Terkepung Sawit dan Tambang, SAD Batanghari Kesulitan Pangan

1 week ago 32
  • Kehidupan Suku Anak Dalam (SAD) makin sulit, terlebih sejak hutan di wilayah Sungai Pawal, Lemantan dan Serenggam, di Kabupaten Batanghari, Jambi, terbabat perusahaan sawit dan tambang batubara pada 2019. 
  • Terkepung sawit dan tambang, SAD terpaksa bergeser jauh. Tumenggung Jelitai, misalnya, harus pindah 5 km dan menetap ke Balai Adat, Tumenggung Mena bergeser sampai 8 Km dari lokasi awal yang mereka tempati, Sementara Tumenggung Ngelembo sampai sekitar 16 Km.
  • Konflik agraria menempatkan perempuan di pihak yang menderita dan menanggung beban ganda. Laksmi Savitri, peneliti agraria dan pangan, bilang, kaum perempuan terpojok, karena dianggap bertanggung jawab untuk pangan dan perawatan keluarga.
  • Eko Cahyono, peneliti Sajogjo Institute, menyebut pengakuan terhadap masyarakat adat masih di level legalitas hutan, belum menyentuh eksistensi pengetahuan adat, termasuk sistem tata ruang berbasis adat.

Episumi berhenti sejenak dari aktivitasnya di tengah kebun sawit. Sambil meluruskan punggung, perempuan 40 tahunan itu menghela napas, melepas lelah. Tangannya kotor, seharian mengais tanah, mengumpulkan ‘brondolan’ atau rontokan sawit. 

“Kalau enggak gini, enggak makan,” katanya.

Perempuan Suku Anak Dalam (SAD) itu sudah lebih dari dua tahun jadi pemungut brondolan sawit. Kalau beruntung, dia bisa bawa pulang 40 kg. Dia jual ke tengkulak Rp2.500 per kg. 

“Nanti buat beli beras.”

Fenomena pemungut brondolan ini jamak di SAD. Terutama sejak hutan di Sungai Pawal, Lemantan dan Serenggam, Kabupaten Batanghari, Jambi, habis terbabat perusahaan sawit dan tambang batubara tahun 2019. 

Kondisi ini, membuat pria SAD sulit mendapatkan hewan buruan. Sumber pangan mereka terancam.

Para perempuan SAD pun harus mencari cara dapat uang, demi anak-anak mereka makan, seperti  Episumi. Cara paling gampang dengan mengumpulkan brondolan sawit di kebun-kebun perusahaan dekat mereka tinggal. Kerjaan ini  tidak aman. Para penjaga kebun akan mengejar mereka, karena dianggap mencuri.

“Sering dikejar-kejar. Kalau ketangkep, brondolannya dirampas,” katanya.

Sekitar dua tahun lalu, penjaga kebun PT Adimulia Palmo Lestari (APL) mengejarnya saat mengumpulkan brondolan. Ibu tiga anak itu lari pontang-panting karena diteriaki ‘maling’.

Dia kabur dan melompati parit gajah sedalam dua meter. Dia terjatuh ke dasar parit. Kaki terkilir. 

“Sekarang mau jalan cepat tidak bisa lagi.”

Lingkungan yang berubah, memaksa kelompok SAD di  Kecamatan Batin XXIV hingga Mersam bekerja keras untuk bertahan hidup. 

“Sekarang cari banar susah, rimbo (hutan) tidak ado lagi. Cari ikan susah, sungai keruh kerno tambang batubara,” kata Kelompok Tumenggung Jelitai itu.

Tambang batubara yang  Episumi maksud juga menggasak sebagian kebun SAD yang masuk dalam konsesi PT Sawit Desa Makmur (SDM). Tumpang tindih itu kemungkinan jadi alasan SDM untuk memperluas kebun sawit sejak 2022.

Proses itu berlanjut hingga sekarang. Lahan yang mereka buka tahun 2023 bahkan melewati batas Sungai Pawal. Sampai saat ini, sekitar 262 hektar lahan dan kebun Tumenggung Jelitai, Mena, Ngelembo, dan Ngentam, tergusur tanpa ganti rugi.

Akibatnya, mereka pun juga harus bergeser jauh. Tumenggung Jelitai, misal, harus pindah lima km dan menetap ke Balai Adat, Tumenggung Mena bergeser sampai delapan km dari lokasi awal yang mereka tempati, Sementara Tumenggung Ngelembo sampai sekitar 16 km.

