Tambang Timah dan Ancaman Kerusakan Daratan Kepulauan Bangka Belitung

1 month ago 35
  • “Hilang Daratan” menjadi respon kecemasan generasi muda di tengah situasi kerusakan bentang alam dan perebutan sumber daya alam di Kepulauan Bangka Belitung.
  • Proses ekstraksi sumber daya alam, khususnya timah di Bangka Belitung yang telah berlangsung sejak ratusan tahun, hanya meninggalkan kerusakan di darat dan laut serta kecemasan.
  • Ribuan lubang tambang masih menanti untuk direklamasi, sementara laut yang terus dirusak semakin menggerus daratan [abrasi].
  • Berdasarkan dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2019, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan telah mengusai 1.007.372 hektar, atau mendekati 1.642.400 hektar total luas daratan Bangka-Belitung. Terdapat 25 jenis bahan galian, yang dikelola ratusan perusahaan.

“Aku khawatir, daratan ini akan semakin terkikis dan mengecil lalu menenggelamkan kita. Sudahlah. Semua itu hanya rasa takut yang ada di dalam kepalamu. Belum tentu terjadi.”

Kutipan tersebut merupakan sepenggal dialog dalam pertunjukan teater berjudul “Hilang Daratan” yang digagas komunitas seniman muda Pangkalpinang Art Laboratory [Partla], di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu [14/12/2024].

Pertunjukan tersebut menyajikan perdebatan sengit dua laki-laki yang terjebak di sebuah daratan yang terkikis air. Di akhir cerita, keduanya tenggelam dalam keputusasaan.

David Fernandez, sutradara sekaligus aktor mengatakan, tema ini menggambarkan situasi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung yang dijebak, lalu terjebak dalam chaos perebutan sumber daya alam, khususnya timah.

“Situasi ini sudah berlangsung ratusan tahun lalu, dari kolonial Belanda hingga saat ini. Kami ingin membangun kesadaran bahwa proses ekstraksi sumber daya alam [SDA] selama ini hanya melahirkan konflik, sementara para elit terus memupuk keuntungan,” ujarnya, Rabu [25/12/2024].

Pertunjukan seni ini juga menjadi respon generasi muda di Bangka Belitung terhadap kasus korupsi timah yang melibatkan 23 tersangka.

“Kasus ini harus menjadi titik balik agar kita meninggalkan sumber ekonomi ekstraktif yang merusak,” kata David.

Baca: Abrasi yang Makin Mengancam Pesisir Bangka Belitung

Gelombang laut yang mulai menggerus jalan, hingga merendam desa-desa pesisir di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Dampak Kasus Korupsi

Fitri Ramdhani, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung, sebelumnya menjelaskan, kasus korupsi dalam industri pertambangan timah di Indonesia dapat memberikan dampak besar terhadap ekonomi masyarakat lokal. Namun, masyarakat juga ternyata menunjukkan kemampuan adaptasi yang tinggi dalam menghadapi perubahan ini.

Berdasarkan teori ekologi manusia [Human Ecology] Robert E. Park dan Ernest W. Burgess, ketergantungan masyarakat pada sektor timah sebagai sumber penghidupan utama, sering menggiring mereka berbuat kerusakan lingkungan dan berlaku tidak adil dalam pembagian hasil pertambangan yang disebabkan praktik korupsi.

“Korupsi dalam industri ini mengarah pada eksploitasi berlebihan, rusaknya lingkungan, dan terjadi ketimpangan sosial-ekonomi, sehingga keuntungan yang dihasilkan lebih banyak dinikmati pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi daripada masyarakat lokal,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Minggu [15/12/2024].

Baca: Sampai Kapan Lubang Bekas Tambang di Bangka Belitung Dibiarkan?

Pohon nipah terbawa gelombang yang mengikis Pulau Semujur di Kabupaten Bangka Tengah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Dilanjutkan Fitri, meskipun sektor pertambangan memberikan lapangan kerja, namun banyak masyarakat lokal yang beralih ke alternatif lain, seperti berkebun atau bertani lada.

