Ekspor Tuna Morotai Terus Naik, Infrastruktur Minim

6 days ago 15
  • Tulisan ini merupakan bagian dari fokus liputan tuna di Kepulauan Morotai, salah satu sentra penghasil tuna di Maluku. Liputan pertama tentang jerit nelayan tuna yang terhimpit kapal ikan besar, tulisan kedua tentang kearifan lokal masyarakat setempat, dan ketiga soal ragam persoalan terkait perikanan tuna disana.
  • Sebagai salah satu penghasil tuna, angka ekspor tuna Morotai terus menunjukkan peningkatan. Pada 2017, ekspor tuna capai 496 ton dan terus meningkat hingga menjadi 2.612 ton di 2021. Sayangnya, kendati angka ekspor terus meningkat, perikanan di Morotai minim infrastuktur, seperti pelabuhan. 
  • Kepala Dinas Kelautan Morotai, Joppy Jatun meminta pemerintah meninjau olah program perikanan terukur (PIT) di Morotai, terutama untuk nelayan kecil. Sebab, tanpa infrastuktur yang kayak, program PIT di Morotai sulit diterapkan. 
  • Putra Timur, Fisheries Lead Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) bilang, ada sejumlah persoalan yang mesti diselesaikan pemerintah sebelum PIT benar-benar diterapkan secara menyeluruh. Terutama, berkaitan dengan data. Meliputi jumlah nelayan, kapal, koperasi, dan sebagainya. 

Desa-desa di Kabupaten Kepulauan Morotai, Maluku Utara,  sebagai penghasil tuna. Penangkapan  secara tradisional membuattuna-tuna asal kabupaten ini banyak diminati di pasar global, antara lain terlihat dari angka ekspor  terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Di tengah kabar baik ini, infrastruktur nelayan masih jauh dari kata memadai.  

Merujuk Data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Morotai, pada 2017 ekspor tuna  capai 496 ton, naik jadi 1.863 ton pada 2018,  meningkat lagi 1.985 ton setahun berikutnya. 

Pada 2020, angka ekspor tuna naik signifikan jadi 2.223 ton. Termasuk dalam  2021 juga meningkat menjadi 2.612 ton. Kendati pun angka sempat turun dalam 2022-2023, tuna Morotai tetap tercatat paling banyak ekspor dibanding komoditas lain. 

Tuna-tuna dari Kepulauan Morotai dari sejumlah desa  di Kecamatan Morotai Timur dan Morotai Utara. Infrastruktur pun minim.  

Di Daeo, misal, tidak ada tempat pendaratan ikan yang benar-benar layak. Satu-satunya tempat pendaratan terbuat dari kayu ala kadarnya. Pun demikian dengan di Sangowo dan Bere-bere, dua desa yang menjadi sentra nelayan tuna di Morotai ini, hanya ada tempat tambatan perahu. Itu pun  mulai rusak. 

Infrastruktur minim itu menyulitkan bagi para nelayan lantaran mereka harus mendaratkan ikan langsung di pinggir pantai. Padahal, saat ini, mereka juga harus mulai menyiapkan diri berkaitan dengan penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang mensyaratkan ada sarana dan prasarana memadai.

 Pulau Morotai memang punya  Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) tetapi  lokasi cukup jauh dari desa-desa sentra penghasil tuna. PPI itu ada di Tiley Morotai Selatan Barat, sedang  desa-desa penghasil tuna ada di Morotai Timur dan Utara. Karena alasan itu, para nelayan terpaksa menurunkan hasil tangkapan di pesisir setempat. 

Untuk membawanya ke PPT, nelayan perlu biaya tambahan dengan masa tempuh 3,5 jam.   “Bayangkan saja kami di Bere-bere  mau mendaratkan ikan di Tiley Morotai Selatan Barat. Berapa  BBM tambahan yang kami harus sediakan setelah melaut? ” kata Abdurahman Latif,  nelayan tuna  Bere-bere. 

Dengan infrastruktur  minim, katanya, penerapan PIT di Morotai jelas belum ideal. Apalagi, sebagian besar nelayan juga belum paham betul apa dan bagaimana kebijakan itu bakal berlaku itu. 

Joppi Jutan, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Pulau Morotai  mengatakan, program  PIT mulai ada sejak beberapa tahun lalu sejatinya baik untuk menjaga keberlanjutan perikanan. Namun, perlu  infrastruktur memadai agar  dapat berjalan maksimal. 

Menurut dia, Maluku Utara (Malut) memiliki 108 pulau yang sebagian besar tempat para nelayan. Kalau  nelayan yang tersebar di pulau-pulau itu wajib mendaratkan ikan di pelabuhan yang ditetapkan, tentu menyulitkan  mereka. “Padahal, penerapan pungutan pasca produksi, semua tangkapan wajib landing di pelabuhan yang telah ditunjuk,” katanya.

Merujuk Keputusan Menteri Kelautan Perikanan (KP) Nomor 139/2023, ada 171 pelabuhan pangkalan memenuhi persyaratan dalam kegiatan penarikan PNBP pascaproduksi pemanfaatan sumber daya perikanan. Di Malut, beberapa pelabuhan pangkalan itu antara lain,  di Kepulauan Sula, PP Goto di Tidore, PPN Ternate, Daeo Majiko di Morotai, PPP Bacan di Halmahera Selatan, dan PPP di Tobelo. 