SDM merupakan perusahaan sawit keluarga Senangsyah, dulu agen tunggal minyak tanah, solar, dan bensin di Jambi. Mereka datang lebih dari tiga dekade lalu. Membawa janji manis mensejahterakan masyarakat dan menyerap lapangan kerja.

Tahun 1990-an, mereka mulai membabat hutan yang Suku Anak Dalam di Kecamatan Batin XXIV tempati. Sedang, SAD memandang hutan bukan hanya identitas, juga sumber pangan. 

Episumi katakan,  sering tidak bisa makan. “Pernah dua hari kami tidak makan. Mau cari makan susah, hutan sudah habis jadi PT semua.”

Ada sekitar 20 keluarga SAD Kelompok Tumenggung Jelai masih tinggal di sekitar Balai Adat. Perempuan di sana juga ngutip brondol sawit untuk bertahan hidup. Laki-laki banyak jadi buruh.

Induk Segerum, Kelompok Ngelembo mengatakan, hidup SAD sekarang makin susah. “Sekarang, tanah badewo kami lah habis, sementara Suku Anak Dalam itu hidupnyo dengan dewo. Kalau sudah habis macam ini, anak-anak kami terancam,” katanya.

Brondolan atau rontokan sawit yang biasa dipungut SAD untuk ditukar dengan beras. Foto Teguh Suprayitno / Mongabay

Awal mula konflik

SDM membangun perkebunan sawit ribuan hektar. Hutan hilang, Kelompok SAD di Batanghari pun kehilangan ruang hidup.

Dulu, keluarga Senangsyah punya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum terapung di Payo Selincah. Pengusaha asal Jambi ini  mendirikan pabrik partical wood, dan memulai jaringan bisnis lebih luas.

Santoso Senangsyah, saudara Andi Senangsyah dan Rizal Senangsyah, yang menjabat Direktur SDM, merupakan pemilik sekaligus pendiri Taman Nusa di Bali. Berdasarkan laporan Walhi Jambi, Praktik Kotor Perkebunan Kayu di Indonesia.

Dalam laporan, keluarga Senangsyah disebut ikut tercatat sebagai pemegang saham PT Asiatic Persada,–perusahaan perkebunan sawit yang berafiliasi dengan Wilmar Group—PT Limbah Kayu Utama (HTI), dan PT Scona Persada di Jambi.

Lebih dari dua dekade, 9 kelompok SAD di Bathin XXIV, Mersam dan Maro Sebo Ulu menghadapi konflik tanpa ujung dengan SDM.

Berawal dari SDM mendapatkan izin lokasi pencadangan lahan seluas 15.000 hektar di Batanghari untuk perkebunan sawit dan karet pada 15 April 1989. Wilayah itu merupakan rimba belantara yang penuh hewan buruan dan sungai-sungai jernih.

Djamaloedin Soeryohadikoesoemo, Menteri Kehutanan saat itu, memuluskan rencana SDM membabat hutan lewat Surat Keputusan (SK) Nomor 412/kpts-II/1995 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan seluas 14.050 hektar di wilayah Sungai Ridan dan Sungai Lemantan di Kecamatan Batin XXIV dan Mersam. 

Berdasarkan SK itu, Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan izin hak guna usaha (HGU) seluas 14.225 hektar untuk SDM, berlaku 35 tahun. Surat ditandatangani Kepala BPN, Soni Harsono, 4 Juni 1997.

Tahun 1991, perusahaan mulai bersihkan hutan dan menanam ribuan tanaman sawit. Banyak makam dan kebun SAD tergusur. Konflik pun terjadi.

Andi Senangsyah, Direksi SDM, coba redam kemungkinan bentrokan dengan menandatangani perjanjian tapal batas bersama Tumenggung Berambai, pimpinan kelompok SAD di Batanghari—kakek dari 9 tumenggung SAD yang kemudian berkonflik dengan SDM.

Keduanya menyepakati batas rencana pembangunan perkebunan sawit SDM di Kecamatan Mersam, Dimulai dari Sungai Pawal, terus ke selatan, sampai Sungai Serenggam ke hilir. 

Dalam perjanjian 9 Oktober 1991 itu, Andi Senangsyah juga sepakat memberikan ganti rugi Rp15 juta untuk kebun dan tanah makam yang terlanjur digusur perusahaan.