“Ini merupakan bentuk atau upaya bertahan hidup, yang mencerminkan resiliensi sosial-ekologis mereka dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan ekonomi,” katanya.

Fitiri percaya, masyarakat mencari jalan keluar dengan beralih ke ekonomi berbasis sumber daya alam yang lebih berkelanjutan, seperti pertanian atau industri lokal.

“Korupsi dalam sektor pertambangan timah bisa menjadi titik balik atau momentum bagi masyarakat untuk mulai meninggalkan ketergantungan mereka pada industri timah dan mencari alternatif yang lebih berkelanjutan,” lanjutnya.

Baca juga: Tersangka Kasus Korupsi Timah Telah Ditetapkan, Bentang Alam Bangka Belitung Harus Dipulihkan

Aktivitas melimbang timah di sekitar pesisir timur di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Daratan Hilang

Berdasarkan dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2019, luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan telah mengusai 1.007.372 hektar, atau mendekati 1.642.400 hektar total luas daratan Bangka-Belitung. Terdapat 25 jenis bahan galian, yang dikelola ratusan perusahaan.

Tercatat, 12.607 kolong dengan total luas 15.579 hektar yang menunggu untuk direklamasi [IKPLHD tahun 2021]. Ini sejalan dengan lahan kritis seluas 167.000 hektar yang sebagian besar diakibatkan pertambangan timah.

Sementara di laut, menurut data Walhi Kepulauan Bangka Belitung, sekitar 64.514 hektar terumbu karang hilang dalam kurun waktu dua tahun [2015-2017]. Sekitar 32.000 hektar padang lamun [2016-2023] mati, serta tergerusnya sekitar 230.000 hektar ekosistem mangrove [2017-2022].

Aktivitas penambangan timah di laut yang mulai berkembang sejak tahun 2000-an, juga menciptakan sejumlah lubang tambang yang menjadi ancaman nelayan pencari udang terasi, sebagaimana diberitakan Mongabay sebelumnya.

Aktivitas ini dapat mengganggu siklus pergerakan pasir, karena mengurangi volume pasir di pesisir serta menganggu suplai pasir ke daerah lain, yang pada akhirnya memperparah proses abrasi.

Aktivitas tambang dekat bibir pantai di Pulau Bangka yang membuat nelayan resah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Berdasarkan penelitian Yogi Cahyo Ginanjar dan kolega [2021], dalam 20 tahun [2001-2020], jarak pergeseran garis pantai ke arah darat [abrasi] di pesisir timur Bangka dengan metode End Point Rate [EPR], berkisar antara 0,00 hingga -34,07 meter per tahun. Sedangkan dengan metode Net Shoreline Movement [NSM] berkisar 0,00 hingga -647,26 meter per tahun.

Penelitian tersebut dilakukan pada garis pantai sepanjang 175,42 kilometer. Wilayah penelitian mencakup 34 desa di pesisir timur Bangka [termasuk Dusun Tanah Merah]. Mulai Desa Lubuk Besar [Selatan Bangka] hingga Desa Deniang yang berbatasan dengan pesisir Tuing di Utara Pulau Bangka.

Berdasarkan data BPS 2017, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki 309 desa dan 82 kelurahan. Dikutip dari situs resmi babelprov.go.id, sekitar 40 persen desa atau kelurahan berada di tepi laut.

Jessix Amundian, dari Tumbek for Earth mengatakan, permasalahan lingkungan di Bangka Belitung harus dijadikan persoalan bersama.

“Menggali dan mengintegrasikan berbagai solusi alternatif dari berbagai pengetahuan masyarakat adat ataupun masyarakat lokal, merupakan hal penting, di tengah kebingungan dan kecemasan kita menghadapi berbagai perosalan lingkungan hari ini,” paparnya.

Catatan Akhir Tahun: Korupsi Timah dan Momentum Masyarakat Bangka Belitung Meninggalkan Ekonomi Ekstraktif

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|