan berisiko. Berbanding, teknologi energi surya, angin, dan baterai atau penyimpan energi yang tersedia di pasar dengan harga makin kompetitif.
Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR katakan, semua sektor masih bergantung signifikan pada bahan bakar fosil, dengan dominasi penggunaan batubara, liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar minyak (BBM). Pada sektor ketenagalistrikan, 81% energi fosil pada 2023.
Selain itu, PLTU di luar wilayah usaha PLN (captive) kapasitas berkembang jadi 21 GW pada 2023 hingga berkontribusi menaikkan emisi 27% di tahun sama.
Pemerintah, katanya, perlu meningkatkan pengawasan pada PLTU captive. “Mendorong industri beralih ke energi terbarukan.”
Belum lagi, 87% rumah tangga menggunakan LPG subsidi, dengan total Rp83 triliun pada kuartal keempat 2024. Sedang energi terbarukan hanya memiliki kontribusi bauran energi sangat kecil. Misal, di sektor industri, energi terbarukan hanya menyumbang 6,52% dari total penggunaan energi.
“Pemerintah perlu progresif mengurangi bertahap subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan subsidi ke sektor energi terbarukan,” kata Raditya.
Pensiunkan PLTU
Fabby lantas menyinggung janji Presiden Prabowo Subianto dalam forum KTT G20 di Brasil yang akan mengakhiri operasi PLTU batubara pada 2040. Hal itu, katanya, sejalan dengan amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112/2022 untuk mempensiunkan PLTU batubara lebih awal dari umur keekonomiannya.
Sejalan dengan itu, pada KTT APEC menyatakan, Indonesia akan mencapai 100% energi terbarukan dalam 10 tahun dari sekarang.
“Misi ini bukanlah hal yang mustahil jika dilengkapi upaya mereformasi kebijakan, regulasi besar-besaran dan perencanaan sistem ketenagalistrikan yang terpadu hingga dapat memastikan kedaulatan energi dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi 8%, seperti dicita-citakan Pemerintahan Prabowo.”
Raditya juga berharap, pernyataan Prabowo soal rencana pensiunkan PLTU batubara sampai 2040 segera terealisasi. Langkah itu bisa mulai dengan pensiunkan PLTU tak efisien daripada melengkapi dengan CCS/CCUS, teknologi untuk mengurangi emisi karbon.
‘Dari analisis IESR, katanya, pensiun dini PLTU Cirebon 1, misal, perlu biaya pengurangan karbon sekitar US$31-40/tCO2e, lebih rendah dibandingkan CCS mencapai US$62-324/tCO2e.
Anindita Hapsari, Analis Pertanian, Kehutanan, Tata Guna Lahan, dan Perubahan Iklim IESR menyatakan, dari pemodelan IESR Indonesia berisiko menghadapi pemanasan global lebih 3 derajat Celsius bila tanpa langkah strategis dan ambisius menurunkan emisi di semua sektor.
Dia pun mendorong pemerintah merancang pendekatan terencana dan bertahap dengan melibatkan seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah dalam mendukung transisi energi. Strateginya, jangka pendek untuk menangani isu mendesak, dan jangka panjang membangun fondasi sistem energi rendah karbon berkelanjutan dan selaras Persetujuan Paris.
Untuk jangka pendek, katanya, pemerintah perlu menegakkan kepatuhan dalam memastikan implementasi kebijakan, seperti pengetatan standar emisi bahan bakar, dan penerapan bangunan hijau. Kemudian, memberikan insentif untuk mempercepat adopsi teknologi rendah emisi, seperti elektrifikasi kendaraan darat,dan implementasi mekanisme perdagangan karbon.
“Juga, mendukung sektor seperti pengolahan mineral agar lebih ramah lingkungan dan memprioritaskan serta akselerasi pengadaan energi terbarukan.”
Secara jangka panjang, pemerintah perlu membangun infrastruktur energi terbarukan seperti, mengembangkan kapasitas produksi hidrogen hijau dan amonia sebagai bahan bakar masa depan. Ia juga memperkuat infrastruktur jaringan listrik dalam mendukung integrasi energi terbarukan. Kemudian, menyusun mekanisme pasar yang mendorong efisiensi dan keberlanjutan energi.