Sejak ditanam, kebun SDM tidak pernah diurus. Sekitar 3-5 tahun setelahnya, beberapa kelompok SAD kemudian kembali masuk dan menggarap lahan SDM.

Mereka menanam karet dan tanaman buah, juga tinggal di sana. Meski tidak menetap di satu tempat.

“Kebun itu tidak diurus. Hukum adat Suku Anak Dalam, 3 tahun tidak diurus, itu boleh digarap orang lain,” kata Ngelembo, pimpinan Kelompok SAD di Jeluti, cucu Tumenggung Berambai.

Konflik terbuka SDM dan SAD terjadi pada  2000-an. Beberapa kali kebun SAD tergusur. Puncaknya, Kelompok SAD melaporkan perusahaan ke Pemerintah Batanghari pada 2006. Mereka menuntut pencabutan izin SDM.

Syahirsyah, Bupati Batanghari kala itu, menyurati BPN Jambi agar memproses pencabutan HGU SDM, 27 Maret 2006.  BPN justru memutuskan tidak bisa mencabut HGU SDM karena masih tahap pembinaan. 

Bupati berganti, konflik tetap terjadi. Pada 8 April 2011, Abdul Fattah, Bupati Batanghari selanjutnya, menyurati SDM dan meminta tidak lagi ada penggusuran kebun SAD, karena lahan HGU SDM terbukti terlantar.  

Enam tahun setelah itu, 9 perusahaan tambang batubara dapat izin menambang di konsesi SDM. Lima milik Rizal Senangsyah.

Tak sampai dua tahun, semua kebun SAD di sekitar Sungai Lemantan dan Sungai Serenggam habis tergusur tambang batubara yang menggarap wilayah terlantar SDM. Kondisi ini,  membuat SDM menggusur banyak kebun SAD, di luar batas perjanjian 1991. Banyak tempat sakral ikut tergulung. 

“Sampai sekarang, kami ini tidak tahu dimana batas izin SDM itu,” kata Tumenggung Jelitai, yang memimpin Kelompok SAD di wilayah Sungai Pawal.

Jelitai menghitung, setidaknya ada 110 keluarga yang kehilangan kebun karena tergusur SDM. “Paling banyak kelompok kami, ada 55 orang,” kata Jelitai. 

Sampai sekarang, SDM terus melakukan penggusuran. Kelompok Ngelembo dan Ngentam terpaksa menyingkir ke wilayah Jeluti, konsesi PT Wana Perintis (WP).

WP sudah menyerahkan 114 hektar lahan untuk tanam karet buat  empat Kelompok SAD pada 2016. Sebagai upaya penyelesaian konflik, setelah ada desakan pemerintah.

Sementara Kelompok Tumenggung Mena, memilih pindah ke wilayah Desa Hajran. Menempati pemukiman program bantuan Dinas Sosial.

“Sumber pangan kami telah hilang,” kata Jelitai.

Mongabay mendatangi Kantor SDM di Jalan Orang Kayo Hitam No.18, Kota Jambi, 21 Februari 2025. Bangunan tua dan bertingkat, dengan lapisan kaca warna biru. Satpam yang ditemui bilang, pimpinan SDM tak ada di tempat. 

“Kebetulan pimpinan lagi tidak ada di kantor, lagi pertemuan di Polda,” jawabnya. Dia menolak memberikan nama pimpinan yang dia maksud.

Mongabay meninggalkan nomor telepon, meminta agar dihubungi saat pimpinan SDM ada di kantor. Tetapi sampai berita terbit, tidak pernah ada kabar.

Sungai Serenggam yang tercemar limbah tambang batubara menjadi sumber air bagi kelompok SAD di Kabupaten Batanghari. Foto: Teguh Suprayitno / Mongabay Indonesia

Perempuan dan anak rentan

Konflik agraria berisiko menyebabkan beban multi kepada perempuan. Laksmi Savitri, peneliti agraria dan pangan, bilang,  perempuan terpojok, karena dianggap bertanggung jawab untuk pangan dan perawatan keluarga.

“Sementara, kondisi alamnya berubah.”

Kasus konflik SAD Batin XXIV menunjukkan hal  ini.

Anak-anak juga kelompok rentan dalam konflik agraria. Di Batanghari, Puskesmas Durian Luncuk menemukan kasus kurang gizi pada anak-anak SAD.