Joppy bilang, pelabuhan harus memiliki infrastruktur memadai guna mendukung penerapan pungutan pascaproduksi. Sebab, penarikan pungutan ini berdasarkan pada volume dan jenis ikan. Dengan begitu, data timbangan hasil tangkapan akan menjadi dasar penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pascaproduksi. “Pertanyanya apakah dari sekian banyak pulau itu  bisa dipenuhi kebutuhan infrastrukturnya atau tidak,” katanya. 

Menurut dia,  tuna-tuna di Morotai sebagian besar hasil tangkapan nelayan tradisional dengan kapasitas dan jelajah  sangat terbatas. Karena itu, membebani mereka  mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan, sangat sulit lantaran yang relatif jauh. “Itu hanya salah satu contoh .  Kita sudah coba tapi itu tidak bisa.”  

Karena itu, Joppy pun meminta pemerintah, dalam hal ini KKP berpikir ulang penerapan PIT bagi nelayan tradisional. Alternatif lain, KKP melakukan ‘jemput bola’ ke lokasi-lokasi yang menjadi sentra para nelayan. Dengan begitu, hasil tangkapan yang semula legal, berubah menjadi ilegal hanya karena tidak masuk ke pelabuhan yang telah ditetapkan.  

“Ini PR bersama pemerintah  pusat dan daerah. Harus ada sinergi. Sebenarnya PIT ini tujuannya baik. Mulai dari proses penangkapan sampai kembali ke konsumen karena mengedepankan prinsip keberlanjutan.”

Ilustrasi nelayan tuna tradisional saat melakukan pendaratan ikan. Foto: Asad Asnawi/Mongabay Indonesia.

Perikanan terukur

Merujuk laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penerapan PIT merupakan salah satu pembangunan di sektor perikanan. Program ini berjalan dengan memperkuat sistem data perikanan tangkap. Mulai dari jumlah dan identita kapal, catch and effort, data hasil tangkapan hingga per spesies. 

Rochmin Dahuri, Mantan Menteri KKP era Presiden Megawati saat menghadiri Rapat  Koordinasi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Malut dan Simposium Regional Kepulauan, mengatakan, penerapan PIT memiliki dampak positif dan negatif. Positifnya, penerapan PIT menjadikan data hasil tangkapan lebih akurat. 

Dengan hasil pendataan itu untuk menganalisa kondisi perikanan sebelum menentukan potensi pemanfaatan melalui sistem kuota. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, Rochmin mendorong pemerintah memprioritaskan nelayan tradisional dalam penentuan kuota.  

“Sangat penting industri hilir juga dibangun supaya ada yang membeli ikan nelayan dengan harga yang stabil. Dengan begitu berapa pun ikan yang didaratkan, terbeli oleh industrri perikanan dengan harga yang mengutungkan nelayan,” kata Rochmin. 

Anggota Komisi IV DPR ini juga mengatakan, yang terjadi sekarang , saat musim paceklik harga ikan sangat mahal, sementara saat ikan melimpah harga jatuh karena tidak ada pembeli.  Kalau ada industri, harga ikan akan stabil dan yang untung adalah nelayan.   

Rochmin juga menyoroti banyak kapal skala industri yang beroperasi di bawah 12 mil. Menurut dia, praktik itu sangat merugikan nelayan kecil kecil karena ruang tangkap makin sempat. “Inilah pentingnya KKP berkoordinasi dengna Kelompok Pengawasan Masyarakat (Pokmaswas) untuk mensiasati keterbatasan SDM (sumber daya manusia)” 

Aktivitas bongkar muat tangkapan oleh nelayan tradisional Morotai. Foto: Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia.

Titien Sofiaty, dosen dan peneliti kelautan asal Universitas Pasifik Morotai program PIT bisa mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan kecil. Salah satunya, memastikan wilayah tangkap mereka aman dari kehadiran kapal-kapal besar dan praktik illegal fishing lainnya. 

“Peningkatan pengetahuan soal standar keselamatan juga sangat penting, karena seringkali terjadi kasus nelayan hilang atau bahkan masuk ke wilayah perairan negara lain,” katanya. 

 Dia bilang,  banyak kapal ikan dengan tonase besar yang dapat izin tidak boleh menangkap ikan di wilayah nelayan kecil, sering melanggar. Hal ini akan menyusahkan nelayan kecil.   

Putra Timur, Fisheries Lead Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) bilang, ada sejumlah persoalan mesti pemerintah selesaikan dulu sebelum PIT benar-benar berjalan secara menyeluruh. Terutama, berkaitan dengan data, meliputi  jumlah nelayan, kapal, koperasi, dan sebagainya. 

“Jadi, selain infrastruktur yang harus dibenahi, hal yang perlu disiapkan adalah tersedianya data yang akurat. Tujuannya  ketika dilakukan pembagian  kuota untuk nelayan kecil tidak menjadi masalah.”

*****

Cerita Kearifan Nelayan Tradisional Morotai Tangkap Tuna

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|