Tambang di Pulau Gebe Ancam Masa Depan Petani dan Nelayan

2 weeks ago 36
  • Tambang-tambang nikel yang beroperasi di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara (Malut) mengancam masa depan petani dan nelayan setempat. Pasalnya, sebagian perkebunan yang jadi sumber penghidupan warga masuk dalam konsesi.
  • Riset oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut tambang di Pulau Gebe memicu kerusakan pesisir. Semenanjung dekat jetty pesisirnya berubah menjadi berwarna kuning. Begitu juga terumbu karang di bagian selatan tertutup sedimen lumpur.
  • Abdul Motalib Angkotasan, Peneliti Oseanografi Universitas Khairun Ternate menjelaskan, aktivitas tambang telah menyebakan ekosisten laut, seperti lamun dan terumbu karang terganggu. Hal itu memicu migrasi kelompok ikan demersal seperti kerapu dan kakap karena habitat yang rusak. Dampaknya, para nelayan harus melaut lebih jauh guna mengejar ikan.
  • Pulau Gebe juga jadi habitat kuskus endemik, yang tak ada di pulau lain. Satwa dengan nama latin Phalanger alexanser, menurut warga kini sudah tidak bisa lagi dijumpai.

Hairun Rumbia memacu cepat sepeda motornya di jalanan setapak menuju kebunn di barat daya Pulau Gebe. Dia  khawatir sosok asing yang baru saja berpapasan dengannya adalah orang perusahaan.

Lelaki 60 tahun itu pun lega setelah dugaannya salah. “Karena mereka (orang perusahaan) sering datang tuk tengok-tengok kebun,” katanya.

Hairun pantas gusar. Pasalnya, sudah berulang kali perusahaan berusaha merayunya agar bersedia melepas lahannya itu. 

Kebun Hairun seluas satu hektar. Sebagian diantaranya masuk dalam konsesi PT Smart Marshindo (SM), perusahaan tambang nikel yang dengan luas konsesi 666,30 hektar. Konsesi SM membentang di sisi barat pulau, dari utara hingga ke selatan di semenanjung Oelieboeli. 

Ada lebih dari 200 pohon kelapa ditanam di kebun Hairun. Hasil dari panen kelapa itu, ia bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. “Setahun bisa panen dua kali, satu ton lebih sekali panen. Tapi, sekarang tar (tidak) banyak buahnya seperti tahun lalu, kena serangan hama,” ungkapnya, Minggu (22/12/2024).

Namun demikian, ada yang lebih mengkhawatirkan bagi Hairun ketimbang serangan hama yang membuatnya nyaris gagal panen. Yakni, ekspansi industri ekstraktif yang kian massif. Sebab, tambang akan membuatnya tak memiliki kuasa apapun atas lahan tempatnya bergantung hidup itu. 

Area kebun, tepat di tempatnya berdiri, masuk dalam peta tambang SM. Lahan petani lain yang bersebelahan dengannya bahkan sudah dikeruk. Dari tempatnya itu pula, Hairun menunjukkan perbukitan di Pulau Fau yang mulai botak akibat operasi tambang PT Aneka Niaga Prima (ANP). 

Baik ANP maupun SM, dijabat direktur yang sama, Shanty Alda Nathalia. Namanya muncul dalam pusaran korupsi mantan Gubernur Maluku Utara (Malut), Abdul Gani Kasuba yang tengah ditangani KPK. Di Pulau Fau, ANP memiliki konsesi seluas 459,66 hektar.

Harun pun menolak kebun yang menopang ekonomi keluarganya itu dikeruk untuk tambang nikel. ”Kalau dong (perusahan) ganggu, pemerintah harus ambil alih, kitong (kita) susah nanti tak bisa berkebun,” katanya dengan nada memelas.

Mongabay berusaha meminta konfirmasi kepada pihak perusahaan pada awal Februari. Namun, hingga laporan ini ditulis, surat permintaan wawancara tak kunjung direspons. 

Sungai tercemar

Menurut warga, aktivitas SM berlangsung sejak tengah 2022. Kendati sebagian wilayah konsesi berada di kawasan hutan, perusahaan diduga tidak mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Selain itu, izin usaha pertambangan (IUP) juga dinilai bertentangan dengan UU 3/2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) karena tanpa melalui lelang, melainkan rekomendasi bupati.

Menjadi petani atau pekebun adalah pekerjaan warga Pulau Gebe sehari-hari. Namun, semenjang perusahaan-perusahaan tambang itu beroperasi, warga mulai kesulitan mempertahankan sumber pangannya. Banyak kebun-kebun warga berpindah tangan. Sisanya, mencoba bertahan sekuat tenaga.