“Eleksibilitas sistem listrik dengan layanan tambahan dan inovasi seperti Esco (energy service companies). Lalu memperkuat peran daerah dalam implementasi kebijakan transisi energi, seperti pengelolaan sumber daya lokal dan perencanaan energi regional.”
Transisi energi keharusan
Rachmat Kaimuddin, Deputi 3 Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Kemenko IPK) mengatakan, pemerintah berencana berdaulat energi.
Saat ini, Indonesia masih meratifikasi Perjanjian Paris dan berniat merealisasikan net zero emission paling lama pada 2060.
Indonesia memang harus melakukan transisi energi. Tanpa transisi energi, beban fiskal dan lingkungan akan terus meningkat. Dia contohkan, sektor transportasi, tanpa transisi energi kepemilikan kendaraan akan makin meningkat. Ia akan mendorong peningkatan emisi Co2, dan polusi udara kian memburuk, subsidi BBM membengkak maupun impor BBM naik.
Rachmat mengakui, energi fosil Indonesia banyak, namun akan habis pada waktunya. Transisi energi penting.
Untuk merealisasikan transisi energi, katanya, pemerintah tengah menggencarkan hilirisasi dan ekosistem industri hijau.
Dia tak memungkiri sumber daya alam seperti batubara dan nikel menjadi sember pendapatan negara. Pemerintah pun akan memaksimalkan bahan baku saat ini melalui hilirisasi misal, biji nikel dan timah.
Bahan baku itu, untuk memproduksi komoditas masa depan dengan mengembangkan rantai pasok industri terbarukan dan menggunakan serta mengekspor energi terbarukan.
“Sekarang kita perlu memastikan benda-benda yang kita miliki ini terbatas. Ini value-nya as high as possible, sambil jalan harus kita ciptakan industri-industri baru terutama berkaitan energi transisi.”
Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, pemerintah berkomitmen mengedepankan penurunan gas rumah kaca pada 2060. Terbukti, dengan sedang membuat dan penyelarasan antara kebijakan.
“Dekarbonisasi ini ya tujuan utama walaupun nanti, misal ini kok masih ada batubara ini di 2060, ya batubara yang berbasis CCS kan ini juga gitu. Jadi komitmen dekarbonisasi ini tetap menjadi tujuan utama,” katanya.
Maxensus Tri Sambodo, Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, perlu bangun ekonomi berbasis pengetahuan. Sedangkan, strategi transisi energi bisa jadi andalan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi baru. Untuk itu, kolaborasi berbagai pihak perlu dalam mewujudkan penguasaan teknologi.
“Perlu duduk bersama pemerintah dan swasta untuk mengoptimalkan itu. Bangun roadmap untuk upaya hilirisasi. Kita harus menguatkan ekosistem, kita gak bisa sendiri,” katanya.
Anindita Satria Surya, Vice President Energy Transition and Climate Change PT PLN, mengatakan, harus membuat kajian komprehensif untuk transisi energi ini. Dia contohkan, pensiunkan PLTU batubara dalam waktu 15 tahun ke depan, ini harus melihat dampaknya.
“Apakah nanti itu sesuai umur ekonomisnya? Kita tidak operasikan lagi atau ada opsi lain untuk dekarbonisasi dari pembangkit baik itu pembangkit PLTU kita ataupun juga pembangkit gas, itu perlu pendalaman, perlu kajian.”
Dia pun jelaskan, dalam penyusunan RUPTL saat ini, selama 10 tahun ke depan Indonesia perlu anggaran untuk infrastruktur ketenagalistrikan sekitar US$110 juta. Satu sisi, pensiunkan PLTU perlu dana besar.
IESR sebutkan, biaya pensiun dini PLTU di Indonesia sampai 2040 mencapai US$27 miliar atau sekitar Rp420 triliun.
“Perlu kajian komprehensif. Apakah kita akan men-switch (PLTU batubara) atau dekarbonisasi? Apakah ada dampak terkait kenaikan biaya nantinya ke sistem?”
***********
Akankah Indonesia Serius Jalankan Transisi Energi Berkeadilan?