- Ekosistem Ulu Masen di Aceh, adalah hamparan hutan primer yang relatif kurang dikenal jika dibandingkan dengan Ekosistem Leuser
- Di wilayah ini, dalam sebuah studi baru yang berdasarkan hasil analisa kamera jebak, telah mengidentifikasi populasi harimau sumatera yang jumlahnya signifikan. Ada 11 individu harimau yang teridentifikasi, dimana ada delapan jantan dewasa, dua tidak diketahui jenis kelaminnya, dan hanya satu yang betina.
- Populasi yang didominasi harimau jantan dan kurangnya anak harimau menunjukkan populasi tersebut menghadapi tekanan perburuan liar yang besar.
- Rudi Putra, pegiat lingkungan di Aceh, yakin jumlah harimau akan dapat meningkat di Ulu Masen, dengan syarat habitat mereka dipertahankan dan tidak terganggu dari manusia.
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan di Scientific Reports yang mendasarkan pada hasil analisa survei kamera jebak telah mendokumentasikan populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumaterae), yang cukup signifikan di Ekosistem Ulu Masen, Aceh. Namun ancaman keberadaannya pun cukup tinggi.
Ulu Masen, terbentang seluas lebih kurang 738.856 hektar dengan kontur perbukitan. Bentang alam yang berlokasi di lintas Kabupaten: Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie dan Pidie Jaya ini, kaya akan keragaman hayati dan berbatasan dengan Ekosistem Leuser yang lebih terkenal.
Selain harimau sumatera, kawasan ini menjadi habitat bagi berbagai satwa liar dan dilindungi lainnya seperti gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), trenggiling (Manis javanica), macan dahan (Neofelis diardi), kucing batu (Pardofelis marmorata) dan ajak (Cuon alpinus), serta lebih dari 300 spesies burung.
Untuk mengidentifikasi populasi harimau, tim studi yang dipimpin oleh Joe Figel, penasihat sains di Leuser International Foundation, memasang kamera jebak di 52 lokasi di seluruh lanskap Ulu Masen. Di antara tahun 2020 dan 2022, mereka mengumpulkan rekaman dari 6.732 malam, dan berhasil memotret total 11 harimau, yang semuanya dewasa.
Figel dan rekan-rekannya juga turut mendokumentasikan populasi hewan yang dimangsa harimau seperti rusa sambar (Rusa unicolor), kambing hutan sumatera (Capricornis sumatraensis), babi hutan (Sus scrofa), dan kijang muncak (Muntiacus muntjak).
Keberadaan mangsa yang banyak dan tutupan hutan di Ulu Masen diidentifikasikan oleh para peneliti sebagai “memberikan kondisi yang baik untuk mendukung konservasi dan pemulihan harimau”. Temuan ini juga akan turut membantu lembaga pemerintah di Aceh untuk merumuskan rencana aksi konservasi harimau untuk Ekosistem Ulu Masen, kata mereka.
Harimau sumatera adalah subspesies harimau yang paling langka dan paling unik dengan perkiraan hanya tersisa 400 individu di alam liar. Mereka berbeda secara genetik dan fisik dari subspesies harimau lain yang masih hidup di Asia. Secara fisik, mereka lebih kecil dan berwarna lebih gelap.
“Ulu Masen adalah bagian dari Bentang Alam Konservasi Harimau Leuser–Ulu Masen, jadi tidak diragukan lagi penting bagi harimau dan satwa liar yang harus dilindungi,” sebut Hariyo T. Wibisono, Direktur LSM konservasi SINTAS Indonesia dan anggota Kelompok Spesialis Kucing di IUCN, mengatakan kepada Mongabay.
Temuan ini membuka kebutuhan mendesak bagi para pembuat kebijakan untuk meningkatkan upaya perlindungan kucing besar dan satwa mangsanya, serta habitatnya dari ancaman yang akan datang. Patroli rutin lanskap dan upaya pemantauan jadi prioritas, kata mereka.