Mira, perempuan petani setempat mengatakan, sejak tambang-tambang itu datang, warga tak lagi merasa tenang. “Hari ini kita orang masih bisa makan. Tapi, entah dengan anak cucu nanti kalau kebun-kebun yang kami punya dijadikan tambang.”

Oleh Mira, kebun-kebun itu ia tanami kelapa, cengkih, pala hingga sagu. Hasil dari menjual produk perkebunan itu, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Begitu dekatnya warga dengan kebun ini, warga membangun rumah singgah semi permanen di area perkebunan. 

Menurut Mira, fasilitas itu berguna bagi para pekebun untuk istirahat. “Karena kan kadang ada yang sampai seminggu tidak pulang,” jelasnya. Untuk masak dan minum, mereka andalkan aliran sungai yang melintas di tengah-tengah perkebunan. 

Tetapi, gara-gara ada tambang, pemandangan itu mulai berkurang. Sebabnya, sungai-sungai yang ada juga sudah tercemar. Air yang mengalir, telah berubah warna menjadi lebih pekat kekuning-kuningan karena paparan sisa tambang. Jejaknya pun bisa disaksikan pada bebatuan yang juga berubah warna kuning kecoklatan.

Kebun kelapa di Pulau Gebe yang terancam oleh tambang nikel. Foto: M. Jaya Barends/Mongabay Indonesia.

Dampak perairan

Di lautan, kondisinya juga tak lebih baik. Kendatipun aktivitas nikel berlangsung di daratan, hujan yang turun pada akhirnya mengangkut sisa material tambang ke wilayah pesisir. Air laut yang semula biru, berubah menjadi kuning kecoklatan. Sedimentasi pun terjadi, seperti yang terjadi di teluk Simingit dan Inalo, di Kampung Umera, sisi utara Pulau Gebe. 

Abdul Manan Magtiblo, Kepala Kampung Umera sebut, gara-gara laut yang tercemar itu, nelayan sulit cari ikan dan harus melaut lebih jauh. “Warnanya kuning kecoklatan, ikan tidak ada. Kasihan para nelayan, mereka yang paling terdampak,” jelasnya. 

Riset oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengonfirmasi hal itu. Dalam laporannya, Jatam menyebut bahwa tambang di Pulau Gebe memicu kerusakan di pesisir. Semenanjung dekat jetty, perairannya berubah berwarna kuning. Begitu juga terumbu karang di bagian selatan tertutup sedimen lumpur.

“Mangrove di Tanjung Oeboelie, tak lagi tumbuh subur karena tertimbun sedimen lumpur. Yang terbawa erosi dari penambangan dan lokasi penimbunan bahan galian nikel,” ungkap Jatam dalam risetnya tahun 2018 itu.  

Abdul Motalib Angkotasan, Peneliti Oseanografi Universitas Khairun Ternate menjelaskan, dampak aktivitas mining terutama nikel yang masif, luasan terdampak pun jauh lebih besar. Penyebabnya karena spreading (penyebaran) materialnya tinggi.

Tingginya sebaran material itu tampak pada perairan yang berwarna kuning kecoklatan. Kondisi ini, menunjukkan sisa material turut mengalir ke laut. 

“Semua yang ada di kolom air pasti terganggu, seperti lamun dan terumbu karang akan hilang fungsi ekologinya.”

Situasi itu, memicu kepindahan kelompok ikan demersal, seperti kerapu dan kakap karena habitat yang rusak. Dampaknya, para nelayan harus melaut lebih jauh guna mengejar ikan yang telah berpindah tempat.

La Ode Iluaudin, nelayan setempat mengatakan, dulu ia cukup melaut sejauh 20-30 mil untuk mendapatkan ikan. Tapi kini, harus 50 mil hingga sampai di kawasan Raja Ampat untuk menangkap ikan. ”Karena di dekat pulau ikan sudah sulit, harus keluar lebih jauh supaya dapat ikan banyak,” katanya. Risikonya, saat tangkapan banyak, bisa menutupi biaya operasional. Jika tidak, malah tekor. 

Ilustrasi tambang di pulau-pulau kecil di Maluku Utara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Kerentanan ekosistem pulau kecil

Agustinus Kastanya, Guru Besar Fakultas Pertanian Unpatti, Ambon mengatakan, selain menyebabkan ekosistem laut dan pesisir rusak, tambang di Gebe yang diwarnai dengan pembabatan hutan memperparah krisis iklim di tingkal lokal. Dampaknya, cuaca menjadi sulit diprediksi. 

Udin, nelayan asal Desa Kapaleo katakan, cuaca tak menentu itu sudah ia rasakan dalam dua tahun terakhir. Ia bilang, pada November-Desember biasanya adalah musim pergantian angin muson dari barat ke timur. Namun, dua tahun ini rasakan lebih lambat. 