“Tapi kita tidak bisa mengategorikannya gizi buruk, karena SAD tidak tahu umur mereka, itu jadi kendala,” kata Suci Ningsih, Kepala Puskesmas Durian Luncuk.

Setiap bulan, setidaknya ada 5-10 SAD  berobat ke Puskesmas,  melonjak jadi 30-an saat Puskesmas melakukan layanan kesehatan keliling yang menjangkau pemukiman mereka. 

“Banyak yang berobat karena ISPA, gatal-gatal, demam, mungkin karena banyak sungainya yang tercemar tambang batubara, jadi mereka sulit mendapatkan air bersih,” kata Suci.

Sementara di Kelompok Tumenggung Ngelembo, ada empat kasus malaria, dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri Tuberkulosis (TBC).

Laksmi menilai,  kebijakan pemerintah yang sentralistik membuat kelompok rentan tidak terlihat. Banyak keputusan  serampangan dan jauh dari ekonomi kerakyatan.

“Konflik itu terjadi karena kelompok rentan tidak terlihat di mata pemerintah.”

Banyak sumber pangan masyarakat adat jadi konsesi perusahaan. Mereka akhirnya kelaparan di tengah konflik berkepanjangan. Ironisnya, pemerintah, saat ini Presiden Prabowo Subianto,  terus mengelu-elukan program makan bergizi gratis.

“Dalam ilmu sosioligi ada ignorance yang artinya ketidaktahuan atau kebodohan yang disengaja, ini yang sekarang terjadi di Indonesia,” kata perempuan yang juga aktif di FIAN Indonesia itu.

Wilayah Suku Anak Dalam yang dibuka PT SDM. Foto: Teguh Suprayitno / Mongabay

Tersingkir

Robert Aritonang, Manajer Program KKI Warsi, mengatakan, inti masalah yang  Orang Rimba—sebutan lain SAD yang tinggal di hutan—di Batanghari ialah hak sumber daya. 

“Orang lokal yang sudah lama hidup di situ tersingkirkan. Ini masalah hak, jadi mereka akan terus mempersoalkan itu,” katanya. 

Masih terang dalam ingatan saat pertama kali mendampingi Orang Rimba di Batanghari, tahun 2022. Kala itu,  hutan membuatnya betah karena banyak hewan buruan dan sungai yang mengalir jernih penuh ikan. 

Dia bilang, SAD hidup nomaden, mengandalkan sumber daya yang  alam sediakan. Mereka pindah ke tempat lain ketika sumber pangan di satu wilayah habis. 

“Tetapi sumber pangan itu akan pulih dengan alami. Suatu saat mereka akan kembali ke tempat itu lagi,” kata Robert. 

Sekarang, SAD tersingkirkan dari hidup ‘mewah’ mereka di hutan. Makam, sialang, kebun, tergusur, sumber pangan mereka terganggu. 

“Jadi,  jangan sebut mereka maling (karena memungut brondol sawit). Keadilan sosial yang substansial harus dilihat.”

Menurut dia, kondisi SAD akan makin buruk karena kehilangan sumber pangan dan konflik. Sedangkan mereka yang hidup di luar hutan rentan jadi korban pelanggaran hak asasi manusia. 

“Sekarang,  kita sudah sering lihat bagaimana SAD dibunuh. Itu akan semakin sering terjadi ke depan.”

Robert mengacu pada kasus tewasnya warga SAD, 18 November 2022.

Kala itu, sekitar pukul 21.30, Melempir bersama Subur dan Becayo, Kelompok Tumenggung Jelilati, pulang menunju Balai Adat di wilayah Sungai Kapahelang, Desa Padang Kelapo, Kecamatan Maro Sebo Ulu.

Ketiganya menghentikan laju motor karena cahaya senter menyorot mereka. Tiba-tiba, terdengar ledakan suara kecepek—senjata rakitan  untuk berburu babi.

Tubuh Melempir ambruk, darah segar mengalir dari dadanya. Peluru gotri yang menghambur merobek paha kiri, dada tengah dan dada kirinya, tembus hingga tulang belikat. 

Lelaki 35 tahun itu sekarat. Subur dan Becayo bergegas membawa ke Puskesmas Sungai Rengas. Nyawanya tak selamat.

Belakangan pelaku penembakan merupakan aparat  keamanan APL, Abdurahman dan Makmur. Saat polisi menginterogasi, keduanya mengaku spontan menembak, mengira ada pencurian sawit. 