Rasio Antara Harimau Jantan Betina di Ulu Masen
Meski ada 11 individu harimau yang teridentifikasi, dimana delapan adalah jantan dewasa, dua tidak diketahui jenis kelaminnya, dan hanya satu yang betina. Mereka tidak mendeteksi adanya anak harimau.
Hariyo, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, mengatakan bahwa ia tidak terkejut bahwa kamera jebak gagal mendeteksi anak harimau karena “mereka tidak seaktif dan tidak bergerak sejauh harimau dewasa.”
Namun, rasio jenis kelamin yang cenderung condong ke jantan cukup mengkhawatirkan dan harus menjadi perhatian, katanya.
Pertama, kelangkaan betina usia kawin menimbulkan pertanyaan tentang kelangsungan hidup subpopulasi di Ulu Masen di masa mendatang. Populasi yang didominasi harimau jantan dan kurangnya anak harimau menunjukkan populasi tersebut menghadapi tekanan perburuan liar yang besar.
Ancaman perburuan liar meluas ke seluruh wilayah jelajah harimau, bahkan ke pelosok-pelosok provinsi Aceh, menurut Rudi Putra, seorang ahli biologi dan ketua Forum Konservasi Leuser.
“Kulit harimau masih banyak diminati. Ada permintaan pasar yang terus ada untuk kulit, tulang, dan bagian tubuh harimau lainnya yang digunakan dalam pengobatan tradisional di Tiongkok dan Vietnam. Ini mendorong perburuan liar dan perdagangan ilegal,” jelas Putra.
Selain perburuan langsung, pemasangan jerat ilegal menjadi ancaman di Aceh. Pemburu biasanya memasang jerat kawat di sepanjang jalur satwa liar untuk menangkap babi hutan dan hewan-hewan lain untuk dikonsumsi. Tetapi harimau liar juga rentan untuk tertangkap.
Dalam observasi kamera jebak berulang kali para peneliti mendeteksi seekor jantan berkaki tiga di Ulu Masen, yang “kemungkinan besar kehilangan anggota tubuh akibat jerat,” kata penelitian tersebut.
Peningkatan patroli dan jumlah jagawana merupakan cara yang terbukti ampuh untuk mengurangi jerat. Sebuah penelitian tahun 2015 di Taman Nasional Kerinci-Seblat Sumatera, misalnya, dengan adanya patroli penjaga dapat mengurangi jerat hingga 41%.
Figel dan rekan-rekannya memperkirakan 560-640 penjaga hutan terlatih akan dibutuhkan untuk melindungi bentang alam Ulu Masen yang luas.
Hilangnya habitat menghadirkan ancaman lain. Tekanan pembangunan, penebangan liar dan penambangan, serta perambahan terus mengikis dan membuat fragmentasi hutan Ulu Masen yang tidak dilindungi.
Antara tahun 2001 dan 2023, seluas 370 km2 (sekitar 4 persen) tutupan hutan primer telah hilang di Ulu Masen, menurut Figel.
Salah satu ancaman adalah maraknya penambangan liar yang tidak terkendali. “Penambangan adalah pendorong terbesar fragmentasi antara Leuser dan Ulu Masen,” kata Putra.
Data yang dikumpulkan oleh kelompok masyarakat sipil di Aceh menunjukkan 68 km2 tambang emas ilegal telah menjamur di seluruh Aceh. Para aktivis lingkungan telah meminta pihak berwenang mengambil tindakan serius terhadap jaringan yang mengendalikan aktivitas tersebut.
Tentang fragmentasi habitat, Hariyo mengkhawatirkan koridor hutan yang menyambungkan antara Ulu Masen dan Leuser dapat putus, padahal ini adalah sekitar 30 persen dari populasi harimau sumatera yang ada di dunia.
Jalur satwa liar ini sebutnya harus jadi prioritas utama untuk menjaga genetik antar sub populasi yang ada.
“Ancaman yang sedang berlangsung dan potensial terhadap koridor alam yang menghubungkan Ulu Masen dan ekosistem Leuser harus menjadi perhatian utama,” kata Hariyo.