Hal yang paling mengkhawatirkan, kata Udin, adalah saat di tengah laut. Sebab, tak jarang, cuaca yang tadinya terlihat baik, tiba-tiba saja menjadi lebih buruk hingga mengancam jiwa nelayan. “Tapi ya mau bagaimana lagi, terpaksa kita maju saja, tak mundur meski hadapi segala risiko.” 

Cerita Udin adalah potret betapa tambang di Pulau Gebe, -yang seharusnya tak boleh ditambang- menghadirkan dampak terusan. Tidak hanya bagi lingkungan di darat, tetapi juga laut. 

Anggi Putra Yoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media Forest Watch Indonesia (FWI), katakan, apa yang terjadi di Gebe adalah sebuah ironi. Sebab, sebagai pulau kecil, industri pertambangan begitu massif di Pulau Gebe, meski undang-undang melarangnya. 

“Pulau Gebe dan Pulau Fau yang ditambang di Maluku Utara masuk kategori pulau kecil, yang dilarang untuk tambang, Undang-Undang No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K),” jelasnya. 

Pelarangan itu semata untuk memberi perlindungan karena pulau kecil memiliki kerentanan tinggi. Karena itu, jika tidak dihentikan, tambang di pulau kecil akan kehilangan eksistensinya di masa depan. 

Laporan FWI berjudul Eksistensi Pulau-Pulau Kecil Dalam Skema Kebijakan Kehutanan Pasca UU Cipta Kerja ungkap betapa tambang di pulau kecil telah memicu deforestasi besar-besaran. Hutan seluas 318,5 ribu di pulau-pulau kecil hilang, 56 ribu hektar di antaranya berada di area konsesi. 

“Deforestasi dalam konsesi,  benar-benar tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat justru mengedepankan nilai pendapatan dari aktivitas industri destruktif,” kata Anggi menukil riset tersebut.

“Kalau tetap ditambang, maka hancur pulau-pulau kecil, bisa tenggelam pulaunya.”

Warga di Pulau Gebe melintas di antara pohon sagu yang rusak akibat tambang. Foto: M. Jaya Bareds/Mongabay Indonesia.

Hilangnya tutupan hutan di pulau kecil menyebabkan keanekaragaman hayati berkurang. Tak terkecuali satwa endemik karena ruang hidupnya direnggut. 

Pulau Gebe sendiri memiliki satwa khas, yaitu kuskus, sejenis satwa marsupialia yang habitatnya tak ada di pulau lain. Satwa dengan nama latin Phalanger alexanser, merupakan spesies endemik pulau tersebut. 

Hamdala, warga Kampung Sanof Kacepo mengaku tak pernah lagi melihat kuskus semenjak adanya tambang. Padahal dulu, kata dia, paling banyak ditemui bergelantungan pada ranting-ranting pohon di hutan. 

Kampung Sanof Kacepo, adalah kampung adat di Pulau Gebe bersama Umera, Umiyal dan Kacepi. Dalam struktur adat, ada hak ulayat, Gimelaha (kepala kampung) dan kapita atau kapitan (pemimpin perang) yang terhubung dengan Sangaji sebagai kepala wilayah dari Kesultanan Tidore. 

Meski begitu, dewan adat Pulau Gebe, Tullamo Sangaji perusahaan-perusahaan tambang itu cenderung mengabaikan hak-hak adat ketika beroperasi. Dalam hal pemenuhan hak ulayat misal, perusahaan cenderung melihatnya dari sudut hukum positif -dalam bentuk kepemilikan sertifikat-, bukan hukum adat. 

Tullamo khawatir, pada akhirnya, hadirnya tambang-tambang nikel akan menjadikan masyarakat adat kehilangan haknya atas tanah. Beberapa laporan yang masuk ke dirinya menyebut, perusahaan banyak menggusur dan merusak  kebun sagu tanpa memberikan kompensasi kepada masyarakat.

“Masyarakat melaporkan ke saya dan pihak Kesultanan Tidore. Dan tugas saya menjaga hak-hak masyarakat supaya tidak diabaikan.” 

Mimin Dwi Hartono, Analisis Kebijakan Madya Komnas HAM mengatakan, praktik ‘main gusur’ oleh perusahaan itu bertentangan dengan Standar Norma dan Pengaturan Nomor: 13 tentang Bisnis dan HAM, Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, serta perjanjian internasional mengenai masyarakat adat. 

******

*Liputan ini merupakan fellowship Transisi Energi Berkeadilan yang didukung Remotivi dan WRI Indonesia.

Sumber Pangan Terancam Musnah saat Tambang Nikel Sesaki Pulau Gebe

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|