Polisi mengaku belum ada bukti yang mengarah ke perusahaan. Jelaitai menduga,  penembakan berlatarbelakang konflik lahan antara SAD dengan APL. 

Seorang pria Suku Anak Dalam menunjukkan pengumuman wilayah adat Suku Anak Dalam di Kabupaten Batanghari. Foto: Teguh Suprayitno / Mongabay

Apa kata pemerintah?

SAD di Batanghari hancur-hancuran. Kebun mereka habis terigusur SDM. Semua yang mereka miliki  hilang.

“Sakarang ini tambah amut (hancur). Habis galo,” kata Tumenggung Ngelembo.

Dia  bolak-balik mendatangi Kantor Bupati Batanghari untuk bertemu bupati. Dia ingin mengadukan nasib kelompoknya setelah semua kebun terrampas perusahaan tanpa ada ganti rugi, tetapi hasil nihil.

Sampek selop kami ini tipis bolak-balik ke kantor bupati itu, tapi tidak pernah ketemu.”

Dia berharap, pemerintah bisa memberi keadilan. “Jadi, sekarang kami minta keadilan pado pemerintah. Kami ini juga masyarakat. Kalau sumber penghidupan kami diambil, itu nak bunuh kami namonyo,” katanya

Mongabay menemui Fadhil Arief, empat hari jelang pelantikan sebagai Bupati Batanghari periode kedua, 20 Februari 2024. Dia mengakui konflik SDM dengan SAD sudah terjadi puluhan tahun dan belum ada solusi. 

“Kita petakan terus, konfliknya di mana, karena SAD itu hidupnya di sekitar situ. Kita sudah minta tim terpadu pelajari lebih lanjut,” katanya.

Sampai saat ini, katanya, belum ada regulasi yang mendukung penetapan wilayah dan memberikan hak kelola secara utuh untuk SAD di Batanghari. 

“Kita belum punya aturan untuk hutan adat, tetapi untuk kehidupan keluarga sudah kita bina. Di sana ada da’i, guru sekolah, ada petugas kesehatan. Kita coba nanti petakan bagaimana bagusnya ke depannya.”

Fadhil terlihat tidak paham konflik merupakan areal penggunaan lain (APL), bukan kawasan hutan. Dia  mengaku,  akan berupaya menyelesaikan konflik lahan SAD dengan SDM.

“Nanti kita bersama forkopimda yang lain, kita lihat kedudukan hukumnya di mana. Semua orang di Indonesia ini, sekuat apa pun, sebaik apa pun dia, kalau dia melanggar hukum harus didudukan lagi.” 

Sedang Al Haris, Gubernur Jambi,  mendorong masyarakat adat mengajukan usulan wilayah adat—lewat perhutanan sosial dengan skema hutan adat—ke pemerintah kabupaten/kota, “Nanti diajukan ke kita (pemerintah provinsi) termasuk daerah bisa bahas perdanya langsung.”

Dia menunjukkan, wilayah Marga Serampas yang terlindungi setelah ada penetapan sebagai wilayah adat tahun 2016. Saat itu,  Haris sebagai Bupati Merangin dan menandatangani Perda wilayah adat Marga Serampas seluas 65.000 hektar. 

“Saya dukung penuh itu. Karena itulah langkah untuk menyelamatkan hutan adat kita, hutan yang luas ini akan habis kalau tidak kita bikin payung hukum yang jelas.”

Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute, punya pandangan berbeda. Menurut dia, banyak pihak masih ‘setengah hati’ memandang kebijakan pengakuan hutan adat.

Pengakuan masih di level legalitas hutan, belum menyentuh eksistensi pengetahuan adat, termasuk sistem tata ruang berbasis adat.

Dia bilang, perhutanan sosial dengan skema hutan adat bukanlah jawaban penyelesaian konflik agraria struktural, apalagi memastikan kedaulatan masyarakat adat. 

Eko mengatakan,  skema hutan adat belum mampu mengubah beragam ketimpangan struktural penguasaan sumber-sumber agraria, yang bersifat warisan masa lalu, maupun yang terjadi sekarang. 

Hal itu membuat jaminan keberlanjutan hak atas tanah dan kedaulatan atas sumber-sumber agraria di wilayah adat jadi tidak pasti. Untuk itu, perlu inisiatif model reforma agraria  di wilayah kehutanan dan masyarakat adat, bukan perhutanan sosial. 