Pendanaan yang Belum Mencukupi
Meskipun penulis studi dan para ahli sepakat perlindungan yang lebih baik akan meningkatkan prospek harimau dan berbagai spesies lain di Ulu Masen, mereka mengakui bahwa hal itu bukan tugas mudah.
Ulu Masen saat ini dikategorikan sebagai “kawasan strategis provinsi” bukan nasional. Dengan demikian, kawasan tersebut dikelola di tingkat provinsi, bukan nasional, dan karenanya tidak menerima dana konservasi dari pemerintah pusat.
Konsekuensinya, dukungan yang diberikan kepada Ulu Masen menjadi terbatas, meski ada LSM-LSM lingkungan yang telah turut mengelola patroli jagawana dan mitigasi konflik satwa-manusia yang dijalankan oleh masyarakat di wilayah itu dalam beberapa tahun terakhir.
“Sebagian besar wilayah kritis di Ekosistem Leuser telah bisa di pantau [oleh tim perlindungan satwa liar], tetapi tidak di Ulu Masen,” kata Putra. “Ini adalah alasan utama mengapa populasi [harimau] di Ulu Masen menurun.”
Dia berharap temuan adanya temuan penelitian ini dapat digunakan untuk memperluas cakupan hingga ke Ulu Masen, khususnya untuk pendanaan patroli pemantauan dan konservasi kawasan.
“[Semoga pemberi dana] dapat melihat bahwa ada krisis yang terjadi di Ulu Masen,” katanya.
Rencana Kelola Kawasan Hutan Ulu Masen
Hariyo mengatakan pendekatan multidisiplin kemungkinan besar akan menjadi yang paling efektif saat mengelola kawasan bagi predator puncak seperti harimau sumatera.
Perlu juga meningkatkan opsi pengawasan lainnya, seperti penjagaan oleh masyarakat, tim investigasi, dan jaringan anti perdagangan satwa. Memanfaatkan solusi berbasis alam sambil mempertimbangkan pelibatan masyarakat setempat dan pandangan sosial-budaya juga dapat terbukti bermanfaat, tambahnya.
Pada bulan Oktober 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia mengeluarkan pengakuan hukum terhadap 225 km2 hutan adat di dalam lanskap Ulu Masen. Hal ini secara efektif memberikan hak kepada delapan kelompok masyarakat adat untuk mulai rencana menjaga hutan mereka secara berkelanjutan, dengan menjadikan beberapa bagian sebagai kawasan lindung.
Meski dengan berbagai tantangan yang ada, Rudi Putra yakin jumlah harimau akan meningkat di Ulu Masen, jika habitat mereka dipertahankan dan tidak terganggu dari manusia.
“Dari pengalaman di Leuser, kami belajar populasi harimau dapat pulih dengan baik karena mereka adalah jenis felis yang setiap tahun dapat melahirkan tiga atau empat anak,” katanya.
“Pengelolaan satwa liar tidak sulit jika kita tahu bahwa mereka masih berkembang biak. Mereka hanya membutuhkan perlindungan dari kita.”
Berita ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 20 November 2024. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi:
Figel, J. J., Safriansyah, R., Baabud, S. F., & Hambal, M. (2024). Intact, under-patrolled forests harbor widespread prey but a male-biased tiger population in the Ulu Masen Ecosystem, Sumatera, Indonesia. Scientific Reports, 14(1). doi:10.1038/s41598-024-75503-0
Figel, J. J., Safriansyah, R., Baabud, S. F., & Herman, Z. (2023). Snaring in a stronghold: Poaching and bycatch of critically endangered tigers in northern Sumatera, Indonesia. Biological Conservation, 286, 110274. doi:10.1016/j.biocon.2023.110274
Linkie, M., Martyr, D. J., Harihar, A., Risdianto, D., Nugraha, R. T., Maryati, … Wong, W. (2015). Safeguarding Sumateran tigers: Evaluating effectiveness of law enforcement patrols and local informant networks. Journal of Applied Ecology, 52(4), 851-860. doi:10.1111/1365-2664.12461