“Secara umum reforma agraria itu basisnya hak milik,  kalau skema perhutanan sosial melalui hutan adat itu hanya akses atau hak kelola, tidak mungkin sampai hak milik. Itu pun terbatas jangka waktu, paling lama 35 tahun,” katanya. 

Inisiatif reforma afraria di wilayah adat yang umumnya di kawasan hutan, berbeda dengan yang berujung pada kepemilikan hak pribadi. Reforma agraria, di wilayah adat berprinsip pada model pengelolaan masyarakat adat yang penuh kolektivitas, dimensi konservasi kuat, serta bersendikan nilai dan sistem hukum adat.

Sampai saat ini, katanya, tidak ada pengakuan negara dengan skema hutan adat yang mengakomodir tujuan redistribusi, yang memungkinkan keadilan sosial bagi masyarakat adat. Pengakuan tanpa redistribusi, tidak akan melahirkan keadilan sosial.  

“Makanya skema perhutanan sosial melalui hutan adat, pada hakekatnya belum menjawab sepenuhnya konflik lahan dan masalah ketimpangan struktural di masyarakat adat.”

Eko bilang, penyelesaian konflik lahan dan ketimpangan struktural agraria di masyarakat adat perlu payung hukum yang kuat. 

“Tetapi masalahnya Undang Undang Masyarakat Adat ini belum disahkan. Di ghosting terus. Padahal ini penting untuk menyelesaikan kasus struktural agraria di wilayah adat.”

Terkait konflik SAD dengan SDM, Eko bilang harus melihat akar permasalahan. Menurutnya, jika di APL, maka harus ditangani pemerintah pusat. Sehingga, penyelesaian lewat RA yang berbasis adat memiliki peluang lebih baik.

“Wilayah APL kewenangannya ada di Pemda, sebab ia tidak lagi disebut kawasan hutan. Maka, tergantung kemauan politik Pemda bagaimana dan berpihak pada siapa. Jadi masyarakat bisa usul ke Pemda bentuk penyelesaiannya seperti apa, jika mau menggunakan reforma agraria bisa mengusulkan ke BPN, sedangkan skema PS dan hutan adat mesti ke Kementerian Kehutanan. Tinggal pemerintahnya mau atau tidak.”

Adi Prasetijo, Antropolog Universitas Diponegoro, mengatakan, ada konsekuensi displacement budaya terhadap masyarakat adat yang tidak diakui dan memiliki perlindungan hukum. 

“Praktik, bahasa, dan identitas budaya tradisional berkaitan erat dengan tanah leluhur. Jika terjadi penggusuran, praktis akan mengganggu hubungan ini, yang menyebabkan mereka kehilangan warisan budaya.”

Hilangnya wilayah adat,  katanya, akan memicu kerawanan pangan. Begitu pun relokasi paksa pemerintah, dapat memecah belah masyarakat, melemahkan struktur sosial dan sistem pendukung yang penting bagi ketahanan komunal.

“Masyarakat adat berperan penting dalam melestarikan keanekaragaman hayati. Penggusuran akan menyebabkan degradasi lingkungan, karena praktik konservasi tradisional ditinggalkan,”  

Padi yang ditanam Suku Anak Dalam di areal yang kini dikuasai PT SDM. Foto: Teguh Suprayitno / Mongabay

***

Hingga kini, SAD masih teguh berupaya ,mendapatkan kembali lahan mereka yang tergusur.

“Kami minta sesuai perjanjian 1991, itulah batasnyo, jangan melebar lagi. Kalau terus melebar banyak yang dirugikan,”  kata Tumenggung Jelitai

 Tanah warisan leluhur SAD seluas 3.495 hektar telah lama jadi tempat hidup 700 orang SAD dari sembilan kelompok. Sekarang, SDM menguasai lebih dari 2.600 hektar.  Sisanya, 800 hektar, masuk dalam perkebunan APL.

Dia  akan terus memperjuangkan tanah warisan leluhur itu. “Kami akan perjuangkan dan pertahankan karena itu tanah warisan untuk kami, untuk masa depan anak cucu kami.”

*******

*Liputan ini merupakan fellowship penulisan yang didukung oleh LaporIklim dan Yayasan PIKUL

Episumi, perempuan Suku Anak Dalam terpaksa mengais brondolan sawit untuk bertahan hidup. Foto: Teguh Suprayitno / Mongabay

*****

Picu Bencana dan Konflik, Setop Ekspansi Sawit

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|